Oleh: N. Rengka Johanes
Pakar manajemen ternama, John Kotter – Dan Cohen dalam buku The Heart of Change, mengatakan bahwa untuk membuat suatu perubahan, seorang pemimpin tidak lagi menggunakan pola Analyze-Think-Change ( ATC ), tetapi lebih kepada See-Feel-Change ( SFC ).
Dengan konsep SFC ini seorang pemimpin lebih mengetahui dan merasakan apa yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat, daripada membuat konsep-konsep yang sifatnya teoritis atau text book yang pada akhirnya hanya indah di atas kertas.
Perubahan dari ATC ke SFC sesungguhnya ingin mengubah paradigma seorang pemimpin agar tidak lagi melihat sesuatu masalah dari sisi logika semata ( analisis dan berpikir ), tetapi lebih kepada melihat langsung dan merasakan apa yang terjadi ( melihat dan merasakan ) kemudian melakukan perubahan. Karena sesungguhnya tujuan utama dari dua pola di atas adalah melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Ekonomi China ( Tiongkok ) sebetulnya bukan baru hebat seperti sekarang. China, pernah menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa yaitu ketika tahun 1820, China mencapai GDP 32,4 persen, lebih besar dari Eropa yang hanya 26,6 persen, Amerika 1, 8 persen, dan Jepang 3 persen.
Dominasi ekonomi China pada waktu itu, lebih karena permintaan negara-negara Barat akan porselen, sutera, dan teh. Tetapi ketika tahun 1949 – 1950 pasca Perang Dunia Kedua, dan ketika pemerintahan Chiang Kai Shek jatuh, ekonomi China terpuruk hingga titik dasar dengan GDPnya 5,2 persen. Kemudian bangkit lagi pasca reformasi sejak 40 tahun lalu. Karena China mau berubah dan meninggalkan pola lama, maka pertumbuhan ekonominya fantastis dan relatif merata.
Sama halnya dengan ekonomi Amerika yang terpuruk pada krisis tahun 1930-an, kemudian bangkit dan menjadi kokoh dan menguasai dunia. Dengan modal yang kuat, buruh ( tenaga kerja ) yang terdidik, dan teknologi yang canggih praktis Amerika menjadi acuan pembangunan ekonomi semua negara di dunia.
Puncak dari kemajuan ekonomi itu, adalah ketika Amerika mencanangkan peluncuran Apolo ke bulan. Maka pidato Presiden Kennedy, kala itu, “ We choose to go to the moon in this decade and do the other things not because they are easy, but because they are hard”.
Coba bayangkan, Amerika ke bulan bukan karena itu hal yang mudah, tetapi justru karena itu sulit. Itulah perubahan dan hanya butuh waktu 30 tahun kemudian ekonomi Amerika bangkit dan jaya. Tetapi pada pemerintahan George Bush ekonomi Amerika terpuruk ke titik yang dalam. Keadaan di atas dilukiskan oleh Dambisa Moyo, dalam bukunya, How the West was Lost, Fifty Years of Economic Folly and the Stark Choices Ahead.
Moyo yang begelar doktor ekonomi dari Oxford University dan master dari Harvard University, sekaligus pernah menjadi konsultan Bank Dunia mengatakan bahwa kemajuan ekonomi Amerika ditiru oleh banyak negara termasuk China. Situasi ini seakan-akan mau mengingatkan kita bahwa krisis ekonomi bisa terjadi di negara manapun, tidak terkecuali Amerika yang memiliki “ segalanya “.
Karena itu, Moyo, mengingatkan kepada negara-negara yang kini mulai bangkit seperti China, India, Brasil, ( dan mungkin juga Indonesia ) untuk tidak meniru “ cara Amerika “ atau tepatnya “ cara Barat “ untuk membangun ekonomi.
Besaran GDP ( Gross Domestic Product ) jangan menjadi faktor tunggal untuk mengukur kemajuan atau pertumbuhan ekonomi. Semua negara membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam GDP, tetapi pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya indikator kemajuan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi perlu, tetapi jauh lebih penting adalah pemerataan ekonomi.
Apa yang dikatakan Moyo senada dengan, Kate Raworth, yang mengajar di Oxford University, dalam bukunya: Doughnut Economics ( 2017 ). Raworth mengatakan bahwa ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan GDP seharusnya segera ditinggalkan dan menuju ekonomi donut, yang mana memampukan manusia untuk bertahan hidup, di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk memperoleh makanan yang cukup, air dan sanitasi yang bersih, akses untuk memperoleh energi untuk kebutuhan rumah tangga dan akses untuk memperoleh pendidikan dan fasilitas kesehatan serta tempat tinggal yang layak. Tentu melalui pendapatan dan pekerjaan yang menjamin kehidupan minimum.
Ada faktor yang lebih penting yaitu total factor productivity ( TFP ). Menurut bahasa Moyo, TFP merupakan the real driver of economic growth. Yang termasuk dalam TFP adalah faktor geografis ( termasuk di dalamnya cuaca ), hukum dan perundang-undangan, property rights, hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan inovatif.
Negara Barat selama ini sangat royal dengan modal, tenaga kerja, dan teknologi. Kemudian tiga pilar ekonomi itu bukannya menjadi produktif tetapi justru mis-alokasi. Ambil contoh, di bidang pertahanan, tahun 2007, 4 persen dari GDP Amerika dialokasikan untuk pertahanan, sedangkan di Inggris, sekitar 2,5 persen, dan China hampir 1 persen.
Belum kalau bicara tentang riset yang menelan biaya yang tidak sedikit. Menurut catatan UNESCO pada tahun 2005, untuk tingkat dunia, 1.7 persen dari total GDP dunia digunakan untuk kepentingan riset. Yang mana Amerika, Eropa, Jepang dan China mengambil porsi terbesar. Maka pertanyaannya, apakah alokasi biaya yang begitu besar mampu mengatasi krisis ekonomi ? Malah sebaliknya, justru negara-negara maju semakin sulit untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi.
Karenanya saran Moyo, negara Asia terlebih China dan India yang kini mulai bangkit, agar tidak meniru gaya barat atau gaya Amerika untuk membangun ekonomi. Tetapi mungkin dengan gaya Chimerica di mana duopoli China-America yaitu kapitalis dan sosialis. Semoga Indonesia mempunyai caranya sendiri !