Oleh: Fransiskus Sabar
Anggota Kelompok Diskusi Centro John Paul ll, Ritapiret
Sekitar pertengahan bulan Januari lalu, koran “Kompas” menurunkan berita penting terkait angka kemiskinan di republik ini. Badan Pusat Statistik (BPS) membeberkan data tentang angka kemiskinan di Indonesia yang mengalami penurunan dari 9,82% pada Maret 2018 menjadi 9,66% pada September 2018 (kompas,16/01/2019).
Dibandingkan tahun sebelumnya, khususnya September 2017 lalu, BPS mencatat angka kemiskinan republik ini 10,12% atau setara dengan 26,58 juta orang. Dan menurun pada Maret 2018 menjadi 9,82% yang artinya ada 25,95 juta orang yang masih hidup di bawah garis kemiskinan (Basis, No. 09-10, Tahun ke 67, 2018).
Di satu pihak, bagi masyarakat kebanyakan tentu berita ini menjadi kabar gembira di tengah hiruk pikuk konstelasi kehidupan ekonomi negara ini. Meskipun menurun secara perlahan, tetapi paling tidak negara ini telah berjuang keras melawan kanker kronis kemiskinan yang masih menyeret bangsa ini ke lubang kahancuran. Inilah optimisme bangsa yang harus ditumbuh-kembangkan di setiap hati nurani anak-anak bangsa.
Namun di pihak lain, angka kemiskinan yang masih terpuruk ini justru menjadi pemicu konflik horinsontal lainnya. Apalagi di tahun politik sekarang ini yang diwarnai oleh pelbagai isu SARA dan kampanye Populis yang sangat menohok.
Kemiskinan telah menjadi isu populis alternatif sekaligus senjata nuklir politik antar calon, baik dalam kontestasi pilpres maupun dalan pertarungan caleg April mendatang.
Drama Politik Populis Global
Populism is one of the main political buzzwords of the 21ST century! Tulis Cas Mudde dan Cristobal Rovira Kaltwasser sebagai kalimat pembuka pada buku Populism: A Very Short Introduction.
Jelas bahwa maksud tulisan ini ialah merujuk pada populisme baik sebagai ideologi maupun sebagai gerakan politik, secara kompherensif telah menyatu dalam dinamika politik global saat ini. Artinya, gelombang populisme di hampir seluruh dunia tak dapat dielakkan. Getarannya dapat dirasakan pada sendi-sendi kehidupan politik di seluruh dunia.
Di dunia barat, drama politik populis ini kian menjadi stategi politik persuasif yang masif-progresif. Hal ini dapat diteropong dari kehadiran beberapa figur populis yang berhasil mengguncang dunia dengan pelbagai visi dan misi populis mereka masing-masing.
Sebut saja presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang berhasil mendulang suara masyarakat Amerika dengan isu populis seperti islamfobia, rasisme, fasisme dan proteksionisme hingga berujung pada kemenangan Jair Bolsonaro sebagai presiden Brazil.
Jair Bolsonaro yang merupakan figur neo-liberal ini ternyata lebih suka dikenal sebagai rekan dekat rezim diktaktur militer yang menguasi Brazil pada tahun ’60-an sampai ’80-an. Sehingga tak heran kampanye politiknya sering menyinggung isu-isu populis mengenai resistensi terhadap perkembangan globalisasi, politik pajak yang terdesentralisasi, dan pembangunan infrastuktur yang terkendali.
Tak hanya di Amerika, di daratan Eropa juga drama politik populis ini menjadi suatu diskursus politik yang seksi. Di Eropa, politik populis ini ditandai oleh munculnya partai-partai politik anti Uni Eropa, seperti partai Front Nasional di bawah Marine Le Pen di Prancis, United Kingdom Independence Party di Inggris, selain di Spanyol, Finlandia, dan Belanda. Dan yang paling menonjol adalah kemenangan partai Syriza di Yunani.
Munculnya pelbagai partai populis di atas tidak lain merupakan suatu reaksi konfrontatif atas ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi sosial dan politik di negara mereka masing-masing.
Dalam kacamata populisme, hal ini merupakan gerakan resistensi masyarakat menengah dan bawah terhadap institusi politik yang mengabaikan ketimpangan keadilan, kesejahteraaan dan kemakmuran masyarakat itu sendiri.
