Borong, VoxNTT- Yustina Senda (70) tampak bahagia, ketika didatangi VoxNtt.com di kediamannya di kampung Sambi, Kelurahan Tanah Rata, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores NTT, Minggu (20/1/2019).
Tina demikian ia disapa merupakan satu dari sekian pengrajin daun lontar di kampung itu.
Hampir lebih dari separuh usianya, ia habiskan untuk merajut daun lontar menjadi sebuah karya kerajinan.
Bakul (mbeka: bahasa etnik rongga), tikar (te’e), tas (mbere), menjadi makanan empuk bagi Tina.
Walau di usia yang sudah melebihi setengah abad dengan mata yang tampak memburam, jemari Tina masih terlihat lincah.
Kebiasaan dan pengalaman, rupanya menjadi latar di balik cara Tina untuk merangkai daun lontar.
Daun lontar yang diolah Tina diperoleh dari anggota keluarga. Biasanya ia dapati daun lontar yang sudah siap ia pakai.
“Saya suruh mereka bawa yang sudah iris kecil-kecil dan sudah kering,” tuturnya.
Walau demikian, tak tahu persis, kapan ia coba merintis. Yang pasti ingatan Tina merujut pada masa kala ia remaja.
“Saya sudah buat ini semenjak masih kecil,” ungkap Tina sembari memperbaiki karya miliknya itu.
Dilatih sang Ibu
Merangkai daun lontar merupakan warisan sang ibu.
Bagi Tina niat dan ketekunan adalah jurus kunci untuk mendapatkan sesuatu.
Tak heran, almarhumah Elisabet Wela, ibu kandung Tina melatih putrinya itu hanya dalam waktu sekejap.
“Mama saya latih saya dulu, hanya satu hari saja saya langsung tahu,” imbuh Tina sambil mengingat kenangan bersama sang ibu.
Namun, apalah daya kecepatan menghasilkan sebuah kerajinan, tak lagi seperti kala Tina masih gadis.
“Dulu dalam waktu masih muda, dua sampai tiga hari bisa buat satu bakul atau tikar, tapi sekarang enam sampai tujuh hari,” imbuhnya.
Tentu Tina bukan tanpa alasan. Umur yang kian menua seolah menguras tenaganya.
“Saya tidak tahan duduk lagi sekarang, karena kerja itu perlu duduk dalam waktu yang lama,” tukasnya.
Tantangan dan Harapan
Bagi Tina tantangan mengeksiskan kembali kerajinan dari daun lontar yakni moderenisasi.
Zaman yang kian berubah seolah memanjakan setiap generasi saat ini.
“Sekarang zaman kamu sudah pakai karung dan plastik, sehingga untuk pakai bakul dari lontar sudah tidak lagi,” tuturnya.
Tina menilai produk yang dihasilkan saat ini, menjadi biang dari masalah lingkungan yang terjadi.
“Kami pakai ini supaya kami bisa pakai lagi karena ini kuat, kalian kalau pakai pelastik satu kali pakai langsung buang, itu yang menyebabkan sampah,” ungkapnya.
Kendati demikian, Tina tak putus asa. Ia lebih memilih memanfatkan hasil karyanya.
Baginya, membuat anyaman dari daun lontar adalah cara tepat merawat ingatan-ingatan masa lalu, agar tak tergerus dan lapuh oleh zaman.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba