Oleh : Frans Bukardi, SS
Pemilukada Manggarai Timur telah usai. Pasangan Agas Andreas dan Jaghur Stefanus telah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Adagium Latin menyebutkan, mereka adalah vox populi vox dei sekaligus simbol volonte generale Rakyat Manggarai Timur.
Langkah selanjutnya adalah mewujudkan berbagai program yang telah dipersiapkan, menyatukan, mengerahkan dan mengarahkan seluruh kekuatan daerah untuk meraih cita—cita yang telah ditetapkan dalam wujud visi dan misi.
Namun tak dapat disangkal bahwa di era demokratis seperti sekarang ini niat baik membangun daerah tidak selalu seperti gayung bersambut atau ibarat belahan ombak yang segera menyatu. Menyamakan cara pandang adalah sebuah proses yang pelik dalam tataran praksis. Sebab bukan soal retorika semata yang dinanti rakyat, namun tentang mengurai dan menemukan causa prima persoalan pembangunan daerah.
Khalayak tentu penasaran dan bertanya apa terobosan yang akan dijalankan untuk menambah daya dongkrak dan gerak laju kabupaten yang sebagian desanya dikategorikan tertinggal dan sangat tertinggal ini.
Pertanyaan ini relevan diajukan, bukan karena alasan suksesi semata, melainkan karena dua fakta pertama Manggarai Timur adalah salah satu daerah tertinggal di NTT (Perpres No. 131 Tahun 2015); kedua, Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Manggarai Timur masih rendah (BPS Manggarai Timur, 2017).
BPS menyebutkan bahwa IPM Kabupaten Manggarai Timur (58,51) hanya terpaut 3,29 point dari juru kunci, Kabupaten Sabu Raijua (55,22). Ini berarti bahwa rata-rata indikator IPM berkategori rendah.
Suka tidak suka, IPM Ibarat rapor pembangunan daerah. Kesuksesan daerah tidak lagi diukur dari pertumbuhan ekonomi semata; melainkan dari 3 indikator yaitu sehat dan berumur panjang, berpengetahuan dan hidup layak (HDR dalam UNDP, 1990). Dalam arti lain Manusia adalah titik centrum indikator kinerja itu. Manusia menjadi alfa dan omega pembangunan.
Dua fakta tersebut adalah potret Manggarai Timur kini. Dan untuk dua tujuan ini pula berbagai intervensi pembangunan akan bermuara.
Tulisan ini merupakan apresiasi penulis atas percikan konsep (baca: terobosan) pembangunan bupati dan wakil bupati terpilih. Hemat penulis perspektif yang ditawarkan merupakan lompatan baru dan mesti diapresiasi.
Pertama Good governance
Main point-nya pada SDM ASN selaku administrator pelayanan publik. Aspek penting dari ASN adalah tentang Kedisiplinan dan kinerja.
Kedua hal ini simetris dengan kualitas produk layanan dan hasil pembangunan. Dalam istilahnya bupati Ande, ASN mesti seseorang yang selalu dicari-cari, bukan yang banyak aksi tetapi minim prestasi, tidak hanya berdiskusi pohon dan pojok yang lekas menguap namun melibatkan diri dan ambil bagian sesuai bidangnya, dan keluar dari mind set think in the box. Singkat kata, ASN mesti menjadi agent of change dan inovator-inovator bagi daerah.
Untuk melahirkan ASN dengan soft skill tersebut, Bupati selaku Pejabat pembina Kepegawian akan memberikan reward (baca: reward and punishman) bagi ASN. Secara harafiah, berarti apresiasi dan sanksi. Apresiasi bagi yang berprestasi, sanksi bagi ASN yang tidak. Ini dimaksudkan agar ASN lebih dinamis, inovatif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.
Di sisi lain, akan tercipta suasana kompetitif yang positif antar-ASN maupun antar-instansi. Sehingga birokrasi akan lebih lincah, bergairah, penuh prestasi dan terhindar dari kolusi, korupsi dan nepotisme serta berpengaruh positif terhadap kuantitas dan kualitas kinerja pelayanan publik dan pembangunan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kedua Membangun yang Tertinggal
Pembangunan tidak lagi dipahami sekadar membagi kue sama rata atau memprioritaskan desa asal politisi dan para pejabat daerah.
Pelayanan pembangunan akan dilakukan berdasarkan pertimbangan disparitas perekonomian, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan, aksesibilitas dan karakteristik antar desa.
Dengan kata lain, Pelayanan akan diutamakan pada desa-desa dengan angka IDM (Indeks Desa Membangun) ≤ 0,5989. Desa-desa dengan IDM rendah tersebut adalah desa miskin dalam dimensi ketahan sosial, ekonomi, dan ekologi (Permendes No. 2 Tahun 2016).
