Oleh: Boni Jehadin
Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok kini kembali menghirup udara segar. Hari ini dia dinyatakan bebas murni setelah hampir dua tahun dikurung dalam Rumah Tahanan (Rutan) Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat.
Ahok dipenjara atas tuduhan penistaan terhadap agama, saat menyampaikan pidato dalam kunjungannya sebagai Gubernur DKI Jakarta di Kepulauan Seribu, Rabu (28/09/2016) lalu. Saat itu Ahok menyinggung Surat Al Maidah 51.
Fenomenal
Jauh waktu sebelumnya, Ahok bukanlah sosok terkenal. Ia jarang bahkan hampir tak pernah muncul di layar kaca televisi saat menjabat sebagai anggota DPR RI Periode 2009-2014.
Namanya mendadak terkenal saat mendampingi Jokowi jadi Wakil Gubernur DKI Jakarta Periode 2012-2017. Ahok kian tenar setelah keduanya terpilih, mengalahkan calon petahana, Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.
Dalam menjalankan tugas sebagai Wakil Gubernur, Ahok tampak berbeda dengan Wakil Gubernur lainnya. Meski jabatan nomor dua, Ahok diberikan peran yang sangat besar oleh Gubernur Jokowi saat itu. Hampir setiap hari namanya menghiasi media massa. Berita tentang dirinya pun selalu terpopuler dan menjadi trending topic.
Hal itu bukan saja karena Ahok berasal dari kalangan yang dianggap minoritas melainkan juga karena kebijakan-kebijakannya yang dinilai berani dan antimainstream. Berikut didukung gayanya yang khas, yang kerap berbicara blak-blakan. Lawan bicaranya pun tak jarang dibuat telinga panas dan muka merah.
Bak gayung bersambut, gaya kepemimpinan Ahok rupanya sudah menjadi kerinduan publik Indonesia. Kehadiran Ahok dalam pentas politik nasional seperti memberikan harapan baru bagi rakyat.
Ahok seperti membangkitkan optimisme di tengah kegalauan publik dengan maraknya berbagai praktek KKN di negeri ini.
Tak hanya menjadi pengobat galau bagi rakyat, munculnya Ahok sekaligus menjadi ancaman besar bagi lingkaran kekuasaan para mafioso. Dia total melayani rakyat dan melawan kesewenang-wenangan, nekat dan tekad memberantas kerumunan mafia KKN yang sejak lama berkuasa dengan langgeng.
Tindakan Ahok itu saban waktu disaksikan secara terbuka oleh publik, khususnya karena rakyat merasa terlalu lama “terpenjara” di bawah kepemimpinan yang datar dan santun tapi tunduk di bawah segelintir elite.
Semua perilaku Ahok yang disaksikan melalui siaran media televisi maupun media massa lainnya tercatat dan terarsip rapi dalam ingatan publik.
Selepas Jokowi terpilih menjadi Presiden, ia mengambil alih kekuasaan, dirinya pun makin leluasa mengatur Ibu Kota. Tempat-tempat kumuh digusur, wilayah kekuasaan para preman seperti Kali Jodoh dan Tanah Abang diambil alih oleh Ahok. Konon dua tempat ini dirumorkan sebagai gudangnya para preman dan aneka kriminalitas.
Ahok tak peduli, bagi dia DKI Jakarta harus bersih dari premanisme dan kriminalitas. Wajah DKI sebagai Ibu Kota Negara harus terlihat ramah bagi semua. Karena itu semua jenis “sampah” mesti dibasmi.
Keberaniannya kemudian menimbulkan aneka macam reaksi. Bagi rakyat langkah Ahok memberikan kelegahan. Arus dukungan pun kian menguat. Namun di sisi lain, langkah Ahok menjadi ancaman bagi para Mafioso. Upaya perlawanan pun mulai digalakan. Lawan politiknya mulai mencari-cari kesalahan. Kesalahan sekecil apapun diangkat jadi bahan propaganda.
Bahkan ujaran kebencian mulai dimainkan lawan politik. Saban hari beranda sosial media dihiasi nama Ahok dengan dua versi, positif dan negatif. Bagi lawan, kebijakannya dianggap selalu salah, bahkan isu mayoritas vs minoritas mulai digoreng.
Ahok dituding tidak pro terhadap kelompok mayoritas, dituding korupsi (Baca Kasus Sumber Waras). Namun, pencekalan demi pencekalan tak mampu membuat mantan Bupati Blitung Timur itu gentar. Ia terlihat tegar. Dia bahkan tak segan-segan menantang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang menudingnya korup.
Namun demikian, sekuat-kuatnya Ahok, serangan menggunakan ayat-ayat Kitab Suci membuatnya terjungkal. Politisi fenomenal itu akhirnya tumbang juga setelah dihajar pakai Ayat Alquran, Almaidah 51.
