Oleh: Edi Danggur
Di penghujung tahun 2018 mahasiswa se-kota Ruteng sudah tiga kali melakukan unjuk rasa ke Kantor Bupati Manggarai. Mereka menuntut bupati menghentikan kebijakan hibah tanah asset daerah seluas 24.640 M2 di Reo kepada PT Pertamina. Mahasiswa beralasan, hibah itu sebuah ironi. Sebab, aset rakyat miskin justru dihibahkan kepada PT Pertamina yang super kaya.
Bupati Manggarai Dr. Deno Kamelus menegaskan tetap meneruskan kebijakan hibah itu. Alasannya, Jaksa Pengacara Negara (JPN) sudah memberikan pendapat hukum atau Legal Opinion (LO) bahwa hibah itu tidak melanggar hukum. Apalagi rapat paripurna DPRD Manggarai pun mendukung kebijakan bupati tersebut.
Ada tiga masalah hukum untuk mengkritisi argumentasi Bupati tersebut. Pertama, bagaimana kedudukan LO dalam praktik hukum acara perdata dan tata usaha negara?. Kedua, apakah isi sebuah LO bersifat mengikat sehingga Bupati Manggarai merasa wajib menghibahkan tanah rakyatnya kepada PT Pertamina?. Ketiga, dapatkah LO JPN dipakai sebagai tameng, perisai atau dasar pembenaran kebijakan hibah oleh bupati?
Pendapat Ahli Sebagai Sumber Hukum
Sembilan anggota Tim JPN di bawah pimpinan Nikolaus Kondomo termasuk ahli hukum. Mereka dianggap mempunyai kompetensi untuk memberikan pendapat hukum. Tetapi mereka sendiri mengakui dalam LO itu hanya kompeten dalam bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (“DATUN”).
Kita asumsikan bahwa LO JPN setebal 11 halaman itu diberikan dalam tingkat kompetensi tertinggi mereka. Maka LO JPN tersebut termasuk dalam barisan “pendapat-pendapat para sarjana hukum” atau “ilmu hukum” yang dikenal dengan sebutan doktrin.
Dalam hukum DATUN, doktrin merupakan salah sumber hukum, tempat hakim dan para pencari keadilan dapat menemukan hukum. Sumber hukum lainnya ada di berbagai Undang-undang, yurisprudensi, adat kebiasaan bahkan traktat internasional.
Bahkan ada ahli hukum yang memasukkan Instruksi Mahkamah Agung (MA) dan Surat Edaran MA (SEMA) sebagai sumber hukum. Namun Instruksi MA dan SEMA sebagai sumber hukum di sini, tidak dalam arti tempat hakim atau pencari keadilan menemukan hukum, melainkan tempat hakim dan pencari keadilan menggali hukum (Sudikno Mertokusumo, 2006:10).
LO Tidak Mengikat
LO sebagai doktrin bukanlah hukum. Sebab doktrin tidak mempunyai kekuatan mengikat seperti Undang-undang. Meskipun demikian, doktrin sering dipakai sebagai sumber referensi dalam berargumentasi hukum. Paling tidak karena dua hal. Pertama, doktrin itu mempunyai wibawa; Kedua, doktrin itu mempunyai sifat yang objektif.
Berwibawa dan objektifnya doktrin itu karena mendapat dukungan dari para sarjana hukum. Sekali pun demikian, doktrin tetap bukan hukum. Doktrin hanya akan menjadi hukum, artinya mempunyai sifat mengikat, manakala hakim mengambil-alih doktrin itu untuk dimuat dan dipertahankan dalam suatu putusan pengadilan (Sudikno Mertokusumo, 2010:151).
Dalam konteks kebijakan hibah, LO JPN tersebut tetap sebagai doktrin yang sifatnya tidak mengikat. Sebab pendapat para sarjana hukum yang tergabung dalam JPN tersebut belum diambil alih sebagai dasar pertimbangan hakim dalam suatu putusan pengadilan.
Dengan demikian, LO JPN itu ibarat bahan sontekan seorang bupati ketika beradu argumentasi dengan rakyatnya. Maka bupati tidak bisa semata-mata menggantungkan kebijakannya pada LO JPN tersebut. Lagi pula, tidak semua pendapat hukum otomatis benar. Kebenarannya sangat tergantung pada input berupa data atau informasi yang disampaikan oleh PT Pertamina kepada JPN.
Kalau inputnya salah maka output berupa LO pun pasti salah. Dalam LO JPN tidak ditemukan informasi bahwa tanah objek hibah berstatus Hak Pakai atas nama Pemda Manggarai. Kalau informasi ini disampaikan, tentu LO JPN pun akan berbunyi lain. PT Pertamina dalam LO itu menyampaikan bahwa tanah di Reo itu bekas hak barat.
Mengapa status tanah Hak Pakai ini tidak disampaikan kepada JPN? Sebab, yang minta LO adalah Pertamina, dan tentu Pertamina menyampaikan informasi hanya sebatas data yang dimilikinya. Lain halnya kalau yang minta LO adalah Pemda Manggarai, pasti keberadaan Hak Pakai ini diinformasikan kepada JPN.
JPN Bukan Tameng untuk Bupati
Jika suatu saat kasus hibah ini diproses di hadapan aparat penegak hukum, bupati tidak bisa jadikan LO JPN sebagai tameng untuk pembenaran diri. Tidak bisa Bupati beralasan, LO JPN menyatakan hibah itu tidak melanggar regulasi, maka bupati teruskan kebijakan hibah itu.