Inilah dasar logis pembanguan yang akan dijalankan. Dari desa-desa ber-IDM rendah inilah prioritas intervensi pembangunan dimulai dan dilaksanakan secara fokus, komprehensif-menyeluruh dan tuntas. Tagline pembangunan dimaksud.
Secara operasional berarti berpusat di desa tertinggal dan sangat tertinggal, dibangun dari berbagai sektor dan dilaksanakan sampai tuntas.
Rasionalitas Reward dan Pembangunan yang Tertinggal
Jika merujuk pada performance kinerja birokrasi seperti yang dinyatakan mantan Menpan-RB Asman Abnur, dua terobosan bupati tersebut, selain sebagai upaya mereformasi birokrasi, juga dapat dimaknai sebagai komitmen Bupati dan Wakil Bupati terpilih untuk memperkuat posisi birokrasi agar tumbuh menjadi institusi yang profesional dan berorientasi pada kinerja dalam rangka menjawab dua tantangan pembangunan daerah yang telah disebutkan di atas.
Abnur (Beritasatu.com) menyebutkan bahwa penyakit birokrasi yang masih mengancam antara lain perencanaan copy paste dan tidak fokus pada outcome yang ingin dicapai.
Akibatnya banyak anggaran digunakan namun tidak tepat sasaran atau mubazir alias pocket oriented, kualitas SDM yang belum optimal mendukung kinerja pemerintah, korupsi, kualitas pelayanan publik yang belum memenuhi harapan publik.
Penyakit-penyakit birokrasi ini sungguh menghambat tata kelola pemerintahan yang bersih dan akuntabel, efektif dan efisien lebih khusus dalam mendukung operasionalisasi kebijakan politik otorita daerah.
Terkait hal ini, hemat penulis, ada dua sistem pengelolaan ASN yang bertentangan satu sama lain yang perlu dipertimbangkan untuk efektifitas dan efisiensi penerapan reward dalam rangka mengangkat status desa-desa tertinggal dan sangat tertinggal menuju desa berkembang dan maju serta meningkatkan peringkat IPM Kabupaten Manggara Timur menjadi kategori sedang (≥ 60). Penerapan kedua sistem ini berkorelasi negatif maupun positif terhadap kinerja birokrasi daerah.
Sistem yang dimaksud adalah Merit sistem dan spoil sistem. Sebagaimana diketahui penempatan ASN dalam Merit sistem mempertimbangkan faktor kualifikasi, kompetensi dan kinerja secara adil dan wajar dari ASN (Permenpan RB No. 40 Tahun 2018); sebaliknya pada spoil sistem pengelolaan ASN lebih diukur dari koneksi politik, hubungan kekeluargaan dan pertemanan dan dukung mendukung semasa pemilukada.
Spoil sistem menegasikan kualifikasi, kompetensi dan kinerja. Sulit membayangkan seorang ASN akan profesional di luar kompetensi bidang akademiknya, kecuali jenjang karier dan diklat yang mendukung atau setidaknya butuh waktu baginya untuk belajar.
Selain itu, spoil sistem kontraproduktif terhadap peran dan fungsi ASN sebagai elemen terpenting birokrasi itu. Seperti diketahui selain menjalankan fungsi administrasi berbagai pelayanan umum kemasyarakatan, ASN juga menjalankan fungsi perencanaan dan eksekutor berbagai keputusan politik.
Dengan kata lain, penerapan reward terhadap para ASN yang berprestasi mesti diikuti dengan penerapan merit sistem ASN. Merit sistem akan menjadi ruang unjuk diri dan unjuk kebolehan yang obyektif, steril dari intervensi luar dan sekaligus embrio untuk birokrasi yang kuat dari aspek organisatoris dan personil.
Ziti Zuhro (Makalah, 2010) menyebutkan bahwa birokrasi mesti merujuk pada governance systems dengan nilai nilai (1) Institusi publik yang efisien terbuka, transparan tidak korup dan akuntabel di semua level termasuk prosedur pembuatan keputusan yang jelas (2) Pengelolaan sumber daya manusia, alam, ekonomi dan finansial yang efektif dan efisien demi terciptanya pembangunan yang adil dan berkesinambungan
(3) Masyarakat demokratis dikelola dengan mempertimbangkan hak asasi manusia dan prinsip prinsip demokrasi (4) Partisipasi civil society dalam proses pembuatan keputusan (5) Penegakan hukum dalam bentuk the ability to enforce rights and obligations through legal mechanism.
*Alumni Sastra Perancis Unhas, Makassar, ASN pada Pemda Manggarai Timur