Oleh: Franky Perdana*
Jumat, 8 Maret 2019, NTT dikejutkan dengan berita bencana alam banjir dan tanah longsor yang melanda beberapa kawasan di Kabupaten Manggarai Barat, tepatnya di wilayah Kecamatan Mbeliling dan Kecamatan Komodo.
Dikabarkan delapan jiwa menjadi korban meninggal dunia, ratusan lainnya kehilangan tempat tinggal dan harus mengungsi ke lokasi yang lebih aman. Bencana ini juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan yang berujung pada putus totalnya jalur transportasi utama Labuan Bajo – Ruteng via jalan trans-Flores (berita dari berbagai media berbasis online)
Kejadian bencana alam sejenis, banjir dan tanah longsor, bukan hal baru bagi kawasan bagian barat Pulau Flores yang dikenal sebagai Manggarai Raya tersebut. Dalam rentang 15 tahun terakhir, tercatat beberapa kejadian banjir dan longsor besar yang total menelan ratusan korban meninggal, ratusan keluarga mengungsi, dan tentu saja kerugian infrastruktur-sarana-prasarana.
Tahun 2006, tanah longsor di Rongket Kecamatan Wae Ri’I menewaskan delapan orang. Wilayah tersebut merupakan daerah langganan tanah longsor yang hampir tiap tahun mengalaminya dalam berbagai skala.
Pada Maret 2007, kejadian tanah longsor dan banjir melanda beberapa wilayah di Manggarai Raya; tanah longsor di Gapong Kecamatan Cibal, tanah longsor di Golo Gega Kecamatan Lamba Leda dan banjir di Wae Pesi Kecamatan Reok. Diperkirakan total 97 korban meninggal dan hilang dalam kejadian tersebut (http://m.antaranews.com/berita/54864/longsor-manggarai-29-jenazah-ditemukan-47-hilang).
Daerah Dampek dan Pota, Manggarai Timur selanjutnya mengalami banjir besar pada paruh pertama 2018 disusul dengan banjir yang melanda Borong, ibukota kabupaten tersebut pada bulan Desember. Daerah-daerah tersebut bersama DAS Wae Pesi di Reok merupakan daerah langganan; sungai-sungai meluap dan menggenangi pemukiman dan area pertanian pada saat musim hujan tiba.
Meski tidak menelan korban jiwa sebesar bencana tanah longsor, kerugian material yang dialami cukup besar dan berdampak bagi kehidupan warga. Di masa sebelumnya, cerita yang melegenda tentang tragisnya bencana tanah longsor di Rana Poja Kecamatan Poco Ranaka, yang menelan korban jiwa entah berapa banyak, tentu tersimpan di ingatan sebagian warga Manggarai Raya.
Bencana alam banjir dan tanah longsor, tentunya di samping bencana-bencana alam lain seperti badai tropis, gempa bumi, tsunami, gelombang tinggi, dan letusan gunung api perlu dipandang dalam dua karakteristik utama yang melekat padanya: karakter ketidakpastian (sifat kebencanaan) dan karakter kepastiannya (dampak kebencanaan).
Setiap bencana alam perlu dibaca dalam dua karakteristik tersebut. Bencana alam, dalam beberapa seginya, tidak dapat diprediksi sama sekali, misalnya gempa bumi yang tidak dapat diprediksi kapan dan di mana akan terjadi dan tanah longsor yang secara parsial sulit dideteksi di mana akan terjadi.
Namun, di dalam sifat ketiakpastiannya melekat pula sifat kepastian, bahwa, selain beberapa jenis bencana alam dapat dilacak potensi waktu dan lokasi terjadinya, setiap bencana pasti mengakibatkan dampak baik yang bersifat fisik dan non-fisik.
Bencana alam banjir dan tanah longsor di Manggarai Raya tidak sepenuhnya berkarakteristik tidak pasti. Berangkat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, kejadian bencana alam tersebut dipastikan terjadi dalam rentang waktu yang relatif sama, yakni pada puncak musim penghujan, dan lokasinya relatif dapat dilacak, mengingat ada beberapa daerah langganan kejadian.
