Oleh: Boni Jehadin
Semoga masih segar dalam ingatan publik pernyataan Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dalam pidato perdananya di Gedung DPRD NTT, Senin 10 September 2018 lalu atau 5 hari setelah dia dan wakilnya Yosep Naesoi dilantik.
Kala itu, Gubernur Viktor yang baru dilantik menunjukan kemarahannya terhadap pelaku perdagangan orang di NTT.
Bagi dia, pelaku perdagangan orang itu merupakan manusia yang paling keji di muka bumi. Perdagangan orang bagi dia merupakan perbudakan gaya baru. Karena itu, dia tidak ingin perbudakan itu terus merajalela di bumi Nusa Cendana tercinta ini.
Dalam Pidato itu, Viktor menunjukan keseriusannya memberantas mafia perdagangan orang. Maka tak heran, ketika podium pidato kala itu dipakainya untuk marah-marah.
Dia memang sering terlihat sangat murka. Walau akhir-akhir ini saya menduga itu sudah menjadi ciri khas pidato kader Nasdem itu.
Dugaan itu cukup beralasan setelah mengikuti berbagai pidato dan pernyataannya di berbagai media.
Saat itu Viktor bahkan mengancam akan mematahkan kaki para pelaku perdagangan orang. Atau jika polisi berhasil mematahkannya, maka akan mendapatkan uang dari Viktor sebagai hadiah.
“Saya minta aparat keamanan untuk patahkan kaki para pelaku perdagangan orang, dan berikan ke Gubernur. Nanti Gubernur yang kasih uang,” kata Viktor Laiskodat seperti dilansir Tempo.co.
BACA JUGA: Dari Patahkan Kaki Mafia Hingga Ancaman Tendang Kepala Kadis Nakertrans
Di tengah Pidato itu, Viktor juga mengumumkan kebijakan Moratorium Pengiriman TKI.
Tekad Viktor tak hanya terlihat sampai di situ, tetapi berlanjut dalam beberapa episode setelahnya. Puncaknya, ketika dia berang terhadap Bruno Kupok, hingga mengancam menendang kepala mantan Kadis Nakertrans itu. Setelah itu, nasib Bruno berujung pada pemecatan.
Dua pernyataan Viktor itu mendadak heboh, tak hanya menjadi perbincangan publik di tingkat lokal tetapi juga menjadi omongan orang di luar NTT. Pasalnya pernyataan itu langsung tertangkap radar sejumlah media daring nasional.
Dua pernyataan itu memang sempat menjadi kontroversi.
Pertama soalnya kebijakan Moratorium TKI. UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Luar Negeri yang digantikan UU No. 18 Tahun 2017 menegaskan, kebijakan moratorium menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Kontroversial kedua, terkait pernyataan Viktor yang dinilai menabrak etika publik. Banyak pihak yang menilai seorang Gubernur tak layak melontarkan kata-kata yang tidak sopan di muka umum.
Namun sebagai orang yang ikut peduli terhadap masalah perdagangan orang di NTT, saya waktu itu, termasuk salah satu orang yang ikut menyebarluaskan pernyataan Viktor sambil merayakan kegembiraan.
Saya menyebarnya secara sadar meski mengabaikan kedua kontroversi yang sedang terjadi di atas.
Dari kebijakan Viktor itu, saya langsung membayangkan kisah kemerdekaan bangsa ini dari perbudakan Kolonial Belanda dan Fasisme Jepang 73 tahun yang lalu. Saya juga melihat pernyataan Viktor itu seperti tengah menghantarkan NTT di depan pintu gerbang kemerdekaan dari Human Trafficking.
Reaksi publik yang memuji Gubernur Viktor itu sangat masuk akal. Mengapa? Karena masalah Human Trafficking (HT) bukan masalah baru atau baru memakan korban. Masalah ini telah lama tidak diselesaikan atau mungkin sengaja tidak diselesaikan oleh rezim sebelumnya.
Ya, 10 tahun kepemimpinan Frans Lebu Raya sebagai Gubernur NTT, tidak melakukan apa-apa untuk memberantas perilaku keji para mafia yang mencari untung dari balik organ tubuh sesamanya itu. Homo homini lupus sungguh nyata di era kepemimpinan Gubernur Frans Lebu Raya.
Karena itu, saya kerap menyebut mantan Gubernur Frans Lebu Raya seperti pria yang lemah syahwat. Omongannya merakyat, seperti sedang memberikan orgasme tetapi ternyata tak berdaya dan tak bertenaga. Bahkan banyak yang menduga, Frans Lebu Raya paham masalah ini tetapi membiarkannya.
Hal itu dibuktikan dengan data dari BP3TKI dimana pada tahun 2015, terdapat 28 korban meninggal yang dipulangkan dengan jumlah perempuan 9 dan laki-laki 19, kategori procedural 8, nonprocedural 20.
Tahun 2016 terdapat 46 korban, 21 perempuan, 25 laki-laki, dengan kategori procedural 5 dan nonprocedural 41.
