Bagian ini merupakan sambungan dari cerpen karya Gode Afridus Bombang Jodoh Pilihan Ibu: antara Perempuan Jawa dan Molas Manggarai
“Maaf Inang, aku tak bisa menerima tawaran Inang menggantikan posisi Kak Rahayu di hati Nana Edo. Mungkin aku terkesan egois Inang, tapi jujur aku tidak siap mengisi posisi itu. Aku yakin walaupun sekarang Nana (sapaan halus untuk lelaki Manggarai) Edo pasrah mau dinikahkan dengan siapa saja, tapi posisi Kak Rahayu di hatinya tidak akan tergantikan, aku yakin itu.” elak Flora.
“Inang bisa memahami penolakanmu. Memang yang paling tepat untuk Edo tiada lain Rahayu itu. Masalahnya, apa mungkin Inang menemui Rahayu, meminta maaf kepadanya dan melamarnya untuk Edo?” tanyaku tidak yakin.
“Inang, aku siap membantu Inang mempertemukan kembali Nana Edo dan Kak Rahayu. Pertanyaannya sekarang justru untuk Inang, apakah sekarang Inang siap kalau Nana Edo menikah bukan dengan orang Manggarai?” Flora sepertinya ingin mencari ketegasan sikapku.
“Iya Enu, sekarang Inang sadar bahwa jodoh tidak bisa dipaksakan. Aku ikhlas Edo menikah dengan siapapun, termasuk Rahayu tentunya. Bagiku kebahagiaan putraku adalah segalanya.” jawabku penuh keyakinan.
“Baguslah kalau begitu Inang, kita tinggal cari cara mempertemukan Inang dengan Kak Rahayu.”
“Lho memang kamu tahu Rahayu itu ada dimana?”
“Iya Inang, aku tahu. Inang juga sebetulnya sudah kenal koq sama Kak Rahayu, cuma Inang tidak tahu kalau itu Kak Rahayu mantan pacarnya Nana Edo. Sepanjang penglihatanku kayaknya Kak Rahayu juga masih mencintai Nana Edo.”
“Eh tunggu dulu, maksudmu siapa? Inang kenal dengan dia?” tanyaku penasaran.
“Iya Inang. Kak Rahayu itu adalah ibu guru Ayu, salah satu langganan Inang di pasar,” jelas Flora.
“Maksud kau Ibu Ayu yang mengajar di SMAN 2 Kotakomba?”
“Betul sekali Inang, itulah Kak Rahayu mantan pacar Nana Edo. Cuma selama ini Nana Edo tidak tahu kalau Kak Rahayu ada di dekatnya. Inang kan tahu Nana Edo belakangan ini tidak pernah peduli dengan sekitarnya. Sebaliknya Kak Rahayu, di satu sisi belum mau menerima laki-laki lain kalau Nana Edo belum menikah, tapi di sisi lain dia juga tidak mau mendekati Nana Edo lagi, dia tidak ingin mengganggu rencana Inang menjodohkan Nana Edo dengan Molas Manggarai. Hal ini aku tahu, karena dia adalah rekan guru di SMA.” jelas Flora agak mendetail.
“Kalau Ibu Ayu aku kenal. Menurutku, dia anak yang baik, dia dekat sekali sama Inang.”
“Iya Inang. Dia awalnya pernah cerita kalau dia punya orangtua angkat yang jualan sembako di pasar, namanya Mama Vero, tetapi dia tidak tahu kalau Inang itu orangtuanya Nana Edo. Lalu aku bilang ke dia kalau Inang itu ibunya Nana Edo, awalnya dia kaget, tetapi kemudian dia bilang bagus juga setidaknya Mama Vero tahu kalau dia tidak sejelek yang diperkirakan. Dia juga mengaku kalau dia sayang sama Inang. Itu sebabnya dia selalu menolak dengan halus setiap Inang mengajaknya ke rumah, menurutnya dia bukan tidak mau, tapi dia takut ketemu Nana Edo, dia takut tidak kuat menahan hasrat dan rindu untuk kembali dekat dengan Nana Edo, juga,dia takut kalau Inang lalu membencinya.”
