Oleh: Kanis Liba Bana

Saya masih ingat kondisi awal Kampung Mbero. Memori  ingatan saya masih lengket  memahat tentang kampung itu. Setiap kali mendaratkan langkah di kampung itu saya selalu berjumpa dengan kesimpulan ini,’ Mbero masih tertinggal. Masih terisolasi. Masih terbelit dengan kekurangan dan keterbatasan. Masih jauh dari sentuhan fasilitas umum yang memudahkan masyarakat.  Alur transportasi dan komunikasi lintas kepentingan masih mampet. Air minum bersih masih sulit dijangkau. Kondisi  ruas jalan tetap  buruk. Tentang Mbero masih menampilkan potret yang sama. Begitulah kondisinya. Masih tetap sama dari dulu hingga kini. Kecuali perubahan-perubahan kecil. Kondisi bangunan rumah warga misalnya  sudah agak bagus.

Baca sebelumnya: Mbero, Narasi Yang Tak Kunjung Putus (1)

Berhadapan dengan kenyataan itu  saya jadi gelisah. Pertanyaan negelangsah melingkar di botak kepala saya. “Apakah Mbero masih bagian dari Manggarai Timur?” Pertanyaan nakal ini terasa radikal. Seakan-akan tidak cerdas tangkas menatap semua yang telah diletakpijakkan tentang  pembangunan Manggarai Timur. Bukan  itu kegelisahan saya. Semata-mata karena merasa ada yang tidak beres. Ulu hati terasa perih bila saya pulang ke kampung mama saya itu.  Mengapa nian, urus jalan dan air ke Mbero menjadi serba sulit.

Meski kegelisahan  menggedor-gedor  akal dan ulu hati saya, tetapi ada suatu yang menguatkan  saya. Pertama; kebanggaan akan  sikap optimisme  warga Mbero. Di mana mereka mampu mengkolerasikan  keterbatasan dengan ketegaran hati.  Antara suratan nasib dan takdir. Itulah energi positip yang selalu mengalir membuat mereka tidak pernah cengeng dan galau.  Apalagi mengemis-ngemis kepada wakil mereka di lembaga Dewan yang pernah mereka pilih. Tidak. Sekali lagi…  tidak ada dalam kamus hidup mereka.

Kedua, meski merasa tidak adil dan dianaktirikan, namun mereka tidak pernah protes apalagi demo besar-besaran ketika kegiatan bor air minum bersih sudah survei dan  menjanjikan kepada warga akan segera dieksploitasi, tiba-tiba dipindahkan ke tempat lain. Atau alokasi anggaran   untuk peningkatan  jalan ke wilayah itu tiba-tiba hilang begitu saja.Sepertinya mereka sudah hilang gairah untuk memperbincangkan  hal itu. Mereka sudah jenuh dengan janji-janji semu pemanis  bibir. Mereka sudah muak dengan  romantisme para wisatawan politik yang datang  ke wilayah itu seraya  menawarkan harapan akan bangun itu ini segala. Mereka tidak  mau  ambil pusing lagi dengan  hal-hal  yang sifatnya tak pasti.

Ketiga, mereka sadar bahwa wisatawan politik begitu peduli dan empati ketika pesta pilkada atau pileg tiba.  Mereka  tiba-tiba rutin datang meski  tak diundang. Janji sana-sini meski tak diminta. Warga setempat sadar bahwa mereka semua  hanyalah pengemis intelektual yang pandai mengoyak-ngoyak rasa demi meraup suara. Sebab fakta menunjukkan setelah mereka terpilih  Mbero bukanlah tilikkan prioritas.  Jangankan menatap  dan mencatat ‘borok-borok luka’ keterbatasan fasilitas, melirik saja tidak. Mbero hanya sekadar ladang suara. Itu sebabnya, entah  anggota Dewan yang sudah mereka pilih  untuk satu periode pun dua periode kesimpulan mereka tetap sama. Perilaku  dan tabiatnya tetap sama.

Yang tertanam dalam nubari warga Mbero hanyalah keinginan yang meluap-luap untuk pulang ke dalam keseharian saja. Mereka hanya mau yang konkret-konkret saja. Yang nyata dan riil. Mereka tidak butuh omongan yang berbusa-busa. Mereka sudah mempersetankan semua narasi tak berbekas  dan ‘berbisa’ itu. Bagi merekayang lebih penting adalah urus kehidupan  sendiri.  Yang lain-lain, terkait fasilitas jalan tergantung pemerintah daerah maunya kapan. Mau nanti-nanti terus juga  sudah biasa. Mereka seakan beraras dalam adagium yang marak diucapkan beberapa orang Wae Rana, Kelurahan Rongga Koe,  “Ai go Tuhan!”

Yang lebih mendesak dan urgen bagi mereka adalah membereskan kemiri, kopi, coklat dan pisang untuk segera dipasarkan dari pada berkutat dengan keterbatasan fasilitas yang ada. Mereka lebih penting urus padi, jagung dan ternak dari pada sekadar bernostalgia   akan tiba fasilitas jalan yang mulus dan air minum bersih yang segar dan dingin.

