Oleh Viktorius P. Feka
Mahasiswa S2 FIB UGM
Diskusi seputar pernyataan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) soal rencana penerbitan Peraturan Daerah (Perda) tentang Perempuan NTT Menenun, sebagaimana diberitakan Pos Kupang (Sabtu, 2/3/2019), sangat memanas di media sosial, baik di grup Facebook maupun grup WhatsApp.
Diskusi ini dipicu oleh inti pernyataan VBL tentang syarat perempuan NTT menikah adalah harus bisa menenun. Kalau belum bisa menenun, belum bisa menikah.
Walau memang hal demikian baru sebatas rencana, atau boleh dikatakan wacana, saya kira, penting dibahas. Soal utamanya adalah rencana penerbitan perda dimaksud akan diwajibkan bagi semua perempuan NTT, baik yang sedang menempuh pendidikan maupun yang tidak (belum) menempuh pendidikan.
Pernyataan VBL tersebut akan saya kaji dari sudut pandang tindak tutur. Alasannya adalah pernyataan itu adalah tuturan. Karena tuturan, saya menggunakan teori Taksonomi Tindak Tutur ‘Ilokusi’ sebagaimana dicetus John Searle (lihat Frank Parker, 2014:32) untuk menjelaskannya.
Berangkat dari teori ini, tuturan VBL boleh dikategorikan sebagai tindak tutur direktif dan tindak tutur deklarasi.
Pertama, tindak tutur direktif. Dikatakan direktif karena tuturan VBL, sebagaimana diberitakan media massa, mengandung unsur memerintah (mengatur) dan melarang.
Memerintah (mengatur) perempuan agar bisa menenun; dan melarang perempuan menikah sebelum bisa menenun. Pemaknaan satuan lingual dari kedua unsur itu: memerintah (mengatur) dan melarang dalam kajian linguistik sistemik fungsional (LSF), menurut Geoff Thompson (2004:49), boleh disebut sebagai mood ‘modus, modalitas’.
Modalitas, dalam perspektif linguistik, bisa dipahami sebagai makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, dan sebagainya (Kridalaksana, 2008:155; KBBI V).
Dalam konteks tuturan VBL, leksikon modalitas itu adalah ‘akan’ untuk menandai perihal rencana (keakandatangan); ‘harus’, ‘wajib’, dan ‘boleh’ untuk menandai adanya kepastian, kepatuhan, ketundukan, atau keterizinan.
Bahwa rencana penerbitan perda adalah keniscayaan yang mutlak, bukan kemustahilan yang nisbi; bahwa perda itu akan menjadi suatu keharusan atau kewajiban—memaksa perempuan NTT—bisa menenun; bahwa perda itu akan menjadi semacam suatu hal berizin bagi kelangsungan pernikahan perempuan NTT. Ini bisa dilihat dalam kutipan pernyataan VBL dalam laporan reporter Pos-Kupang.Com, Ryan Nong, berikut:
“Saya akan keluarkan Perda Perempuan NTT Menenun. Jadi, setiap perempuan NTT harus tahu menenun baru bisa kawin. Kalau belum bisa menenun, berarti belum boleh kawin. Perempuan NTT wajib memiliki keterampilan dasar menenun sebagai bagian dari keutamaan perempuan NTT. Menenun merupakan kearifan lokal yang menjadi budaya yang harus dilestarikan. Oleh karena itu, perempuan NTT harus memilikinya sebagai prasyarat untuk menikah”.
Tuturan VBL itu tak hanya menggunakan leksikon modalitas, tapi juga leksikon kondisional, yaitu prasyarat—syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan suatu kegiatan (perbuatan, tindakan).
Logika kondisional ini ditandai dengan leksikon ‘kalau’. ‘Kalau’ memang acapkali digunakan untuk menandai hubungan syarat, tapi maknanya tak sebatas itu.
Karena syarat, ada kewajiban di sana yang harus digenapi, apalagi syarat itu diikat dalam aturan (baca: perda), ada unsur memaksa dan mengikat di sana.
Di sini, bila tak berlebihan, tuturan VBL sangatlah kondisional-imperatif (bersyarat-memerintah). Syaratnya adalah perempuan harus bisa menenun. Jika syarat itu terpenuhi, perempuan boleh menikah.
Selanjutnya, syarat itu langsung diikuti dengan tindakan imperatif (memerintah, memaksa). Artinya bahwa perempuan NTT yang hendak menikah wajib menenun. Ada kewajiban besar, yang mau tidak mau, harus dijalankan.