Dalam kasus tanah longsor, wilayah Manggarai Raya yang didominasi kontur perbukitan dan lereng pegunungan hampir pasti berpotensi menjadi area terdampak bencana. Bencana alam banjir dan tanah longsor yang terjadi di wilayah Labuan Bajo dan sekitarnya, mempertimbangkan karakteristiknya dan pengalaman masa lalu Manggarai Raya, dengan demikian seyogyanya dapat diantisipasi setidaknya berkaitan dengan antisipasi potensi waktu, lokasi dan dampak kebencanaannya. Antisipasi dimaksud dapat dilakukan jika pemerintah daerah dan warga sejak awal memahami konsep yang disebut sebagai mitigasi bencana.
Mitigasi Bencana
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, mitigasi bencana diartikan sebagai upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.
Per definisi tersebut, mitigasi bencana kemudian dibagi ke dalam dua pola: 1) mitigasi struktural, yakni upaya meminimalkan ancaman bencana dengan pembangunan berbagai sarana fisik dan penggunaan kemampuan teknologi yang bersasaran perubahan fisik lingkungan, dan 2) mitigasi non-struktural, upaya meminimalkan ancaman bencana dengan setting kebijakan yang bertujuan memodifikasi perilaku manusia dan/atau alam.
Mitigasi struktural dapat berupa peningkatan ketahanan konstruksi, relokasi, modifikasi struktur, sistem deteksi, modifikasi fisik, sistem pemulihan dan penanggulangan infrastruktur.
Contohnya antara lain, pembangunan kanal dan bronjong untuk pencegahan banjir, bangunan tahan gempa, pos pengamatan dan alat deteksi letusan gunung api, sistem deteksi tsunami, dan sebagainya.
Mitigasi non-struktural dapat berbentuk regulasi, program pendidikan dan pelatihan, peningkatan tanggap bencana, modifikasi perilaku sektoral, dan pengendalian lingkungan.
Contohnya, antara lain perumusan peraturan tanggap bencana di daerah, perumusan pedoman tata ruang kewilayahan yang peka bencana, peningkatan kapasitas tanggap bencana warga, perencanaan wilayah dan penguatan aktivitas sosial warga yang peka bencana, upaya peremajaan lingkungan, dan peningkatan kesadaran warga akan keberlangsungan lingkungan.
Kombinasi antara kedua pola mitigasi bencana tersebut kita kenal sebagai sistem kewaspadaan dan peringatan dini bencana (Early Warning System-EWS), meski seringkali istilah EWS disematkan pada dan diidentikkan dengan sistem perangkat teknologi deteksi bencana.
Melalui regulasi induk penanggulangan bencana tersebut, mengingat kerentanan wilayah Indonesia terhadap potensi ancaman berbagai jenis bencana alam, telah ada upaya mengintegrasikan mitigasi bencana ke dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah, baik perencanaan jangka panjang, jangka menengah maupun tahunan.
Perencanaan pembangunan di tingkat daerah tentunya mempertimbangkan karakteristik kewilayahan masing-masing, serta potensi jenis dan dampak bencana.
Wilayah Manggarai Raya dengan kontur perbukitan dan pegunungan serta curah hujan tinggi yang berpotensi terancam bencana banjir dan tanah longsor mengharuskan pemerintah daerah setempat membuat perencanaan pembangunan daerah yang peka dan tanggap bencana; mitigasi bencana yang terintegrasi ke dalam sistem perencanaan pembangunan daerah.
Perencanaan Pembangunan yang Peka dan Tanggap bencana
UU Penanggulangan Bencana membawa pergeseran paradigma penanganan bencana di Indonesia, yang sebelumnya bersifat responsif atau tanggap darurat menangani bencana menjadi upaya yang bersifat preventif atau mengurangi resiko terjadi dan dampak bencana.
Penanganan bencana tidak lagi dilakukan pasca kejadian bencana, tetapi justru mengurangi risiko dan dampak bencana, termasuk sebisa mungkin mencegah terjadinya bencana.
Itu berarti penanggulangan bencana adalah suatu upaya kontinyu yang dilakukan tidak dalam situasi bencana sekalipun. Sifat preventif penanganan bencana mengharuskan keseriusan pemerintah pusat dan daerah memadukan mitigasi bencana ke dalam program pembangunan.
Dalam perspektif perencanaan pembangunan daerah, itu berarti mitigasi bencana harus jelas tercermin di dalam RPJP, RPJM, Renstra, RKP dan Renja, di tingkat pusat maupun daerah (Faturahman, 2018).
