Oleh: Ichan Pryatno
Mahasiwa STFK Ledalero, Maumere
Semarak kontestasi pilpres 2019 mendatang paling tidak menunjukkan beberapa hal.
Pertama, pemilu yang akan digelar mendatang merupakan representasi kemerdekaan dalam frame politik-demokratis.
Konon dalam sejarahnya, era-orde baru pernah mempresentasikan politik ketakutan (politic of fear) dalam lanskap demokrasi bangsa.
Kebebasan dalam berdemokrasi dipenggal, rakyat sendiri dieksploitasi dan direduksi menjadi manusia massa. Alhasil ketika itu rakyat mengalami ‘ketidaksadaran’ dan kepatuhan total untuk memilih kandidat yang sama.
Namun sejak momentum reformasi hingga saat ini, marwah ketakutan itu sudah ditiadakan. Kini setiap individu sungguh merdeka dan bebas untuk dipilih maupun memilih dalam setiap penyelenggaraan pemilu, termasuk dalam kontestasi elektoral presiden 2019 mendatang.
Kedua, semarak kontestasi elektoral dalam dirinya sendiri merupakan bukti konkret sebuah proses demokrasi. Pemilu mempresentasikan kesediaan berpatisipasi, menyediakan ruang untuk berdiskusi, berdialektika dan mengonfrontasikan gagasan. Sehingga yang terjadi, jalan menuju pendewasaan sekaligus pengadaban kian membuka lebar.
Ketiga, menyetir Lawrence Leduc, sebagaimana Ikhsan Darmawan, pemilu juga berfungsi untuk membentuk agenda kebijakan ke depan, memilih wakil-wakil (pemimpin), menentukan komposisi di parlemen, dan memengaruhi distribusi kekuasaan di pemerintah (Darmawan, 2015: 144).
Post-Truth sebagai Persoalan
Disadari istilah post-truth (pasca-kebenaran) merupakan istilah asing, yang jarang ditemukan dalam sejarah peradaban. Meski demikian, dalam beberapa tahun terakhir istilah tersebut semakin popular di kalangan masyarakat, sebab salah satunya berkenan dengan fenomena persoalan politik global, yakni terpilihnya Donal Trump dalam kontestasi AS 2016 lalu (Irwansyah, “Pengorganisiran Merespon Pasca-kebenaran”, Harian Indoprogres, 28/11/2016).
Atas dasar itu, Oxford Dictionaries mengartikan pasca-kebenaran atau post-truth sebagai suatu keadaan di mana fakta objektif dipelintir dan dikalahkan oleh kekuatan emosional dan kepercayaan pribadi.
Di Indonesia sindrom pasca-kebenaran juga kembali membanjir dalam meja diskursus publik. Menjelang kontestasi pilpres mendatang, ia kian ditematisasi dalam setiap perbincangan dan sekaligus menjadi bahan perhatian di kalangan akademik, pengamat sekaligus pemikir sosio-politik.
Melejitnya perbincangan ini, dikarenakan kian mengemukanya kisruh dalam lanskap politik akhir-akhir ini.
Konstelasi politik kian diwarnai oleh pelbagai kekacauan yang kian menganga dikarenakan kepercayaan total pada fakta yang dangkal. Kebencian terus menjalar akibat adanya modifikasi atas kebenaran.
Selain itu, problem hoaks kian mengaras, yang diikuti dengan terhimpitnya daya nalar oleh kekuatan emosional.
Dalam kaitannya dengan ini, beberapa persoalan hoaks menjelang kontestasi electoral (pilpres) kerapkali dimunculkan semisal: hoaks penganiayaan yang dialami Ratna Sarumpaet, kasus kotak suara berbahan dasar kardus, hoaks kontainer berisi surat suara pemilihan presiden dan wakil presiden yang sudah tercoblos untuk pasangan tertentu, dan pemberitaan kisi-kisi soal pada debat pertama pilpres yang digelar pada 17 Januari 2019 lalu.
Alhasil yang dipanggungkan dalam arena pasca-kebenaran yakni problem hoaks yang diikuti daya tarik emosi dan perasaan, yang berakibat fatal pada rancunya keadan politik. Ia memantik amarah, membakar gejolak massa, hingga berujung runtuhnya ortodoksi demokrasi rakyat.
Kita bisa saksikan, gejolak seputar identitas, melumernya kebencian, hujatan, makian, dan ketakutan dalam ruang publik, merupakan bukti konkret pengkhianatan akan kebenaran.
Karena itu, berkenan dengan kontestasi pemilihan presiden mendatang, yang dapat ditatap dari watak politik pasca-kebenaran ialah: pertama, politik pasca-kebenaran merupakan politik palsu atau politik paska fakta, di mana perdebatan publik dibingkai oleh daya tarik pada emosi dan perasaan masyarakat, terlepas dari fakta atau maksud politik yang sebenarnya (Mansford Prior, Epilog dalam Madung, 166: 2017).
