Oleh: Marianus Seong Ndewi
Guru Seni Budaya-Pegiat Literasi di Komunitas Secangkir Kopi Kupang
Gebrakan pembangunan di bidang pariwisata mulai ditabuh oleh pemimpin baru NTT, gubernur I dan gubernur II (sebutan untuk Gubernur dan Wakil Gubernur NTT).
Dalam berbagai kesempatan, Gubernur I, Viktor Laiskodat mengumandangkan gerakan perubahan, restorasi pariwisata NTT dan pada kesempatan lain, Gubernur II, Josef Nae Soi menopang gerakan itu dengan mendorong pembangunan infrastruktur yang layak ke lokasi wisata, yang saban hari ini semakin memburuk (bahkan membusuk).
Musik Sebagai Tujuan Wisata
Musik, baik musik vokal maupun musik istrumental adalah salah satu produk wisata budaya. Selama ini destinasi pariwisata masih berkutat seputar eksotisme alam, rumah adat, istana kerajaan, candi, dan juga tempat ibadah. Sementara musik belum tersentuh sama sekali.
Padahal musik lokal dapat dijadikan sebuah ‘objek’ wisata baru yang mampu mendorong pertumbuhan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat.
Kehadiran musik sebagai sebuah ‘menu’ wisata sebenarnya bukanlah hal baru. Hadir dalam bentuk sebuah festival music, ‘sajian’ ini mulai diadakan sekitar tahun 1606, diselenggarakan festival music berjudul Antrim’s Oul Lammas Fair di Ballycastle, Irlandia Utara. Lalu pada 1724, ada festival music di Inggris, bernama Three Choirs.
Dalam buku Music Tourism, karya Chris Gibson dan John Connel, menuturkan bahwa festival musik punya potensi ekonomi yang melibatkan banyak sekali rantai ekonomi, bersifat panjang dan melampaui aspek geografis.
Salah satu contohnya yang terjadi di California, Amerika Serikat, festival music Coachella, yang diadakan sejak 1999 silam, mampu hadirkan ratusan ribu pengunjung (penonton).
Pada 2016, tiket festival ini terjual sekitar 195 ribu lembar dan menghasilkan pemasukan sebanyak 94, 2 juta dolar. Lalu, Quo vadis wisata musik NTT. Adakah di sini? Wie geht?
Wisata Musik NTT
Bagi para tourist (wisatawan) atau excursionis (pelancong) yang datang berkunjung ke NTT, aspek pertama yang menjadi tujuan wisatanya adalah wisata alam, lukisan 3 dimensi yang disuguhkan alam NTT. Ada nuansa warna pantai yang eksotic, bentuk gunung berapi yang unik, kawah bekas letusan yang menyediakan hot-water, dan gugusan bentuk bukit batu berwarna.
Apakah mereka datang merindukan bunyi musik-musik khas NTT? Jawabanya bisa ‘iya’, karena faktanya musik selalu ‘ada dan disisipkan’ di tempat tujuan wisata itu. Sebagai sebuah ‘sisipan’, kehadiranya lebih banyak tidak dibutuhkan. Intinya ada. Yang penting babunyi sa (pentas saja-tanpa perhatikan mutu kualitas).
Lalu saya mencoba menyusun pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti ini; Apakah bisa musik foy doa dipentaskan di kawah gunung, tempat hot water di So’a Kabupaten Ngada? Bagaimana konser band musisi lokal Timor bisa pentas di pinggir air terjun Tesbatan-Amarasi?
Apa bisa musik tradisional Manggarai main di tengah sawah lodok yang eksotis itu, atau ansambel sejenis tembang sunding (seruling bambu) menyambut mentari pagi di Wae Rebo?
Apa mungkin petikan lentik Sasando nan unik itu dipentaskan akbar di pinggir jalan El Tari Kupang setiap malam Minggu, menemani kuliner khas Jagung Bose dan Pisang Gepeng?
Apa mungkin konser paduan suara lagu-lagu daerah NTT dipentaskan diatas bukit warna-warni Kellaba Maja di Sabu Raijua?.