Dalam UU dimaksud di atas, tugas pemerintah pusat dan daerah adalah menyusun rencana penanggulangan bencana dimulai dari inisiatif dan komitmen pemerintah, identifikasi risiko bencana, pilihan tindakan pengurangan risiko bencana, pengaturan stakeholder dan alokasi tugas dan kewenangan serta sumber daya tersedia, dan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana.
Di dalam rangkaian tugas pemerintah tersebut, ditentukan pola mitigasi yang paling sesuai dengan karakteristik kewilayahan. Sebisa mungkin kedua pola mitigasi ada dalam rancangan perencanaan pembangunan daerah yang dirumuskan pemerintah.
Perencanaan pembangunan yang jelas memberikan arahan kebijakan, program serta stakeholder terlibat agar dapat dijalankan secara efektif, sinergis, serta mencegah gap dan overlapping aktivitas.
Dengan paradigma penanganan bencana demikian serta perspektif perencanaan pembangunan daerah peka dan tanggap bencana, penting kemudian untuk mengajukan pertanyaan: sejauh mana perintah UU Penanggulangan Bencana tersebut diimplementasikan oleh pemerintah daerah di Manggarai Raya khususnya dan NTT pada umumnya?
Sejauh mana mitigasi bencana telah terintegrasi ke dalam perencanaan pembangunan daerah kabupaten dan provinsi di NTT?
Sekali lagi, mengingat kerentanan Indonesia dan NTT terhadap ancaman berbagai jenis bencana alam, mengajukan dua pertanyaan di atas sangatlah legitimate bagi kita sebagai warga NTT.
Kembali pada kejadian bencana banjir dan tanah longsor di Manggarai Barat, dan di beberapa tempat di Manggarai dan Manggarai Timur dalam skala yang lebih kecil, warga ketiga kabupaten tersebut harus mengajukan pertanyaan kritis dan keras kepada pemda masing-masing.
Sangat tidak bijak kemudian untuk mengkategorikan kejadian di Labuan Bajo dan sekitarnya, misalnya, sebagai murni bencana alam dengan karakteristik ketidakpastiannya yang mutlak.
Pemda Manggarai Barat, termasuk Manggarai dan Manggarai Timur, sejak awal semestinya telah merumuskan arah kebijakan dan program untuk mengantisipasi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi saat ini.
Mitigasi bencana itu harus tersurat di dalam dokumen perencanaan pembangunan, dalam seluruh rentang usia perencanaan. Di dalam dokumen-dokumen tersebut harus tercermin apa arah kebijakan, jenis program dan kegiatan dan siapa pelaksana dan penanggung jawabnya.
Pemerintah daerah telah mempunyai perangkat kerja yang khusus menangani bencana, yakni BPBD yang didukung oleh berbagai struktur penyedia data seperti BMKG dan PVMBG, serta berbagai perangkat kerja lain yang bidang kerjanya bersinggungan dengan kebencanaan (misalnya Dinas PUPR, Dinas Sosial, Dinas Infokom) serta pendukung lain seperti tim SAR, PMI, TNI/Polri, dan lainnya.
Tugas pemerintah daerah lebih lanjut adalah memastikan bentuk dan lingkup partisipasi warga dan/atau unsur masyarakat sipil lainnya dalam setiap program.
Komunikasi dan koordinasi antara semua stakeholder ini yang menjadi faktor signifikan keberhasilan pola mitigasi bencana yang dirumuskan dalam perencanaan pembangunan daerah yang peka dan tanggap bencana; pola mitigasi bencana yang tercermin dalam program kegiatan Organisasi Perangkat Daerah yang benar-benar berbasis studi risiko bencana, pemilihan bentuk penanganan tepat, bersifat holistik dan lintas sektoral, efektif dan efisen, dan kemanfaatan hasil maksimal – bukan program-program remeh temeh asal buat dalam rangka penyerapan anggaran semata.
Pada akhirnya, kita perlu belajar kembali ke sebuah adagium lama: lebih baik mencegah daripada mengobati; lebih baik mencegah potensi terjadi dan dampak bencana daripada menangani kerugian bencana hari ini untuk kemudian membiarkannya terjadi lagi di masa depan.
*Penulis adalah Warga Manggarai Timur di Yogyakarta