Ucapan Ahok juga melahirkan sebuah kelompok politik baru yang dikenal dengan gerbong 212. Mereka berhasil menggelar berjilid-jilid aksi, bahkan berulang kali menggelar reuni alumni.
Pemimpin Berkharisma
Apa yang ditampilkan di atas tengah menunjukan, betapa Ahok sangat berkharisma. Pemimpin berkharisma adalah Pemimpin yang mempunyai daya tarik yang amat besar. Pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya besar. Semua ucapan dan tindakannya seperti berdaya magis yang menggetarkan dan menggerakan, menakutkan sekaligus mencengangkan.
Itulah Ahok dalam kaca mata saya setiap kali melihat reaksi publik terhadap mantan suami Veronika Tan itu. Walaupun divonis bersalah, cinta rakyat tetap melekat padanya. Itu terbukti dari isak tangis publik kala hakim memutuskannya dipenjara.
Kharisma Ahok juga tampak terlihat dalam hasil survei tingkat kepuasan masyarakat DKI Jakarta dalam masa kepemimpinannya. Walau dikenal tegas dan keras namun masyarakat puas dengan kinerjanya yang menurut survei mencapai 70%.
Kecintaan masyarakat Jakarta itu juga dibuktikan dengan tetap berpesta meski kalah serta pemberian ribuan karangan bunga yang memadati Balai Kota DKI. Bahkan Karangan Bunga itu kemudian mendapat rekor Muri dengan jumlah 5.016.
Karangan bunga yang sama pun hari ini, Kamis (24/01/2019) kembali menumpuk di Mako Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat. Bahkan ada yang dari kemarin menyambut kebebasannya dengan memberi ucapan selamat. Media sosial kembali ramai dengan nama Ahok yang kini lebih suka dipanggil BTP itu.
Cinta NTT untuk Ahok
Kharisma Ahok tak hanya berhasil meluluhlantahkan hati rakyat DKI, tetapi hampir semua rakyat Indonesia terutama masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rakyat NTT begitu mencintai Ahok, bahkan ketika ada penolakan dan perlawanan dalam dalam momentum politik DKI kemarin, tak segan-segan orang NTT memintanya untuk Calon Gubernur di NTT.
Tak hanya itu, dalam Pemilihan Gubernur NTT belum lama ini ada Pasangan calon yang “menjual” pamor Ahok untuk menggaet Pemilih di NTT. Jualan politik pamor Ahok itu cukup memberi effect perolehan suara yang sangat kuat.
Adapun Politisi NTT yang berani berseberangan dengan Ahok atau partainya mempunyai riwayat tidak mendungkung Ahok, maka rakyat NTT tak segan-segan melibasnya, baik itu di sosial media maupun saat pemilihan di TPS.
Penulis sendiri pernah merasakan getahnya saat merilis berita tentang Ahok Menceraikan Istrinya Vernonika Tan di media ini (VoxNtt.com).
Reaksi publik NTT di berbagai group sosial media Facebook dan WhatsApp saat itu macam-macam, mulai dari membuat mosi tidak percaya, mengancam, hingga cacian dan makian. Walau demikian, rating pembaca berita itu menempati komentar terpopuler selama sebulan dengan total pembaca mencapai 40-an ribu.
Baru-baru ini, media ini kembali merilis berita tentang Ahok akan mengunjungi Kampus Seminari Ledalero di Maumere, Kabupaten Sikka, berita itu juga menduduki posisi terpopuler dengan jumlah Pembaca 22.627 saat tulisan ini diturunkan.
Ini membuktikan bahwa pengaruh Ahok atau Ahok Effect sangat kuat di NTT.
Memasuki pemilihan legislatif kini, para politisi “genit” mulai memanfaatkan kesempatan dengan menjual kedekatan mereka dengan Ahok. Mulai dari klaim kedekatan pribadi maupun kedekatan secara organisasi, seperti pernah satu partai atau satu koalisi dengan Ahok.
Secara politik, strategi ini bisa jadi menguntungkan. Namun di sisi lain, menjual sosok Ahok untuk hasrat pragmatik kekuasaan justru menegaskan jurang perbedaan dengan spirit Ahok.
Bukan pendukung Ahok lagi, kalau seorang politisi menjelang pemilihan legislatif mengaku dekat dengan Ahok tapi hasratnya berpolitik demi menumpuk kuasa dan modal.
Begitupun mengaku satu partai atau satu koalisi dengan Ahok, tetapi partainya juara korupsi bahkan melanggengkan sistem korupsi.
Pada titik ini, orang NTT harus hati-hati. Jangan sampai koruptor lolos mendapatkan kekuasaan hanya karena mengaku dekat atau mirip dengan Ahok.