Borong, VoxNTT- Nikolaus Nalang (67), tua adat Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT secara tegas menolak penebangan dan pembabatan hutan Wae Sele untuk pembangunan proyek Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT).
“Sekali lagi hutan Wae Sele, tebangpun tidak babatpun tidak,” tegas Niko saat ditemui VoxNtt.com di kediamannya, Jumat (18/1/2019) malam.
Ia menilai proyek SUTT itu, sangat merugikan para petani yang memanfaatkan air Wae Sele.
Banyak orang yang memanfaatkan air Wae Sele. Kalau hutan itu ditebang, maka akan merugikan banyak petani.
Niko mengaku tidak menolak program pemerintah. Namun, kata dia, setiap program, harus melalui prosedur yang baik dan benar.
“Dari pertama alasan saya tolak adalah air kering. Hutan ini yang melindungi mata air. Kalau air ini kering, maka bagaiamana dengan petani. Bukan hanya kami yang punya lahan, tetapi semua orang yang memanfaatkan air itu sasarannya nanti,” ungkapnya.
“Hutan oleh Tuhan, air oleh Tuhan, mana mungkin kita merusak itu? Apakah Negara bisa menjamin kehidupan kami dan cucu kami kelak,” tambah Niko.
Ia pun kembali menegaskan untuk tetap menolak penebangan hutan itu.
“Saya tidak izin kabel lewat hutan Wae Sele, kalau pindah silahkan,” tegasnya.
Menjaga Tradisi
Alasan Niko menolak proyek itu bukan hanya karena ia memiliki lahan yang diairi dari mata air Wae Sele, melainkan kultur yang diwariskan sejak lebih dari setengah abad silam.
Dia mengaku, sejak ayahnya meninggal pada tahun 1986 silam, Niko seolah diberi tugas untuk melanjutkan warisan adat itu.
“Mau tidak mau saya yang melanjutkan acara adat itu,” imbuhnya.
Menurut Niko, upacara adat di mata air Wae Sele (hulu air) dimulai sejak tahun 1950 silam.
Baca Juga: Proyek SUTT di Wae Sele Matim Ditolak Tuan Tanah
“Waktu pertama acara adat itu yang mulai adalah almarhum Fedatus Kembung, namun setelah ia meninggal tahun 1967, ritual itu dilanjutkan oleh almarhum Karolus Ndolu ayah saya, dan ketika Ndolu meninggal tahun 1986 maka pada tahun 1987 hingga sekarang saya yang melanjutkan tradisi itu,” kisah Niko.
Dari rentetan sejarah itulah bagi Niko, menjadi kewajibannya untuk menjaga warisan leluhur.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba