(Catatan Kecil Untuk Gubernur Victor Laiskodat)
Oleh: Yoss Gerard Lema *)
BOLA cahaya itu menuruni dinding langit di ufuk barat. Perlahan, cahayanya berganti rupa. Merah, kuning, putih, jingga. Laut seolah diarsir warna pelangi. Oooh, indahya sunset di Labuan Bajo. Menawannya sunset di gugusan tujuh belas pulau kecil di Riung. Sunset di pantai Waiara, Maumere juga punya cerita. Apalagi melankolisnya sunset di kota renha Larantuka, Adonara, Solor dan Lembata.
Namun, sunset termulia ada di kota Ende. Di sini, Bung Karno betah duduk berjam-jam di bawah pohon sukun sambil menikmati senja kemerahan. Disinilah, Tuhan menitipkan sesuatu yang sakral dan suci kepada Sang Proklamator.
Sunset merah jingga juga membius teluk Kupang. Terlalu indah untuk dilukiskan anak darah baru merangkak puber pertama. Satu kecupan belum cukup. Laut teluk Kupang seolah permadani merah jingga. Lasiana, Ketapang Satu, pesisir indah menuju Tenau jadi saksi indahnya dua anak manusia merayakan cinta dalam ditaburi warna sunset nan manja. Sunset juga bercerita tentang Bolok, pulau Kera, Samau dan pulau tikus. Ada rahasia alam yang bicara pada hati semerah cinta.
Sunset juga membuka rahasia alam pesisir pantai Kolbano. Aneka rupa batu-batu Kolbano memancarkan sinar keagungan, putih, merah, coklat, abu-abu, hitam, biru, kuning, bikin batu-batu itu seolah tersenyum dalam diam. Dan sunset di Tanjung Bastian, Timor Tengah Utara, seperti gadis puber yang minta dibelai dan minta dicumbu. Sedangkan sunset di Atapupu dan Teluk Gurita ternyata bersenyawa di Kolam Susu. Tony, Yon, Yok dan Murry, personil Koesplus, tahu rahasia itu. Mereka melahirkan satu lagu fenomenal, dinyanyikan siapa saja, namanya Kolam Susu.
“Orang bilang tanah kita tanah sorga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Orang bilang tanah kita tanah sorga, ikan dan udang menghampiri dirimu”.
Saat itu, sekitar tahun 1971, kita melihat Kolam Susu hanya sebagai sebuah lagu dengan lirik nan indah, melodinya merakyat. Kita tidak pernah bertanya apa di balik ilham yang didapat Koesplus saat berada di Kolam Susu menikmati sunset kemerahan. Hal yang sama juga tidak kita tanyakan kepada Bung Karno ketika menikmati sunset kemerahan saat merenungkan Pancasila bawah pohon sukun keramat itu.
Dan panorama senja pulau Timor bukan sebatas bibir pantai saja, karena sunset terindah di pulau Cendana ini juga ditemui setiap sore di padang savanna gersang.
Rumput-rumput kering di puncak kemarau, seolah berubah jadi ‘keemasan’. Sapi dan kerbau menikmati rumput kering ‘keemasan’. Rumput ‘emas’ inilah yang jadi panorama terindah dari padang savanna Timor dan Sumba.
Sejauh mata memandang ratusan, bahkan ribuan hektar padang savana Sumba menyajikan ‘rumput-rumput keemasan’. Sumba memang tanah berluka, tempat seribu duka ditanam. Tapi Sumba hari ini seperti berkas cahaya sunset terindah dan teraduhai di dunia.
Sunset di Sumba seperti kita melihat seorang maestro sedang melukis dengan campuran cat kaya warna. Indah sekali. Marilah ke pantai Newa, Sumba Barat Daya, sunset menggambar langit Sumba dengan kombinasi cahaya nan syahduh. Kuning, merah hati ayam, putih, abu-abu, biru, diarsir dengan lembut.
Pantai Newa seperti puisi cinta yang merekah. Sama seperti sunset yang ada di Karang Bercula Pantai Weekelo, Sumba Barat Daya. Terlalu indah untuk dilukiskan. Kombinasi warnanya seolah kisahkan jalan cinta ‘Umbu dan Rambu’ yang berjuang dan terus berjuang di medan pasola nan sakral.
Purnama
Di pantai Karang Bercula sunset itu tenggelam. Mentari kembali keharibaannya. Lalu purnama pun muncul. Bulan bundar besar, seperti nyiru, cahayanya kuning gading. Gelombang awan putih mengelilingnya, seolah menari-nari. Kelap-kelip bintang-bintang bertaburan. Indah sekali.
Saat itulah, dapatkah engkau memberkas ikatan bintang Kartika, dan membuka belenggu bintang Belantik? Dapatkah engkau menerbitkan Mintakulburuj pada waktunya, dan memimpin bintang biduk dengan pengiring-pengiringnya? Saat itulah kita wajib menertawakan keramaian kota dengan segala kegemerlapannya. Karena cahaya purnana akan menyinari kita apa adanya.
