Oleh: Epin Solanta
(Alumni Sosiologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta)
Perang argumen yang berlandaskan berbasis hoax menjadi salah satu karakteristik yang melekat jelang pesta demokrasi tahun ini.
Berbagai bentuk narasi dibangun dan diseminasikan secara masif ke tengah publik. Sebagai konsekuensi logis, masyarakat (akar rumput) disesaki dengan berbagai macam informasi yang (mungkin) kebenarannya sulit untuk dibuktikan.
Munculnya berita tentang 7 kontainer yang berisikan surat suara yang sudah dicoblos merupakan satu dari sekian banyak berita hoax yang mengganggu pikiran publik.
Kebohongan yang masif pun banyak dilakukan oleh para elite yang menyebut dirinya sebagai calon pemimpin, wakil rakyat, penyalur aspirasi serta berbagai macam sebutan lain yang berkorelasi dengan pendulangan suara.
Menjamurnya berita hoax menjadi sebuah bencana akut yang merusak kewarasan dan nalar publik. Meski demikian, hoax tetap saja hadir untuk mengganggu kenyamanan dan kemapanan publik dengan suatu tujuan yang jelas yakni meraup keuntungan (kekuasaan).
Membanjirnya berita hoax di Indonesia sesungguhnya diikuti oleh kehadiran media yang senantiasa ikut memproduksi sampai pada menyebarkan berita hoax.
Laporan dari dailysocial.id menyebutkan bahwa informasi hoax paling banyak ditemukan di platform facebook 82,25%, WhatsApp 56,55% dan Instagram 29,48%.
Menguatnya berita hoax di media diikuti dengan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai pengguna media dalam kategori urutan ketiga di dunia.
Berdasarkan data WeAreSocial.net dan Hootsuite 2018, perkembangan internet di Indonesia berada di angka 51%. Sedangkan media sosial yang paling sering digunakan adalah: Youtube (43%), Facebook (41%), WhatsApp (40%) dan instagram (38%).
Data di atas mencerminkan tentang karakteristik masyarakat Indonesia yang banyak berkecimpung dengan dunia media sosial. Tetapi mirisnya, di tengah meningkatnya jumlah pengguna media sosial, hasil yang didapatkan justru semakin meningkat pula kasus pelanggaran dalam penyalahgunaan media sosial.
Contoh yang paling nyata adalah hoax. Lahirnya UU ITE Pasal 28 ayat 1 yang berisikan: seluruh orang yang dengan sengaja dan tanpa hak untuk menyebarkan berita bohong dapat dikenakan pidana. tidak menjadi sesuatu yang menakutkan bagi publik tanah air.
UU ITE justru memberikan stimulus baru untuk terus menyebar berita hoax ditengah semakin memudarnya kekritisan publik. Pertanyaannya kemudian adalah, apa konsekuensi logis dari membanjirnya berita hoax di republik ini?
Pertama, kondisi tersebut mencerminkan semakin memudarnya kewarasan, nalar dan juga kekritisan publik. Jumlah pengguna media sosial yang begitu banyak tidak diimbangi dengan sikap dan perilaku dalam bermedia sosial.
Kedua, hoax lahir sebagai sebuah bencana yang mengkriminalisasikan sekelompok orang dan melanggengkan kekuasaan bagi orang yang lain.
Ketiga, publik pun pada akhirnya sulit untuk membedakan antara yang betul-betul terjadi dan yang dimanipulasi.
Keempat, hoax akan memproduksi pola berpikir masyarakat yang keliru dan tak beradab.
Membangun Sikap Kritis
Sosiolog Ibnu Khaldun pernah menelurkan sebuah konsep penting yaitu kekuatan daya kritis.
Dalam sebuah karyanya, beliau mengatakan demikian: terhadap berbagai macam hal yang baru, kita tidak boleh menerimanya secara taken for granted. Daya kritis merupakan bentuk perwujudan dari sikap rasionalitas manusia.
Membangun sikap kritis di tengah menjamurnya bencana hoax harus dilakukan secara sistematis. Kekuatan daya kritis pertama-tama harus dimulai dari lingkungan keluarga.
Baik anak maupun orang tua harus mampu memberikan catatan kritis terhadap berbagai peristiwa atau kejadian yang mungkin saja akan mengarah kepada bencana sosial. Aktualisasi dari kekritisan tersebut dapat dibuktikan melalui nasihat atau petuah.
Selain lingkungan keluarga, sikap kritis juga harus dibangun dalam lingkungan sekolah. Pendidik harus senantiasa membiasakan diri sendiri dan juga peserta didiknya dengan budaya literasi.
Literasi merupakan daya kekuatan yang sangat ampuh dalam menyikapi peristiwa-peristiwa seperti hoax. Walaupun terkadang ada suatu kondisi yang paradoks, misalnya banyak berita-berita hoax justru diproduksi dan disebarkan oleh orang-orang yang berintelek.
Selain itu, membangun sikap kritis dapat dibuktikan dengan kemampuan menyaring informasi, mengedepankan sikap skeptis serta kekuatan menganalisis terhadap informasi yang baru.
Sikap-sikap tersebut juga harus didukung pula dengan sikap atau karakteristik personal kita. Sikap emosional dalam merespon sesuatu misalnya harus juga diimbangi dengan rasionalitas. Hal ini sangatlah penting agar tidak mengesampingkan begitu saja kewarasan konsep berpikir kita.
Sampai pada suatu kesimpulan bahwa bagaimana pun juga, bencana hoax adalah bencana sosial yang senantiasa mengancam bumi pertiwi.
Oleh karena itu bencana hoax juga tidak cukup disikapi dengan pendekatan personal, melainkan perlu adanya kolaborasi melalui pendekatan sistematis dan terukur.