“O gitu ya, berarti Ayu masih mencintai Edo?”
“Sepertinya begitu Inang.”
“Mengapa kamu tidak bilang ke Inang, biar kita persatukan?”
“Tidak berani Inang, kan Inang maunya Nana Edo menikah dengan Molas Manggarai.’
Ini memang salahku. Tapi mumpung Ayu dekat, aku akan mendatangi dia, menyampaikan permohonan maaf sekaligus melamarnya buat Edo. Ah, semoga dia masih mau memaafkan aku dan mau menerima lamaran Edo.
* * *
Sore-sore sekitar pukul 17.00 aku mendatangi kontrakan Ibu Ayu alias Rahayu.
“Selamat sore Ibu Ayu.” sapaku ramah begitu dia membukakan pintu kontrakannya.
“Eh Mama, selamat sore, masuk, masuk Ma. Tumben sore sore mama ke sini, ada yang bisa kubantu?” tanya Ayu ramah.
“Iya Mama ada perlu sedikit, semoga tidak mengganggu.”
“Mari kita ngobrol di dalam aja Ma.” ajaknya ramah.
Setelah berbasa-basi sebentar, aku langsung menyampaikan maksud dan tujuan kedatanganku.
“Ayu, mama sudah tahu siapa kamu. Mama senang bisa tahu kalau kau mantan pacar anakku. Ayu, mama hanya ingin menyampaikan permohonan maaf Mama padamu. Mama mohon maaf karena telah bersalah memisahkan kau dan Edo, padahal kalian saling mencinta.” kataku memelas.
“Ma, mama tidak bersalah. Kalau aku di posisi Mama, tentu aku juga akan melakukan hal yang sama. Sebagai ibu, mama tentu menginginkan yang terbaik untuk putranya, dan memang aku tidak memenuhi syarat, jadi pantas dan layak bila mama ingatkan Abang sebagai anaknya untuk tidak salah pilih. Sebaliknya, kalau sudah salah pilih segera berubah sebelum terlanjur. Itu sangat wajar Ma, mama tidak salah.” jawab Ayu tenang.
“Iya anakku, mama memang selalu menginginkan yang terbaik buat Edo. Awalnya dengan keterbatasan wawasan mama, mama berpikir yang terbaik untuk Edo adalah yang di sekitar mama. Ternyata salah, Edo hanya mencintaimu. Awalnya mama pikir apa kelebihan perempuan satu itu sehingga membuat putraku tidak bisa berpaling. Setelah mama mengenalmu, mama bisa memahami mengapa Edo memilihmu dan hanya mencintaimu. Saat ini kalau boleh mama meminta, tolong lupakan semua yang pernah terjadi, terutama penolakan mama atas kamu. Kalau mama masih diperkenankan memohon, kembalilah ke Edo, dia masih mencintaimu. Kami sekeluarga akan dengan senang hati merestuimu.”
“Mama, Ayu sudah melupakan masa lalu itu, Ayu juga sudah memaafkan semuanya. Tapi maafkan Ayu Ma, Ayu tahu diri, Ayu bukanlah calon yang pantas buat Abang Edo, masih banyak yang lebih layak dan pantas buat dia, dan juga layak dan pantas buat mama dan keluarga besar. Pilihlah yang terbaik buat dia Ma, aku iklas ” suara Ayu bergetar.
“Kau memang perempuan hebat anakku, mama semakin kagum denganmu. Ketika Edo belum menemukan jodoh yang pas selama enam bulan kemarin, sekarang tanggung jawab pencarian jodoh tersebut ada padaku, dan Edo harus menerima siapapun pilihanku. Jujur sejak tanggung jawab itu dibebankan padaku yang pertama terlintas di benak mama adalah kau yang akan kujodohkan dengannya. Itu jauh sebelum aku tahu kalau kaulah perempuan yang putraku susah berpaling ke yang lain. Apa lagi sekarang setelah mama tahu kaulah wanita yang selalu dicintai putraku, keinginanku untuk melamarmu buat Edo semakin besar.”