Jawaban terbaiknya adalah ‘ya, bisa; karena anak-anak NTT mampu. Mereka adalah musisi ulung dan hebat. Kehadiran pertanyaan dan jawaban (sebenarnya pernyataan) di atas mengasumsikan bahwa kehadiran (pementasan) music, baik musik vokal ataupun musik instrumental NTT akan mampu berkembang dan mampu menampilkan sisi eksotisnya. Musik yang eksotis. Indah. Kaya. Hidup dan menghidupi. Sejahtera.
BACA JUGA: Musik Tatong Orang Kedang
Dalam kehidupan keseharian anak-anak NTT, mereka pandai bermusik, melalui kemampuan alamiah (otodidak) ataupun juga ilmiah, yang didapatkan di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.
Cerita unik seorang bocah yang memainkan sunding sambil duduk di atas punggung kerbau, menemani ibunya ‘menjaga burung’ di sawah, atau juga nyanyian-nyanyian yang selalu dipentaskan muda-mudi Flores Timur sebagai pengganti pantun untuk ‘merayakan’ masa muda-mudi mereka adalah sekumpulan narasi tentang kedekatan musik dan manusia NTT.
Ditemani remang bulan purnama, mereka bisa mendapatkan jodoh di arena dolo-dolo itu. Kehadiran sanggar musik tradisional di Maumere yang sangat terkenal itu. Ada pula Orkestra Seruling Bambu di Kabupaten Ngada. Lentikan bunyi Gambus, Sasando, Ukulele, dan Biola kampung yang sangat indah.
Sungguh, ini sumbangsih seni musik NTT yang sejatinya bisa dijadikan sebuah ‘objek’ wisata baru. Jikalau dikelola baik melalui intervensi kebijakan tepat sasar pemerintah, tidak menutup kemungkinan ini dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Namun di balik kekayaan musik lokal tersebut, ada berapa model festival music di NTT? Mungkin jumlah jari pada satu sisi tangan manusia saja masih terlalu banyak untuk menghitung festival music di NTT. Yang ada adalah festival Kuda, festival Komodo, festival Gunung, dan festival panorama alam. Fakta ini semakin menjelaskan bahwa kehadiran musik jauh lebih rendah dibanding binatang, gunung, sepeda, ataupun batu-batuan.
Intervensi Pemerintah
Dalam pembangunan memajukan wisata musik NTT, tidak bisa berjalan cepat, apabila pemerintah tidak melakukan intervensi kebijakan yang menciptakan resolusi di bidang pariwisata.
Perjuangan para musisi dalam menghasilkan ‘karya wisata’ berupa pembentukan grup musik, baik tradisional ataupun modern (kontemporer), komposisi karya sajian music vocal maupun instrumental, mesti diikuti dengan kebijakan-kebijakan riil pemerintah.
Kebijakan di bidang pelestarian musik itu misalnya dituangkan dalam festival Gambus Adonara, festival musik Thobo di Ngada sambil mengiringi music Foy doa, festival Sunding Tongkeng di Manggarai, ataupun festival musik Leko Boko, dan masih banyak lainnya.
Disiapkan sepekan khusus untuk pementasan karya-karya anak NTT. Datangkan wisatawan ke lokasi pementasan. Lokasinya bebas, di jalanan, di pinggir pantai, di sisi air terjun, di lembah bukit berwarna, di kawah hot water, dan juga simpulkan menjadi sebuah festival musik NTT dengan melibatkan wisatawan lokal ataupun mancanegara.
Musisi lokal, musisi nasional ataupun mancanegara boleh ambil bagian dalam hajatan karya wisata ini. Nuansa tradisional, jaszz, reggae, blues, pop, hiphop, dan kontemporer lainnya menjadi menu utama sajiannya, tentunya dengan menu utama alat music ataupun nyanyian tradisional NTT.
Tidak perlu studi banding jauh-jauh, cukup belajar ke Yogyakarta ataupun Bali. Di sana, musik (festival musik) diberikan ruang untuk dijadikan ‘objek’ wisata baru, mampu ‘memancing’ dan mendatangkan wisatawan lokal ataupun mancanegara.
NTT belum terlambat. Jangan hanya berpikir berat sebelah ke unsur politik saja. Bosan. Mari bermusik; NTT bangkit, NTT sejahtera. Resolusi 2019.