Trend ini semakin naik dua tahun belakangan yakni 2017 dan 2018.
Pada tahun 2017, masih di kepemimpinan Frans Lebu Raya, terdapat 62 korban, perempuan 20, laki-laki 42. Dengan kategori Prosedural 3 dan nonprocedural 59.
Sementara di tahun 2018 jumlahnya sangat tinggi yakni 105 korban, perempuan 34, laki-laki 71. Kategori procedural 3 dan nonprocedural 102.
Angka ini tidak termasuk mereka yang pulang dalam keadaan hidup namun menderita cacat. Angka ini juga, tentu sudah dibaca Frans Lebu Raya selama kepemimpinannya. Tetapi begitulah Frans, dia sibuk membela diri. Gubernur Frans kerap menyebut berbagai kekurangan yang dilabelkan pada daerah ini hanya sebagai kambing hitam, termasuk label NTT sebagai Nusa Tertinggi Trafficking, termiskin, terbelakang, tertinggal dan ‘ter-ter’ lainnya.
Di tengah kegalauan rakyat akan gaya Frans, datanglah Viktor, sebagai pria yang kelihatan sangat bertenaga dalam membongkar mafia perdagangan orang itu.
Namun semakin ke sini, saya melihat tekad Viktor memberantas perdagangan orang di daerah ini masih berupa teriakan, belum menyentuh aksi apalagi gerakan.
Bagaimana tidak, baru saja Viktor mengumumkan moratorium, selang sebulan lebih setelahnya, dia mengeluarkan SK baru melalui Plt. Kepala Dinas Nakertrans, Sisilia Sona.
Isinya boleh mengirimkan TKI bagi dua perusahaan yang mempunyai sertifikat BLKN yakni Citra Bina Tenaga Mandiri dan BLKN Gasindo Buala Sari.
BACA JUGA: Dikirim PT. Citra Bina Tenaga Mandiri, Yosinta Pulang Bersama Peti Mati
Anehnya lagi, informasi yang didapatkan media ini melalui seorang petugas Satgas Human Trafficking dari Dinas Nakertrans di Bandara El Tari, Senin (28/01/2019) mengatakan, perusahaan lain boleh bekerja sama dengan BLKN pada dua perusahaan itu.
Salah satunya kerja sama untuk melakukan pelatihan bagi yang direkrut oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Jika demikian, maka boleh disimpulkan bahwa moratorium itu hanya di atas kertas.
Sejak awal memang kebijakan moratorium itu sudah dikritik pegiat masalah HT, bahwasannya moratorium TKI itu nihil konsep bahkan hanya menyuburkan praktek perdagangan orang di daerah ini. Hal itu karena isinya tidak menyentuh substansi tindak pidana perdagangan orang.
BACA JUGA: Catatan Akhir Tahun: Menanti Eksekusi Tegas Laiskodat dan Naesoi
Gubernur Viktor pun pada akhirnya seperti pria yang orgasme sebelum mencapai klimaks, atau boleh juga dikatakan nafsu tinggi tetapi tenaga lemah.
Anggapan ini punya alasan yang mendasar sebab pada waktu Viktor berpidato (10 September 2018 lalu), sudah 72 orang yang meninggal di tahun 2018.
Sementara rekapan BP3TKI di akhir tahun, korban meninggal mencapai 105 orang dan pada tahun 2019 sudah 11 orang meninggal.
Itu artinya, usai Viktor berpidato bukan solusi konkret yang diterima rakyat NTT. Rakyat malah kembali menerima 44 jenazah TKI yang dikirim dari luar negeri selama masa kepemimpinannya.
Itulah yang saya maksudkan dengan lemah syawat itu. Di mulut seperti mengeluarkan janji-janji orgasme, namun lemah dalam tindakan.
Padahal sebelumnya, Gubenur Viktor sudah berjanji untuk mengajak TKI yang sedang bekerja di Malaysia untuk pulang membangun NTT.
“Saya akan pergi ke Malaysia untuk mengajak saudara-saudara kita yang menjadi TKI di Malaysia yang bekerja sebagai buruh, untuk kembali membangun NTT,” ucap Viktor seperti dilansir Kompas.com, Kamis (6/9/2018).
Masalah lain ditemukan dari data yang diperoleh media ini, melalui Satgas Human Trafficking Disnakertrans di Bandara El Tari. Dari data itu, terungkap, per 13 Januari 2019 sudah 81 orang CTKI yang dicekal.
Namun anehnya, hingga kini belum diketahui berapa dan apa saja perusahaan yang merekrut 81 orang itu. Pekerjaan Satgas itu hanya mengintrogasi, mensosialisasi moratorium (mereka menyebutnya pembinaan) lalu menandatangani berita acara.
Setelah itu, CTKI disuruh pulang ke kampung asalnya tanpa mencari tahu siapa yang merekrut serta perusahaan apa yang merekrut mereka.
Bersambung…