Opini publik dan narasi politik dibuat dengan sangat pragmatis dan sekaligus tertinggal jauh dari kebenaran konkret. Sensasi dan pernyataan palsu terus diumbar hingga meyakinkan kelompok rakyat.
Paling tidak dalam momentum menjelang kontestasi pilpres mendatang, pelbagai propaganda yang krisis fakta kian dilampiaskan, aneka kejelekkan yang dibesar-besarkan, rumor ataupun desas-desus kian menjadi bahan dasar dari masing-masing kubu demi melengser lawan politiknya.
Kedua, dalam bingkai pasca-kebenaran, problem kebohongan menjadi bagian integral. Kebohonganan kian dijamah dan menjadi pegangan bersama, lantas kebenaran tidak lagi dianggap.
Dalam bahasa George Orwell, sebagaimana Peter Tan, kebohongan telah mengisi propaganda politik, sedangkan kebenaran disepak. Kebohongan difiksasi sebagai kebenaran (Tan, 2018: 135).
Ketiga, pasca-kebenaran dalam dirinya bernafaskan irasionalitas. Daya rasionalitas terhimpit, sebab orang-orang lebih mengedepankan sikap yang tidak sejalan dengan kemashlatan bersama.
Dalam situasi menjelang pilpres saat ini, terlihat adanya usaha masing-masing kubu mencoba mempreteli, bahkan menyingkirkan faktum kebenaran yang diakui bersama, menyeret kekuatan akal, hingga berujung bertaburnya makian, fitnaan, dan peperangan. Masing-masing kubu menyingkirkan akal sehat dan membuat sebuah kebenaran palsu.
Intelektual yang Tanggap
Kata intelektual, yang merupakan transliterasi dari Bahasa Inggris ‘intellectual’, sering juga dimaknai sebagai cendikiawan.
Kata intellectual itu sendiri merupakan adopsi dari kata Latin interlegere atau intellegere yang berarti membaca hal-hal yang tersirat atau memilah-milah dengan seksama.
Point penting dalam pengertian ini ialah adanya usaha aktif dalam membaca, memikir, dan menanggap realitas, yang dibarengi dengan kesatuan moralitas yang utuh.
Dalam pengertian mutakhir, intelektual merupakan orang-orang terdidik (akademisi, pengamat dan pemikir, LSM, dan pelbagai kalangan terdidik lainnya) yang selalu haus untuk berpikir dan menganalis masalah. Mereka ini tidak saja mengandalakan kekuatan nalar melainkan diafirmasi oleh moralitas yang mapan.
Dalam kaitannya dengan pelbagai problem yang menyeruak (pasca-kebenaran) menjelang kontestasi pilpres mendatang, peran dari kalangan intelektual diyakini sangat penting.
Mereka hendaknya mengedepankan panggilan mulianya sebagai agen pengedaban demokrasi. Karena itu, konkretisasi atas gagasan ini: pertama, kalangan intelektual hendaknya selalu mengedepankan aktivitas berpikirnya.
Dalam pengertian Arendt, sebagaimana Yosef Keladu Koten, yang menjadi titik tolak dalam berpikir ialah realitas di sekitar kita (Koten, 2018: 73).
Dengan demikian, seorang intelektual harus berani berpikir dan merefleksikan tentang persoalan pasca-kebenaran yang kian mengemuka akhir-akhir ini. Aksi lanjutannya yakni dengan mengedepankan suara pembaruan.
Kalangan intelektual mesti cermat membaca persoalan dan tak segan mencerahkan publik melakukan lontaran kritik publik.
Kedua, kalangan intelektual hendaknya mencebur diri dalam kehidupan masyarakat. Ia mesti tampil mencerahkan sekaligus mengadabkan rakyat. Ia mesti melakukan sosialisasi kepada kalangan rakyat atas kondisi politik yang terjadi.
Melalui kecerdasan nalar dan kemampuan yang memadai, kalangan intelektual hendaknya melakukan penyadaran dalam masyarakat tentang problem aktual yang terjadi.
Adalah sebuah bentuk pengkhianatan total, tatkala kalangan intelektual justru tampil sebagai kaki-tangan pejabat, yang tampil dan menyeret rakyat pada kesesatan.
Karena itu, kalangan intelektual hendaknya selalu menjadi penerang di tengah mengamukknya persoalan pasca-kebenaran menjelang pilpres mendatang.
Kalangan intelektual hendaknya terus menjadi pelita yang mengantarkan rakyat pada gerbang pemahaman sehingga konstestasi pilpres mendatang berlangsung aman tanpa terpukul oleh sindrom pasca-kebenaran.