Oleh: Simply Dalung
Komunitas TOR Ritapiret
Kebhinekaan dan keberagaman selalu ambivalen. Di satu sisi, menyembulkan potensi-potensi konstruktif-transformatif tentang keberagaman ide, gagasan dan pandangan moral yang dapat memperkaya ruang diskursus demokrasi. Sementara di sisi lain, dapat tampil dengan wajah beringas. Dia berpotensi menjadi pemicu konflik antar agama dan budaya.
Dewasa ini, wajah rentan kebhinekaan kerap dinstrumentalisasi oleh kelompok-kelompok berkepentingan. Politik adu domba warisan pemerintah kolonial Belanda menjadi opsi politik pemungkas demi memuluskan libido para elite.
Mencuatnya sentiman antar agama dan etnik akhir-akhir merupakan contoh nyata instrumentalisasi identitas untuk tujuan politik tersebut. Realitas kemajemukan pada akhirnya dilihat sebagai sumber perpecahan.
Epidemi Intoleransi
Intoleransi merupakan masalah yang jamak dan kompleks. Memandang kerumitannya, menurut hemat saya, ada empat hal yang baiknya diperhitungkan.
Pertama, sentimentalitas. Seyogianya, sentimentalitas tidak selalu negatif, karena kita manusia juga didorong oleh sentimen moral untuk berbuat baik (Hardiman, 2018:9).
Namun, timbulnya sentimen-sentimen negatif dewasa ini memeyorasi makna sentimentalitas ke dalam rasa persekutuan yang eksklusif dan fanatis.
Sentimentalitas lebih mengandalkan emosi dan kedap terhadap nalar. Dalam pada itu, kebencian adalah landasan yang mendominasi rasio dalam setiap pengambilan tindakan.
Karena mendominasi rasio dan kedap terhadap nalar, sentimentalitas menolak falsifikasi dan tidak kritis terhadap segala macam informasi dan kejadian.
Situasi seperti ini akhirnya menimbulkan banyak hoaks dan ujaran kebencian yang memicu perpecahan dan intoleransi.
Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi. Berbagai sentimen dan resistensi kelompok intoleran terhadap keberbedaan boleh jadi merupakan ekspresi protes terhadap kondisi sosio-ekonomi yang sakit dan pincang. Jurang kaya-miskin yang makin melebar, diskriminasi terhadap masyarakat kecil dan miskin, praktik politik yang sarat manipulasi dan keputusan politik yang berat sebelah.
Di sini, kaum yang dilihat sebagai kelompok intoleran hadir untuk menentang tatanan sosio-ekonomi yang sakit dan pincang.
Ketiga, politisasi isu agama dan isu-isu primordial. Kondisi sosio-ekonomi yang sakit dan pincang, disusul sudah tumbuhnya benih kebencian menjadi gorengan lezat bagi politisi yang haus kekuasaan untuk memainkan isu-isu seputar agama, budaya, ras dan etnik.
Muaranya, penguasa dan aktor politik akan mendapatkan dua keuntungan sekaligus, pertama, nama baik lawan politiknya akan hancur, dan kedua, dia akan mendapat basis dukungan yang kuat.
Fenomena seperti ini timbul begitu nyata dalam kehidupan sosio-politik di Indonesia. Pada akhirnya, proses seperti ini akan membidani kelahiran pemimpin yang otoriter, anti-pluralis dan intoleran, bahkan bukan hanya si pemimpin, tetapi juga masyarakat pendukungnya.
Keempat, hegemoni neoliberalisme dan fundamentalisme agama. Tak bisa dipungkiri lagi bahwa dua ideologi yang sedang mengancam sistem ekonomi, sosial dan politik dunia ini juga sedang menancapkan tonggak kekuasaannya di Indonesia.
Neoliberalisme menyata dalam hadirnya perusahaan-perusahaan transnasional yang egois, agresif dan destruktif. Mereka melakukan pemiskinan sistemik terhadap masyarakat rentan yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Neoliberalisme menjadi jauh lebih berbahaya lagi apabila dia masuk ke dalam pemerintahan dan mengkontaminasi keputusan-keputusan pemerintah.
Para pemimpin yang “gila uang” akan mudah dimobilisasi oleh kelompok neoliberalisme ini. Pada akhirnya, sistem neoliberalisme akan menciptakan kesenjangan sosio-ekonomi.
Berbeda dengan neoliberalisme, ideologi fundamentalisme agama lahir dari keinginan sempit dan konservatif untuk membentuk suatu hegemoni kekuasaan yang berlandaskan ideologi agama.
Ideologi ini jelas melahirkan agama yang intoleran. Ideologi ini menciptakan aneka jalan kekerasan dan terorisme untuk memusnahkan agama lain (baca: kaum kafir).
Hegemoni dua ideologi besar ini, menelurkan keterpecahan dan kelompok-kelompok yang saling cerca dan intoleran.
Rasionalisasi dan Radikalisasi Pancasila
Sikap intoleran mudah diprovokasi oleh bermacam-macam kepentingan. Dalam pada itu, hanya menyalahkan dan menghukum pelaku intoleransi adalah jalan yang belum sempurna.
Kita perlu mencabut akar persoalannya. Pertama, rasionalisasi. Mengatasi dominasi sentimentalitas atas rasionalitas, masyarakat perlu diperkenalkan dengan sikap rasionalitas.
Rasionalitas ditandai dengan adanya falsifikasi dan sikap kritis terhadap segala sesuatu. Oleh karena itu, masyarakat perlu diajarkan lagi tentang bagaimana bersikap kritis terhadap segala macam informasi.
Hal ini juga bisa mejalar ke dalam institusi-institusi pendidikan. Praktik pengajaran monologal harus segera direvisi menjadi praktik pengajaran yang dialogal. Peserta didik harus diasah daya kritisnya, bukan dicuci otaknya.
Kedua, radikalisasi nilai Pancasila. Merebaknya masalah-masalah yang memicu intoleransi dan hegemoni neoliberalisme dan fundamentalisme agama, merupakan buah dari melonggarnya penghayatan terhadap Pancasila.
Oleh karena itu, radikalisasi terhadap Pancasila adalah sebuah keniscayaan. Pancasila harus menjadi satu-satunya jiwa yang menghidupi bangsa Indonesia.
Harus ada sinergisitas antara sistem ekonomi, politik, sosial dan pendidikan untuk menghidupkan dan meradikalkan nilai-nilai Pancasila sehingga menjadi karakter dan jati diri bangsa Indonesia.
Dengan menjadi Indonesia, orang Jawa tidak harus kurang Jawa, orang Bugis tidak harus kurang Bugis, orang Katolik tidak harus kurang Katolik, dan orang Islam tidak perlu mengurangi keislamannya (Suseno, Kompas, 18/1/19).
Persatuan dalam konteks Indonesia tidak pernah mereduksi perbedaan. Obat mujarab dari epidemi intoleransi adalah Pancasila.