“Itulah sebabnya sore ini mama datang padamu. Pertama, mau memohon kebesaran hatimu untuk melupakan semua kata-kata penolakan mama dan maafkan mama. Kedua, juga memohon kebesaran hatimu untuk menerima Edo kembali. Mama ingin melamarmu buat Edo, mama ingin menikahkan kau dengan Edo. Sekarang terserah Ayu, tapi yang pasti apa yang mama katakan saat ini, itulah suara dan sikap mama, juga suara dan sikap keluarga besar.” Ayu diam saja, tidak berbicara apa-apa.
“Ayu, mungkin mama tidak pantas meminta ini setelah hatimu terluka oleh kata-kata mama, tapi tolong pikirkan demi Edo dan demi cinta kalian. Mama memang tidak tahu lagi bagaimana perasaan Edo saat ini padamu, setelah perpisahan yang sekian lama. Tapi dari sikap dan perilaku Edo selama ini yang selalu menjauhi setiap perempuan yang menaruh hati padanya, mama yakin dia masih mencintaimu. Mungkin Ayu perlu tahu, saat ini Edo sudah berjanji kepada mama akan menerima siapapun perempuan pilihan mama. Sekarang tinggal terserah Ayu, bersedia atau tidak.” desakku lagi. Ayu bukannya menjawab, malah menangis dan memelukku erat-erat.
“Katakan saja anakku, mama siap menerima apapun jawabanmu dan apa pun jawabanmu itu tidak akan mengubah dan mengurangi rasa sayang dan cinta mama padamu sebagai anakku. Tidak usah takut, katakan saja apa adanya.” kataku lembut sambil mengelus rambutnya.
“Mama, apakah ini kenyataan? Apakah aku tidak lagi bermimpi kalau sore ini mama datang melamarku buat putranya sekaligus laki-laki yang selalu kucintai dan kuharapkan selama ini?” tanya Ayu.
“Tidak anakku, ini bukan mimpi, ini realitas.” jawabku
“Mama, tentu mama terkejut mengapa aku kerja di sini to? Mama, walaupun aku yang pergi meninggalkan Abang Edo, tapi selama ini aku selalu berupaya berada di dekatnya. Aku sengaja merantau ke sini, bekerja di daerah ini tiada lain biar selalu dekat Abang, bisa sesekali menatapnya walaupun dari jauh dan secara sembunyi-sembunyi. Ya karena aku tetap mencintainya, bahkan walaupun aku sadar mustahil untuk mendapatkannya. Kalau sekarang mama datang meminangku menjadi istrinya, saya tidak punya alasan buat menolak karena dia satu-satunya laki-laki yang kucintai. Saya siap mama, tapi dengan syarat.”
“Apa syaratmu, katakan saja.”
“Syaratnya, mama dan keluarga di sini mau mEnerimaku dengan segala kekuranganku. Lebih penting lagi, Abang Edo juga masih mau menerimaku dengan sukarela. Abang tidak boleh dipaksa untuk menerimaku lagi, kalau dia berkeberatan.”
“Terimakasih Ayu untuk kesediaannya. Kalau soal keluarga besar, siapa pun pilihan mama mereka siap mEnerima. Begitupun pasti Edo, dia adalah anak mama yang berbakti, dia pasti siap lahir batin menerima siapa pun pilihan mama. Apa lagi yang kupilih perempuan yang satu-satunya dia cintai.” kataku meyakinkan.
“Ayu, karena Ayu telah bersedia, bagaimana kalau malam ini Ayu ke rumah, mama ingin perkenalkan kau pada Edo, bahwa mama telah menemukan jodoh baginya, juga kepada keluarga besar mertuamu, biar mereka tahu dan segera memprosesnya.”
“Tapi Ma…”
“Nanti mama minta Pak Tote, kepala sekolahmu dan ibu, serta Flora yang akan menemani kau ke rumah. Tenang saja, nanti mereka yang urus, kau ikut saja. Mama duluan ya..”
