*)Cerpen Marsel Koka, RCJ
Senja semakin tenggelam dalam muram. Mentari sudah kembali ke balik malam. Angin seakan berhenti berdesau. Burung-burung juga enggan bersiul lagi. Gerimis dan sepoi angin menemani langkahku dalam perjalanan pulang. Aku seorang diri, berjalan menyusuri lorong di antara gedung-gedung pencakar langit di kota ini. Di depanku beberapa kendaraan lalu-lalang dan menghilang. Bocah-bocah kumal yang biasa kulihat mengais rejeki di sepanjang jalan ini tak tampak lagi. Mereka sudah hilang entah kemana.
“Ah, pasti mereka sudah terlelap di kolong jembatan itu. Kalau tidak, pasti sudah terlelap di guguk-gubuk reot dan gedung-gedung tua di seberang jalan ini”. Pasti! Cetusku sambil mencoba mereka-reka keberadaan mereka.
Langkahku perlahan-lahan menjauh. Di sepanjang jalan ini, aku terperangkap pada dua pemandangan yang berbeda. Yang pertama, di kiri dan kanan jalan ini, kerlap-kerlip cahaya lampu menarik sekali. Mempercantik gedung-gedung besar pencakar langit nan megah ini.
Bangunan mewah ini rupanya sudah berdiri kokoh sejak puluhan tahun yang lalu. Yang kedua, di sepanjang jalan ini, aku melihat dengan jelas wajah-wajah kumal dan tubuh kerempeng duduk mengambang dengan tatapan kosong. Banyak orang bilang mereka peminta-minta yang siang malam bernafas di sini.
Beberapa dari mereka pernah keluar masuk penjara gara-gara merengsek masuk beberapa gedung mewah ini tapa seizin petugas. Mereka pernah diusir dari tempat ini karena dinilai mengganggu pemandangan orang yang lewat. Tapi rupanya tidak ada pilihan lain selain kembali ke tempat ini. Kira-kira begitu.
Satu meter di depanku ada beberapa perempuan senja duduk sambil menyandar di tembok. Mereka duduk rapat-rapat sambil membendung dingin yang mulai melumati pori-pori tubuh mereka malam ini. Dingin memang terasa kental sekali. Aku pilu melihat ini. Namun kusembunyikan itu dalam-dalam.
Saat kakiku benar-benar di depan mereka aku menyapa dengan senyum lalu berjalan lewat. Namun setelah beberapa langkah berlalu, hati kecilku menjadi tak nyaman. “Kamu egois, kamu sombong, kamu tak peduli”! Ya, begitu kata hatiku.
Maka setelah satu langkah lagi, aku memutuskan untuk berhenti dan kembali ke belakang. Sambil tersenyum, aku bilang “Po, sa Inyo to!” Sige po, salamat, God bless. Mereka balik menjawabku sambil tersenyum.
Aku berlangkah sedikit legah karena sudah menuruti kata hatiku. Memberi walaupun sedikit itu, bernilai bagi mereka yang membutuhkan. Aku yakin selembar Peso itu bisa membeli sesuatu guna mengisi perut mereka malam ini. Semoga saja.
Aku berjalan melewati gedung-gedung megah sambil terus mengamati-amati. Di salah pintu masuk gedung bertingkat ini, kulihat beberapa pasangan suami istri dengan anak mereka baru tiba. Mereka turun dari kendaraan dengan merk yang berbeda dan warna-warni. Tak begitu lama, seorang Satpam mempersilahkan mereka masuk. Tanpa pemperiksaan yang ketat. “Ah, pasti orang berada”. Cetusku dalam hati.
Beberapa saat kemudian, kulihat lagi sejumlah pria berdasi turun dari mobil dan masuk ke gedung yang sama. Awalnya aku tidak kenal siapa orang-orang itu. Maklum, saat mereka lewat didepanku, kaca mobilnya ditutup. Namun setelah kuperhatikan baik-baik, rupanya mereka ini adalah orang-orang besar dan pejabat ternama di kota ini.
Beberapa dari mereka memang selalu muncul di TV belakangan ini. Katanya terjerat kasus. Persis apa kasusnya aku tidak tahu. Entah korupsi atau yang lain, aku juga lupa. Yang pasti mereka orang pengaruh di kota ini. “Pasti ada hajatan besar malam ini,” gumamku, sembari mengayunkan langkah melanjutkan perjalananku.
“Ah, pasti mereka perampok remah-remah hidup bocah-bocah malang dan pengemis-pengemis tua di kota ini. Bisa jadi mereka-mereka ini, yang juga sempat berkoar-koar saat kampanye tiga tahun kemarin. Katanya mau bangun ini, bangun itu, tapi sebenarnya omong kosong saja. Ah dasar! Dasar! Aduh, otakku mulai mengambang dan menuduh sembarangan. Oh tidak. Aku keliru. Bukan mereka. Bukan. Bukan mereka. Tapi? Ah biar saja. Otakku masih masih melawan.
Aku sudah menyeberang jalan dan berdiri tepat di depan sebuah bangunan besar. Mall terbesar se-Asia. Bagian samping Mall terpanjang sebuah poster berukuran besar dan bergambar aktor dan aktis muda, dari salah satu negara di planet ini.