Dari atas langit sinar purnama menyorot secara khusus barisan rumah adat Sumba di perkampungan adat di puncak bukit tinggi Lamboya, Sumba Barat. Oooh Tuhan, panorama yang indah indah sekali. Rumah adat beratap ilalang menjulang tinggi seolah-olah hendak menusuk langit. Rumah-rumah itu senantiasa berdoa kepada Ilahi. Terang purnama juga percikan cahaya di batu-batu kubur megalitik yang selalu ada ukiran dengan gambar-gambar adat.
Bias sinar purnama juga mengenai tanduk-tanduk kerbau ukuran super yang tersimpan di rumah adat. Dari wajah malam, kita harus tahu bahwa Sumba bumi para dewa. Pariwisatanya sewangi cendana. Ratusan tahun lalu Sumba dan Timor memang adalah pulau cendana. Aromanya mengharumkan dunia dan jadi kursi singgasana baginda raja.
Meneropong malan di Sumba janganlah lupa Kampung Bena, di Bajawa, Flores. Sama-sama peninggalan kebudayaan megalitik empat ribu tahun lalu. Nyanyian adat, bau moke dan tarian Ja’i menunjukan anak cucu Kampung Bena sedang gembira ria. Mereka menari Ja’i dengan kaki terpatah-patah. Ludah siri pinang bikin pesta makin menarik. Apalagi bagi yang muda yang bercinta dalam lagi dan pantun jenaka.
Sedangkan malam bulan purnama di rumah adat Sabu, laki perempuan larut dalam tarian Padoa. Kaki menghendak-hentak, tangan berpegangan dalam bentuk lingkaran. Inilah tarian persaudaraan sambil minum laru. Ende pun sama. Tarian gawi dan rokatenda, maknanya kerjasama, sambil minum moke. Budaya Timor, Helong, Amarasi, pun Samau.
Mereka menari Bonet dalam bentukkan lingkaran kasih sambil minum arak. Maumere telah mendunia dengan lagu dan tarian Gemufamire. Sedangkan anak cucu suku Rote bangga memainkan Sasando yang kini sudah terkenal dunia.
Sunrise
Menikmati tarian dan lagu saat bulan Purnama tak terasa hari sudah hampir pagi. Mentari sudah bangun dan bersiap menerangi jagad raya. Bola cahaya itu menggeliat di lambung samudra raya. Naik kepermukaan inci demi inci. Permukaan laut seolah mendidih. Wajah pagi terkelupas. Cahaya kuning jingga memancar. Sebuah panorama yang luar biasa, apalagi saat mentari terlepas dari ikatan cincin samudra. Inilah sunrise yang takyub dengan bintang sembilan. Apalagi dinikmati dari ketinggian bukit Padar di sekitar pulau komodo.
Sunrise itu membangunkan naga komodo. Wajahnya menantang matahari dengan lidah menjulur keluar. Inilah gambar terindah dari binatang purba yang hanya ada di pulau komodo. Komodo, kuat-tangkas-tangguh, dunia terbius terpesona, seharusnya jadi kemakmuran anak cucu Flobamora.
Indahnya sunrise juga memantul di kawah danau Kelimutu di Ende. Rumput-rumput kering dibibir kawah danau seperti bergidik. Sungguh indah danau merah, putih dan biru yang selalu berubah warnanya. Wisatawan dalam dan luar negeri menyaksikan sunrise di danau kelimutu dengan rasa takyub. Yang lain melihat hal itu sebagai mujizat dari Tuhan untuk orang Ende. Konon, ketika dibuang di Ende antara tahun 1934-1938 Bung Karno sering bersemedi di danau kelimutu. Satu naskah tonilnya Bung Karno berkisah tentang Rahasia Kelimutu.
Menikmati sunrise di Bumi Flobamora tak terhitung banyaknya. Salah satu tempatnya ada di Alor. Alor dengan panorama bawa laut terindah, seolah-olah cahaya mentari di rembang rembang membuat ikan aneka warna di laut Alor berenang di sekitar moko. Panorama membius saat sunrise juga ada di pantai Ratenggaro, Sumba. Indah dan indaaah sekali. Konon di tempat ini dalam kepercayaan Marapu, arwah para leluhur tinggal di tempat ini. Sabu pun sama. Namun orang Sabu biasa menikmati sunrise dari atas pohon lontar. Rote pun unik, menikmati sunrise dari kepungan gelombang Nembrala yang memburu sampai ke pantai. Luar biasa…!!!
Bersambung…
BACA Lanjutannya:
Menikmati Pariwisata NTT Saat Sunset, Purnama dan Sunrise (Part 2)
*) Penulis adalah Wartawan, Penulis, Novelis, tinggal di Kota Kupang.