* * *
Pukul 20.30 di rumahku telah berkumpul sebagian besar keluarga suamiku dan tetangga kiri kanan. Aku sudah sampaikan bahwa malam ini aku akan memperkenalkan kepada mereka jodoh buat putraku.
Semua senang dan berjanji akan segera memproses pernikahan mereka baik dalam hal urusan yang berkaitan dengan agama maupun adat-istiadat. Tentu sebelum itu aku sudah bilang sama Edo tentang niatku ini.
“Edo, Ene sudah menemukan jodoh yang pas buatmu. Malam ini Ene ingin perkenalkannya denganmu dan keluarga di sini. Ene harap kau mau menemuinya dan menerimanya. Nanti Ommu Pak Tote dan ibu yang akan mengantar gadis itu kemari malam ini. Siap to?” tanyaku pada Edo.
“Iya, Ene atur saja, saya percaya Ene pasti pilih yang terbaik, saya siap menerimanya Ene.” jawab Edo datar.
“Apa tidak ingin tahu siapa yang Ene pilih?”
“Ene, apa saya masih boleh memilih? Kalaupun masih, rasanya saya tidak akan bisa memilih, karena yang saya inginkan dan saya cintai tidak ada di sini. Tapi seperti janji saya pada Ene dan keluarga besar saya siap menerima siapa pun pilihan Ene termasuk yang malam ini, dan saya juga siap menikahinya dan belajar mencintai jodoh pilihan Ene.”
“Terimakasih anakku atas baktimu pada Ene dan keluarga besar.”
Aku begitu terharu dengan jawabannya yang penuh kepasrahan.
Lima menit kemudian rombongan Pak Tote sudah hadir di rumah. Ternyata Omnya ini lagi lagi ingin buat kejutan buat Edo. Ayu dituntun masuk dengan pakian bercadar, sehingga Edo tidak tahu siapa yang ada dalam cadar tersebut.
“Edo, mamamu telah berbicara banyak dengan perempuan bercadar ini. Dia telah menerima lamaran ibumu, katanya dia ini fans berat sama kamu, dia sangat mencintai kamu sehingga dia mau menerima lamaran ibumu. Cuma dia punya syarat harus abang Edo, begitu katanya kalau dia menyapa Edo yang bukakan cadarnya. Kalau Edo menolak, dia tidak akan memaksa, dan Edo harus menutupnya kembali. Dengan Edo membuka berarti Edo menerimanya. Gimana setuju Edo?” Pak Tote ingin membuat seisi ruangan penasaran.
“Baik Om, saya setuju” jawab Edo.
“Ayo silahkan Edo, buka cadarnya” perintah Pak Tote.
“Baik Om. Sebelum saya buka cadar ini saya tegaskan, karena ini pilihan Ene, seperti apapun dia akan saya terima, karena saya percaya pilihan Ene pasti yang terbaik untukku.” Edo berhenti sejenak.
“Ok sekarang saya buka” Edo menyingkap cadar yang mEnutup wajah Ayu.
“Lho kok kamu adek?” Edo terkejut, dia tidak pernah menduga bahwa Ayu yang ada disana.
“Iya Abang.” jawab Ayu malu-malu.
“Kok bisa begini Ene?” tanya Edo.
“Itu tidak penting Edo, nanti saja ceritanya. Terima tidak pilihan Ene?” aku sengaja menggoda putraku.
“Kan sudah Edo bilang Ene dari tadi, siapapun pilihan Ene pasti kuterima.”
“Hanya karena pilihan ibumu? Ingat lho, Ayu tidak akan bersedia kalau hanya karena kau ikut pilihan ibumu, sementara kau sendiri dalam hati menolak.” goda Ibu Tote.
“Kalau ini pasti mau dong.” jawab anakku tegas sambil merangkul Ayu ke dalam dekapan, melepas kerinduan.
Sejenak mungkin mereka lupa kalau lagi di tengah keluarga besar. Tapi ah, biarlah, kebahagiaan anakku adalah segalanya.*