Politik ini juga muncul sebagai reaksi keras atas kekecewaan massa terhadap janji-janji politik liberal, terutama di barat, dan janji modernisme di negara-negara berkembang.
Sementara di Asia, populisme lebih dikenal sebagai hantu sosial yang divonis sebagai gerakan politik destruktif yang mengikis keagungan peradaban timur. Ia seperti hantu, yang Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Antonio Guterres, anggap sebagai “rahim” yang melahirkan pelbagai isu populis negatif yang mengatasnamakan agama, politik primordial, kemiskinan dan intoleransi.
Hal ini juga dapat dilihat dalam kajian kritis rasional dalam diskusi yang bertema, “Populist Politics in Southeast Asia Transforming or Impending Democracy” di Redaksi “Kompas” april 2015 lalu, yang mengupas tuntas tentang politik populis sebagai strategi mendulang suara pemilih. Misalnya Thaksin Shinawatra di Thailand, Rodrigo Duterte di Filipina, dan pemimpin populis lainnya.
Ancaman Populisme di Indonesia
Di Indonesia, meminjam Jokowi, hantu populisme ini lebih familiar disebut politik genderuwo. Genderuwo populisme yang kian mengancam dan menggerogoti nilai-nilai substansial demokrasi pancasila dengan isu populis yang destruktif-progresif.
Isu politik identitas yang berbasis SARA, konstelasi ekonomi yang lemah dan miskin serta diskriminasi dan ekslusivisme berdasarkan dikotomi minoritas-mayoritas, menjadi semacam ancaman serius populisme atas republik ini. Apalagi menjelang kontestasi pilpres di tahun politik ini.
Dalam suatu studi politik Marcus Mietzner berdasarkan pertarungan politik pilpres 2014 lalu yang berjudul, “Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestations in Indonesia” (2015), Marcus Mietner menjelaskan bahwa pemilihan presiden pada periode sebelumnya merupakan pertarungan politik antara dua figur populis, sekalipun keduanya menggunakan dua pendekatan yang sama sekali berbeda.
Prabowo Subianto sebagai menantu laki-laki dari Soeharto, mengikuti hampir semua pedoman teks klasik populisme: ia menghukum pemerintahan yang ada dan memperbaiki yang sulit, ia menyerang perusahaan asing yang mengambil kekayaan alam Indonesia tanpa kompensasi yang santun, ia menggambarkan elit dalam negeri sebagai kroni dari perusahaan parasit ini, ia juga mengundang daya tarik orang miskin, tak berpendidikan, dan penduduk desa untuk memberi dukungan.
Sedangkan lawannya Jokowi merupakan bentuk baru populisme yang berbeda dalam beberapa hal.
Pertama, Jokowi tidak membuat janji untuk mengubah sistem politik yang ada-ia hanya mengusulkan untuk mengubah kerangka status Quo demokrasi.
Kedua, ia tidak memiliki target perorangan atau kelompok sebagai musuh, malah ia mempresentasikan dirinya sebagai sosok yang inklusif. Ketiga, ia menahan diri dari retorika anti asing untuk menarik dukungan.
Dari studi di atas, Marcus Mietner sesungguhnya mau memaparkan suatu aktus politik dari dua figur populis yang kini bertarung kembali dalam kontestasi pilpres April 2019 mendatang.
Marcus Mietner mau menunjukkan bahwa kedua figur populis ini akan bertarung dalam arena populisme yang sama tetapi menggunakan pendekatan serta visi-misi yang berbeda.
Namun, akan menjadi suatu persoalan besar jika isu-isu populis ini menyandang dan menyeret persoalan-persoalan yang berbasis SARA dan juga isu kemiskinan yang membonsai republik ini.
Kampanye-kampanye politik yang tidak substansif dan tidak menyentuh akar persoalan seperti keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran. Tetapi malah berorientasi pada kampanye populis yang mengedepankan propaganda kemiskinan, agama, ras, suku dan antar golongan.
Dengan demikian, masalah kemiskinan bukan dilihat sebagai suatu masalah serius tetapi justru dijadikan sebagai senjata nuklir politik oleh pemimpin populis tertentu.
Inilah kanker demokrasi yang mesti kita waspadai pada pilpes April mendatang.
Ingat! menyetir Ernest Gellner yang pernah dikutip Dr. Otto Gusti, SVD bahwa seekor hantu sedang mengancam dunia populisme namanya.