Tidak bisa juga suatu saat bupati menarik JPN agar pasang badan di hadapan aparat penegak hukum untuk membela dan membenarkan bupati. Mengapa? Sebab pada huruf D butir 1-4 hal. 3 LO itu, JPN sudah memberikan beberapa batasan:
Pertama, LO itu diberikan hanya terbatas pada analisis yuridis normatif sesuai kompetens JPN yaitu dalam bidang DATUN. JPN tidak dapat memberikan pendapat hukum di bidang hukum pidana umum maupun pidana khusus tentang tindak pidana korupsi.
Sehingga LO JPN tidak akan bisa menjawab pertanyaan apakah hibah itu tidak melanggar ketentuan Undang-undang tindak pidana korupsi? Tidak bisa pula JPN menjawab pertanyaan apakah tindakan bupati menghibahkan aset daerah itu patut diduga merugikan rakyat Manggarai dan menguntungkan individu dan korporasi? Sebab JPN tidak bertindak untuk dan atas nama rakyat Manggarai dalam LO tersebut.
Kedua, LO hanya diberikan untuk kepentingan PT Pertamina. Sebab, yang minta LO kepada JPN adalah PT Pertamina. Itu pun isi LO hanya sebatas menjawab pertanyaan-pertanyaan PT Pertamina dikaitkan dengan dokumen-dokumen yang diserahkan oleh PT Pertamina kepada JPN.
Dengan demikian tidaklah mungkin JPN memberikan LO kepada Bupati Manggarai. Alasannya: Pertama, Bupati Manggarai tidak minta LO kepada JPN. Kedua, kalaupun bupati minta LO kepada JPN, tentu JPN menolak.
Sebab secara etika profesional, ahli hukum dilarang memberikan LO kepada dua orang atau pihak yang mempunyai kepentingan berbeda: PT Pertamina berkepentingan mendapatkan tanah untuk menambah pundi-pundi asetnya. Sedangkan Pemda Manggarai siap kehilangan tanah yang bakal mengurangi harta kekayaannya. Jika JPN ikut beri LO kepada Bupati maka JPN bisa dianggap “karaoke” – kanan kiri oke!
Ketiga, LO JPN hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh PT Pertamina. Ada dua pertanyaan yang diajukan oleh PT Pertamina kepada JPN. Pertama, apakah ada ketentuan hukum yang dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan hibah tanah oleh Pemerintah Daerah kepada BUMN. Kedua, apakah Pemda Manggarai dapat melakukan hibah tanah di Reo kepada PT Pertamina?
Tentu JPN tidak akan menjawab pertanyaan, dapatkan daerah yang rakyatnya masih miskin tetapi asetnya diserahkan secara gratis (hibah) kepada perusahaan super kaya PT Pertamina? Mengapa Pemda Manggarai yang masih mempunyai hutang daerah dalam jumlah besar justru menghibahkan asset tanah seluas 24.640 M2 kepada PT Pertamina?
Keempat , JPN juga sudah membatasi tanggung jawabnya. JPN tidak bertanggung jawab jika LO mereka dianggap salah baik sebagian maupun seluruhnya. Jika kesalahan itu diakibatkan karena adanya kesalahan dalam data, dokumen atau keterangan yang diberikan PT Pertamina kepada JPN.
Maka JPN akan kesulitan menjawab: mengapa PT Pertamina tidak menyebut eksplisit bahwa tanah di Reo yang dihibahkan itu bersertifikat Hak Pakai atas nama Pemda Manggarai? Mengapa pula tanah itu tidak dihibahkan ke PT MMI sebagai BUMD Pemda Manggarai? Sebab dengan menghibahkannya kepada PT MMI maka PT MMI bisa melakukan transaksi komersial dengan sesama korporasi yaitu PT Pertamina.
Dari uraian di atas, penulis ingin menegaskan kembali bahwa LO JPN tidak mengikat. Tidak dapat pula dipakai oleh bupati sebagai perisai atau tameng untuk membela diri di hadapan aparat penegak hukum. Jika suatu saat ada warga masyarakat yang melaporkan masalah ini ke KPK, tidak mungkin bupati minta JPN mendampinginya guna membela bupati bahwa hibah ini terjadi atas rekomendasi JPN.
Yang dilakukan oleh Pemda Manggarai melalui biro hukum seharusnya membuat kajian hukum yang komprehensif untuk menjawab berbagai pertanyaan di tengah masyarakat. Mengapa tidak diperjuangkan agar uang PT Pertamina yang begitu banyak tidak “dihibahkan” ke Pemda Manggarai untuk mengurangi beban hutang daerah.
Pertanyaan itu senada dengan pertanyaan lain, mengapa sewa yang sudah berjalan kurang lebih 40 tahun antara Pemda Manggarai dan PT Pertaminan justru diubah menjadi hibah. Mengapa rakyat yang miskin harus kehilangan asset tanah demi semakin menambah pundi-pundi asset korporasi kaya PT Pertamina?
Jawaban atas litani pertanyaan di atas bisa menjadi alat ukur seberapa pedulinya Pemda Manggarai di hadapan rakyatnya yang miskin dan beban utang daerah yang masih menggunung. Thomas Jefferson, filsuf, artis dan Presiden ketiga Amerika Serikat mengatakan: “Kepedulian terhadap kehidupan manusia dan kebahagiaan, dan bukan kehancuran mereka adalah hal pertama dan satu-satunya objek pemerintahan yang baik” (The care of human life and happiness, and not their destruction, is the first and only object of good government). Semoga!
Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jakarta