Karena kewajiban itu diikat dengan aturan, sifatnya adalah mengikat dan memaksa. Inilah dampak logis-yuridis yang harus diterima.
Kedua, tindak tutur deklarasi. Tindak tutur ini terwujud karena ada kuasa (otoritas). VBL, sebagai Gubernur NTT, berkuasa memerintah (mengatur) perempuan NTT untuk bisa menenun.
Perintah itu diwujudkan lewat aturan (baca: perda). Ia juga berkuasa melarang perempuan menikah dengan aturan yang sama apabila belum bisa menenun. Di sini, perempuan NTT benar-benar (akan) dililit dengan aturan tenun ikat.
Tenun ikat akan menjadi syarat utama atau faktor penentu pernikahan perempuan NTT. Semacam urusan menikah di NTT sudah diambil alih Pemerintah Provinsi. Urusan menikah tidak lagi menjadi urusan pribadi, urusan keluarga, ataupun urusan lembaga keagamaan, tapi urusan mutlak pemerintah.
Kelajangan perempuan mesti diikat dengan tenun ikat. Seolah-olah kemahiran menenun seorang perempuan yang sangat menentukan kesuksesan sebuah pernikahan. Seolah-olah pelestarian tenun ikat ada pada tangan perempuan semata, sehingga perempuan harus dipaksa untuk bisa menenun dengan aturan berat.
Jika memang alasan Pemerintah Provinsi, hemat saya, mengeluarkan perda tentang perempuan menenun guna melestarikan tenun ikat, patut diterima dan dijalankan.
Namun, tentunya aturan itu tak perlu dibarengi dengan hal pengekangan kebebasan perempuan dalam urusan pernikahan. Tidak akan efektif dan efisien jika semua perempuan diwajibkan bisa menenun.
Aturan yang dibuat itu harus menyasar kebutuhan, bukan sekadar aturan pemaksaan; dan bukan pula sekadar alasan pelestarian budaya lokal. Jauh daripada itu, aturan itu harus memiliki manfaat lebih, baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.
Misalnya, perda itu diperuntukkan bagi kelompok usaha mikro kecil menengah (UMKM) tenun ikat, yang sudah ada; juga bagi lembaga pendidikan menengah dan tinggi yang memiliki jurusan teknik tenun ikat, dan sebagainya.
Saya kira, para penggiat tenun ikat seperti itu sangat membutuhkan sarana prasarana yang cukup. Mereka membutuhkan pasar yang berdaya saing. Mereka membutuhkan hak kekayaan intelektual (HKI)—hak dari hasil olah pikir yang menghasilkan suatu produk atau hak untuk menikmati secara ekonomis hasil dari suatu kreativitas intelektual—meliputi dua hal, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri.
Hak kekayaan industri meliputi paten, desain industri, penanggulangan praktik persaingan curang, desain tata letak sirkuit terpadu, dan rahasia dagang (https://penelitian.ugm.ac.id, diakses pada pukul 13.30 WIB, 4 Maret 2019).
Saya kira, rencana penerbitan perda harus diarahkan ke hal-hal yang telah disebutkan di atas. Tidak perlu getol menerbitkan aturan dan aturan yang rada kontroversial. Akan tetapi, aksi nyata memberdayakan mereka yang telah bergiat di sektor tenun ikat yang perlu dilakukan.
Dahulu kala, Atoin Meto di pedalaman pulau Timor hanya membolehkan seorang perempuan menikah jika sudah bisa menenun; dan membolehkan seorang laki-laki melamar dan menikahi anak perempuan orang jika sudah bisa berkebun. Ini kebijaksanaan lokal yang masih saya ingat kala masih kecil.
Namun demikian, dengan adanya perkembangan zaman yang mana pemerintah mewajibkan pendidikan sembilan tahun, dan mungkin sekarang wajib belajar 12 tahun, kebijaksanaan lokal itu telah bertransformasi. Bahwa kebun bagi laki-laki dan ruang tenun bagi perempuan, saat ini, hanyalah lembaga pendidikan; bahwa alat-alat kebun dan alat-alat tenun, sekarang ini, hanyalah pena dan buku. Ini perlu dipertimbangkan.
Mungkin saya terlalu dini berpendapat sebelum perda terbit, atau mungkin saja saya masuk dalam kelompok yang berapriori, tapi alangkah baik juga jika sedini mungkin saya berpendapat sebagai referensi antisipatoris.