Oleh: Rio Nanto
Ketua Kelompok Menulis di Koran (KMK) dan Diskusi Filsafat Ledalero
Hasil penelitian lembaga survei elektabilitas menjelang pemilu bukanlah suatu tolok ukur kemenangan maupun kekalahan. Pasalnya, pilihan politik pemilih masih menyisahkan pertimbangan antara rasionalitas dan sentimentalitas yang jarang terkuak.
Beberapa contoh yang bisa disebutkan di sini antara lain pasangan Sudirman Said – Ida Fauziyah di Jawa Tengah dalam Pilkada 27 Juni 2018. Sebelum pemilihan, Lembaga Survei menyebutkan tingkat elektabilitasnya paling tinggi cuma 20 persen. Faktanya, berdasarkan hasil pemilu suaranya mencapai 45 persen – kalah 17 persen dari pasangan Ganjar Pranowo – Taj Yasin.
Contoh lain adalah pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu di Jawa Barat. Dengan hasil elektabilitas hanya 11 persen menurut hasil survei, tetapi mengantongi suara tiga kali lipat dari prediksi.
Fenomena ini setidaknya menjelaskan beberapa analisis berikut. Pertama, ada kemungkinan bahwa lembaga survei gagal memahami aspirasi pemilih.
Kedua, komodifikasi politik identitas. Sejumlah mesin parpol dan invisible hand meminjam Adam Smith, bekerja ekstra keras untuk mendongkrak pilihan politik rakyat menjelang pemilu.
Dalam kasus Jawa Barat dan Sumatera Utara, misalnya, turunnya sejumlah ulama mengkampanyekan pasangan Sudrajat – Syaikhu dan Edy Rahmayadi – Musa Rajeksah disebut-sebut menjadi penyebab utama. Sejumlah warga menganggap kedua pasangan ini memperjuangkan agama mereka.
Tampaknya politik identitas memiliki peran yang tidak kecil dalam pilkada Juni 2018 lalu dan mungkin juga dalam pemilihan Presiden April 2019 mendatang.
Politik identitas menjadi komoditas yang menarik dalam mendulang simpati publik. Penulis kemudian mencoba mengontemplasikan fenomena politik identitas tersebut dalam hubungan dengan demokrasi di Indonesia.
Dalam lanskap demokrasi, politik identitas, sebagaimana dikatakan oleh Francis Fukuyama bukan lagi fenomena minor, melainkan sudah menjadi konsep utama untuk menjelaskan masalah-masalah demokrasi.
Kompetisi, rekam jejak dan personifikasi calon bukan menjadi konten utama untuk memikat pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, agama, dan identifikasi partisan lainnnya dengan dirinya (Marland, 2013).
Pilkada di Jawa Barat dan Sumatera Utara yang dikutip penulis di awal tulisan ini dan Pilkada Jakarta pada akhir 2016 merepresentasikan betapa politik identitas menjadi instrumen ‘seksi’ dalam mendulang dukungan pemilih.
Ahok, petahana yang yang memiliki eletabilitas tinggi – pemimpin yang bersih dari korupsi – pada akhirnya kalah dengan marketing politik yang mereproduksi poltik identitas.
Praksis politik identitas dalam perhelatan pemilu di Indonesia ternyata bukan suatu hal yang baru dalam politik internasional. Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara demokrasi dalam praksisnya mereproduksi politik identitas dalam pemilihan Presiden.
Lawan politik Barrack Obama menyoalkan identitas kultural seperti tempat kelahiran, warna kulit dan agama. Obama pada akhirnya memperoleh kemenangan menjadi Presiden, tetapi politik identitas masih menjadi jalan merebut kekuasaan.
Hal ini bisa kita amati dalam gaya politik Donald Trump. Selama masa kampanye Trump menyokong politik identitas dengan mempersoal masalah ras, agama dan gender. Jurus ini terbukti ampuh mengantar Trump menjadi pemimpin tertinggi Amerika Serikat.
Politik identitas mengedepankan sentimentalitas. Propaganda melalui kampanye mereproduksi isu-isu agama, etnis dan identitas kolektif lainnya untuk merebut simpati rakyat. Paket dramaturgi politis seperti ini melibatkan massa dalam jumlah yang besar meskipun atas nama demokrasi, tentunya menjadi lonceng kematian demokrasi. ‘
Politik identitas menjadi suatu kendala bagi demokrasi. Demokrasi adalah suatu proses rasionalisasi. Salah satu hasil rasionalisasi adalah keberhasilan suatu masyarakat majemuk untuk melampaui loyalitas-loyalitas primordial di dalamnya.
Lewat demokrasi bukan hanya kekuasaan politis, melainkan loyalitas-loyalitas primordial terkait agama dan etnisitas dikontrol oleh penalaran publik (F. Budi Hardiman, 2018).
Sementara politik identitas mengendap dalam sisi-sisi gelap seperti prasangka-prasangka dan stigmatisasi. Demikian melalui politik identitas orang memutuskan untuk membenci, bahkan mengintimidasi pihak lain.
Membayangkan demokrasi terlepas dari konteks budaya dan agama tentunya suatu kemustahilan. Agama dan kebudayaan mendorong terciptanya etos demokrasi. Tetapi dalam konteks Indonesia yang plural, pilihan politik rakyat harus bebas dari identitas agama dan kultural demi kepentingan yang lebih universal.
Di sini, senada dengan Kant, rakyat mengikuti pola pikir “setan-setan” yang mengedepankan rasio. Setan memang tidak bermoral, tetapi setan Kantian bukan serigala yang melulu menggunakan insting satanik, melainkan berpikir rasional.
Rakyat harus menyingkirkan sentimen dan politik identitas yang bertolak dari moral, budaya atau nilai religius tertentu. Menurut Kant, rasionalitas strategis tetap mendapat prioritas penting dalam demokrasi.
Pengefektifan kanal rasionalitas publik menjadi instrumen penting dalam mendewasakan demokrasi. Rakyat sebagai pemegang kedaulatan perlu berpikir kritis melampaui politik identitas.
Politik identitas dapat mengalihkan dan menyelewengkan energi dan perhatian dari isu-isu yang fundamental. Politik identitas bagaikan racun demokrasi yang dapat mematikan rasio untuk mempertimbangkan integritas, rekam jejak dan visi misi pembangunan.
Politik identitas merusakan fairness dalam demokrasi – yang bisa dicapai oleh siapa saja – para pemberi suara dibuat terobesesi pada identitas primordial semata.
Kecerdasan pilihan akan mewujud dalam kesadaran bahwa politik identitas mencederai demokrasi, menodai hati nurani dan mengangkangi akal sehat. Pemilih yang cerdas mempertimbangkan kualitas pemimpin, rekam jejak dan tawaran-tawaran konstruktif atas problematika sosial yang melilit kehidupan rakyat. Yang paling penting dalam demokrasi adalah rakyat.
Rakyat harus cerdas karena menjadi tuan atas demokrasi. Kecerdasan rakyat untuk memilih berdasarkan postulat rasio strategis memiliki suatu optimisme bahwa demokrasi kita di Indonesia menjadi lebih baik yakni menjadi lebih rasional dan kurang sentimental dengan politik identitas.