Aku terpukau mengamati poster ini. Mereka memang orang-orang hebat yang tengah dan telah merebut perhatian anak remaja saat ini. Di tempat lain yang terdapat pula poster-poster berukuran kecil. Bergambarnya seorang artis dunia ternama yang sedikit vulgar. Aku sedikit malu melihantya. Begitulah.
Setelah tak lama berselang, lautan manusia pun keluar dari Mall ini. Mereka muncul dari berbagai pintu. Seperti semut. Masing-masing membawa sesuatu di tangan. “Oh, pasti mereka baru selesai belanja, selesai makan malam, selesai nonton dan jalan-jalan di dalam mall ini”, aku kembali menduga, sambil berjalan terus menjauhi mereka.
Aku mulai memasuki sebuah taman kota. Sedikit indah tempat ini. Lampunya remang-remang. Di beberapa sudut kulihat beberapa remaja duduk berduaan. Sesekali mereka berpelukan. Lagi pacaran sepertinya.
Pada sudut yang kulihat, seorang wanita cantik duduk sendirian. Sekitar 21 tahun umurnya. Dari wajahnya aku bisa tahu kalau dia lagi cemas. Mungkin sedang menunggu seseorang. Bisa jadi.
Sesekali dia mengutak-atik handphone di tanganya. Kali ini, matanya mulai pelan-pelan melirik ke arahku. Aku juga sama. Kami saling tatap namun agak malu-malu. Jujur, aku mulai suka padanya. “Kadang kita hanya butuh satu sesaat untuk naksir seseorang”.
Persis itu yang kualami saat ini. Aku coba melempar senyum. Dia tersenyum juga. Tipis tapi manis. Lesung pipinya kulihat dengan jelas. Aku melambaikan tangan. Dia juga sama. Tiba-tiba dia mengangguk seolah mengajakku masuk. Langkahku sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Menuju ke tempat dia duduknya.
Exuse po! Kata seorang pria menyentuh pundakku sambil menyerbot masuk ke tempat perempuan itu duduk. Nikol, kamu dari tadi? Tanya pria itu sambil mendaratkan cium bibirnya. Ah, tidak juga sayang, belum lama ko. Jawab Nikol.
Aku hanya berdiri menatap mereka yang kali ini sedang bercium mesra di taman remang-remang ini. Aku memandang mereka sambil menahan malu karena sudah salah menduga. Beberapa saat, si pria membuka percakapan sambil memeluk tubuh Nikol. Malam ini kita ke mana? Tanya sang pria. “Di hotel yang sama sayang”. Tapi seratus peso ya. Nikol balik menjawab. Oh gampang sayang, sahut sang pria sambil menarik Nikol masuk ke dalam mobil.
Itu percakapan teakhir yang sempat kudengar, sebelum keduanya pergi. Aku kembali mengayunkan langkah meninggalkan tempat itu.
Hari sudah malam sekali. Aku terjebak dalam sepi sendirian sepanjang jalan ini. Sambil melangkah semua yang terjadi barusan terus menumpuk di mata dan kepalaku. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku lagi. Aku hanya menggerutu dalam hati. Keheningan malam semakin panjang. Jujur saja ini kejadian pertama yang kulihat di kota ini.
Dulu memang orang pernah cerita tentang dunia malam termasuk di taman ini, tetapi aku tak begitu yakin. Makanya, kejadian yang tadi bukan sesuatu yang asing di kota ini. Semua orang tahu.
Pikiranku kacau. Marah, kasian, iri, malu. Mengaduk-aduk di otakku. Perasaan ini membuatku menjadi tak nyaman dan terus mengusik hati. Aku seolah masih tak percaya dengan kejadian barusan. Sambil berjalan aku terus mengingat semua peristiwa yang kulihat sejak awal mulai mengayunkan langkah tadi. Pada akhirnya aku memutuskan untuk membawa itu semua dalam doa kecil di sebuah Gereja yang letaknya tak jauh di depanku. Sambil berlutut aku mendoakan semua peristiwa barusan.
Di langit-langit Gereja, burung-burung kecil terbang ke sana-kemari bersiul-siul tak karuan. Mereka terlihat bahagia sekali. Barangkali mereka juga mengerti tentang apa yang kulihat dan kurasakan saat ini. Bisa jadi. Tapi tak kuhiraukan. Aku lebih memilih untuk tetap fokus, sampai doaku selesai.
Sepuluh menit lagi aku sampai di rumah. Di jalan ini, kendaraan sudah tak ada lagi yang lalu-lalang. Malam sudah larut. Lampu warna-warni terus menghiasi gedung-gendung pencakar langit di sepanjang jalan ini.
Di atap langit, dewi malam sudah tampak. Bintang-bintang juga tampil indah sekali. Aku sudah sampai rumah. Semua kisah yang terjadi barusan, kucatat dengan rapih. Isinya kira-kira seperti yang kamu bacakan sekarang.***
*Penulis berasal dari Riominsi -Riung Barat-Ngada Bajawa. Saat ini tinggal di Rogationist Seminary Manila-Filipina
Catatan:
Penulis menyertakan beberapa istilah Tagalog, bahasa persatuan Filipina.
- Sa inyo to : Ini untuk kalian
- Sige po salamat : Ok,terima kasih
- Peso : Mata uang Filipina