Yoseph Manggas Vs Siprianus Habur

Melintasi perjalanan menuju Mbero, membuat Yoseh Manggas tertegun. Ia ke wilayah itu  ingin menawarkan nama, mengetuk pintu hati orang-orang di sana agar  mendukungnya, sebagai calon anggota DPRD NTT dari Partai Hanura.  Ia datang menyapa langsung warga Mbero.  Dia tidak mau mengulangi dosa-dosa yang diperankan para politisi dengan cara mengirim stiker atau baliho.  Baginya mengunjungi pemilih jauh lebih penting dari pada mengirimkan benda mati itu.Baginya dengan mendatangi langsung  ia dapat  melihat dari dekat bagaimana realitas kehidupan orang-orang Mbero. Ia ingin menyatakan simpati dan empati  dengan menjenguk banyak raga dan menyapa banyak jiwa. Di sana akan terlihat telanjang. Akan bertukar harap dan keinginan.

Dalam peluh yang belum kering Yoseph Manggas menyatakan rasa kegetnya. Ia mengaku sepanjang pengetahuannya wilayah desa yang sangat terisolasi adalah Lait, Desa Gunung Baru. Tetapi ketika berada di Mbero, ia sadar ternyata wilayah inilah yang paling tertinggal dalam segala hal. Padahal potensi alamnya  sangat mebanggakan. Komoditi  unggulan  tersebar meluas. Yang ia kagum dan patut mengacungkan jempol adalah optimisme warga yang tak pernah luntur. Gairah warga yang terus memperjuangkan nasib. Bertarung dengan hidup dan kehidupan itu sendiri.

Dalam nada memelas, Yoseph Manggas juga memohon maaf kepada  warga setempat.  Ia mengaku secara jujur. Bahwa selama jadi anggota DPRD Manggarai Timur  periode 2009-2014  tidak pernah mengunjungi Mbero. Hal itu bukan sengaja, tetapi dalam pemahamannya yang urus wilayah itu seharusnya jadi kewajiban orang-orang yang mereka pilih. Dalam bayangannya Mbero sudah sedikit lebih baik dari kampung lain. Ternyata faktanya jauh panggang dari api.

Sejurus kemudian, dalam nada protes  Manggas  menghubungi, Siparianus Habur, anggota DPRD Manggarai Timur. Kepada anggota Badan Anggaran DPRD Matim ini,  Manggas mengisahkan kondisi badan jalan di wilayah itu.

“Saya baru pertama kali ke wilayah itu. Kondisinya menyedihkan. Jalannya sangat buruk dari semua lintasan jalan yang pernah saya jejaki di Manggarai Timur. Saya bayangkan betapa sulitnya mereka. Tolong plotkan anggaran untuk lintasan jalan itu,” tuturnya datar.

Bak gayung bersambut, Habur mengungkapkan bahwa pada tahun 2019  sudah ada anggaran  untuk pembangunan jalan itu. Tinggal realisasinya saja. Karena itu warga setempat diharapkan bersabar.  Pemerintah daerah tidak tutup mata. Apalagi prioritas kegiatan pembangunan  Bupati dan Wakil Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas-Jaghur Stefanus menggelondongkan anggaran yang besar untuk jalan masing-masing kecamatan 10 KM.

Menyambut informasi tersebut, sebagaimana disampaikan Yoseph Manggas,  masyarakat setempat menanggapinya dalam dua sikap berbeda. Pertama; setengah percaya. Mengapa? Sebab  bagi mereka informasi dan  janji-janji serupa sudah sering mereka dengar. Bahwa  lintasan jalan Muting-Wolo Roka, Mabha Ndata hingga Waru yang menghubung  Bhamo, Luwu-Paundoa tembus  Munde akan segera dikerjakan. Tapi faktanya bagai angin berhembus. Datang dan pergi tak berbekas.

Kedua, jika informasi dari  anggota Dewan Sipri Habur, sebagaimana disampaikan Yoseph Manggas  itu benar mereka menyarankan agar alokasi anggaran itu digunakan untuk meningkatkan lintasan  jalan dari Muting hingga Mbero-Waru. Sedangkan sambungan lintasan jalan dari Luwu menuju Bhamo  dikerjakan pada tahun-tahun anggaran berikutnya.

Lintasan jalan Muting-Mbero, terang warga setempat  menjadi penting dan sentral   karena pada lintasan itulah transportasi lintas kepentingan dapat  berjalan dengan efektif. Baik untuk memasarkan komoditi pertanian,  kebutuhan  ke pasar Borong, jalur utama anak-anak SLTP,  juga urusan di kantor desa.Berangkat dari pertimbangan kepentingan itulah maka masyarakat setempat sangat mengharapkan agar alokasi anggaran pada tahun 2019 dapat  mengakomodir lintasan yang sangat dibutuhkan tersebut.

Mbero… di fase helaan napas yang sejengkal ini. Kita membathin. Kampung dengan segala problematik kesulitasn fasilitas umum adalah kisah pedih, tarian jiwa  yang mesti didengarkan. Ratapan warga yang senantiasa mengiang. Mazmur duka yang selalu mereka dendangkan. Dan kita? Entah pemerintah daerah atau politisi. Cobalah kita  tengok ke dalam seraya mengulurkan kasih.  Terketuklah nubari kita. Sebab mereka sangat memerlukannya.

Baca Juga: