Oleh: Paul Randjang
“Kedaulatan rakyat berarti pemerintahan rakyat, yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya oleh rakyat” (Mohammad Hatta)
Dewasa ini, efektivitas kekuasaan sebagaimana dicita-citakan Montesquieu dalam Trias Politika kelihatan menemui jalan buntu. Kekuasaan tidak lagi menjadi mesin penggerak perubahan. Kekuasaan justru mempertontonkan degradasi multidimensional.
Ada dua potret keburaman yang menjadi indikator. Pertama, temuan World Justice Project: Rule of law Index 2016, menunjukan bahwa Indonesia masih berkutat pada soal korupsi di pemerintahan yang diukur dari persoalan suap, penyelewengan anggaran, dan pengaruh di pihak lain (Kompas, 18/12/18).
Survei tersebut menunjukan bahwa suap terjadi di jajaran lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Praktik petty corruption atau korupsi skala kecil juga terus terjadi pada masyarakat kecil. Uang pelicin sering dibutuhkan untuk kelancaran pelayanan publik, dan administrasi di pemerintahan.
Kedua, mewabahnya praktik konspirasi dalam forma oligarki. Hingga kini, cukup banyak kepala daerah maupun politisi mengksploitasi sumber kekuatan oligarki seperti: kekuatan politik, kekuatan resmi dengan duduk di pemerintahan atau organisasi, kekuatan memobilisasi, kekuatan koersif dan kekuatan materi untuk memenuhi libido kekuasaan.
Tak pelak, serangkaian aksi penangkapan dan proses hukum dilancarkan KPK karena kasus suap, menyelewengnya anggaran. Sampai-sampai sejumlah anggota legislatif, juga harus diproses hukum karena bermain mata dengan eksekutif dalam pembahasan atau penggunaan anggaran.
Libido Kekuasaan
Boleh dikata, pembacaan terhadap dua faktum di atas memperlihatkan adanya libido kekuasan. Filsuf yang memproklamirkan kematian Tuhan, Neitczhe berkata sifat animalis manusia sesungguhnya adalah mau berkuasa dan pada saat yang sama ingin memangsa.
Artinya, sistem demokrasi yang sejak awal dipuji karena pada awal reformasi berkembang pesat justru mengalami stagnansi dan menjadi momok bagi kedaulatan publik.
Dalam kaitan ini, alur kekacauan ini bermula dari penguasa politik yang gagap serta gagal menjalakan aktus representatifnya. Elite politik yang dipilih rakyat dan tengah bertahta pada kursi pemerintahan justru belum menjalankan fungsinya representatifnya.
Mirisnya, mereka lebih sering menjadi penikmat kekuasaan yang bergerak pada skenario manipulatif. Lihat saja, dalam kawasan politik misalnya, terdapat jenis kekuasaan kleptokrasi yang secara sistematis via modus memperalat jabatan negara “mencuri” uang rakyat.
Kleptokrasi terjadi, manakala para anggota parlemen mengambil uang rakyat melalui penyusunan anggaran negara dengan cara berkolusi dengan para pejabat birokrasi di pemerintahan.
Karena itu tak jarang publik menyaksikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam berbagai bentuk pengelolahan APBD, juga aksi konspirasi dengan investor dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan budaya (Dale, 2013:3).
Alhasil skeptisisme politik kian mewabah dan akumulasi ketakpercayaan publik pada pemimpin kian menumpuk.
Pada konteks lain, libido kekuasaan membidani kelahiran subjektivitas kekuasaan. Subjektivitas kekuasaan berurusan dengan selera penguasa.
Persis point inilah yang disoroti Rocky Gerung dalam artikelnya “Hoaks dan Demokrasi” bahwa pembuat hoax terbaik adalah penguasa, sebab mereka memiliki peralatan lengkap untuk berbohong: statistik, intelijen, editor, penggung dan media (Tempo, 11/1/2017).
Dalam kaitan ini, subjektivitas penguasa cendrung menempatkan kepentingan politik dan nilai-nilai subjektinya dalam dinamika kekuasaan negara. Pada rezim orde baru misalnya, superioritas penguasa sangalah represif, penuh cara-cara keji dan kejam.
Glorifikasi terhadap subjektivitas penguasa melekat pada pola pikiran, selera dan egoisme. Karena berpijak pada fondasi emosional psikologis penguasa, eksperimen-eksperimen sosial politik yang kreatif serta inovasi sosial politik yang diinisiasi kaum cendikiawan menjadi kenihilan.
Demikian partisipasi masyarakat juga menjadi macet, sikap kritis sulit tumbuh, kecerdasaan masyarakat tertatih-tatih, keadilan sulit diraih, keadilan hukum menjadi sandiwara; sebab semua akan kembali kepada selera penguasa (Regus, 2004: 78).
Pada titik ini, empat pilar kebangsaan seperti, Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika turut dikeroposi oleh libido penguasa. Artinya, kita kembali pada libido kekuasaan, bahwa pemimipin begitu rentan menanggalkan etika, norma dan hukum yang menjadi rujukan dalam berpolitik.
Maka benarlah peringatan klasik Lord Action, kekuasaan cendrung absolut (mutlak) dan kekuasaan absolut akan merusak secara absolut”.
Moralitas Kekuasaan
Diskursus moralitas dalam ambruknya integritas pemimpin tampak absurb. Justru yang ada hanyalah disparitas antara politik dan moralitas.
Skeptisisme ini sungguh beralasan, sebab praksis kepemimpinan tidak lagi berpijak pada prinsip hakiki untuk kebaikan bersama. Sebagaimana tergambar dalam faktum mendangkalnya integritas pemimpin di atas, gambaran pemipin kita memang tengah terjebak dalam alur bisnis tanpa moral (the sale politic).
Mereka lebih sering menjadi penikmat jabatan pemerintahan dan tidak mampu berpegang pada suatu sikap etis moral dan religius yang benar.
Namun, dalam lingkaran problematika ini, kita meyakini bahwa substansi dari tujuan politik pemimpin masih mengacu pada apa yang diistilahkan Sokrates sebagai “eudaimonia” (kebahagian sejati manusia).
Begitupun sistem demokrasi yang turut melahirkan kepemimpinan representatif in se bukanlah sesuatu yang buruk. Yang buruk ialah praktik yang dibuat pemimpin yang menjadikan kursi kekuasaan sebagai instrument destruktif dengan mengabaikan moralitas.
Lantas, apakah kekuasaan bisa disandingkan dengan moralitas?
Jika dicermati, kekuasaan dan moralitas dapat disandingkan dan menjadi bagian dari tubuh kekuasaan. Imanuel Kant menandaskan, sesorang harus bertindak berdasarkan kewajiban moral bila ingin berbuat sesuatu yang bermoral.
Lebih jauh, moral juga bukan semata-mata imperatif kategoris seperti yang dikatakan Kant, melainkan juga-dan terutama-merupakan keinginan rasional.
Dalam terang pemikiran ini, moral mengandung kebermaknaan dan kebernilaian hidup yang ditandai dan dibenarkan oleh kebajikan dalam mengolah diri lewat aksi dan relasi sosial yang kreatif dan redemtif (Sebho, 2018: 2).
Sementara itu, dalam konstruksi kekuasaan, moral diterima sebagai spirit yang menghidupi tubuh kekuasaan. Menyitir Donald Wuerl, bahwa moralitas tidak tergantung pada seberapa banyak saya bicara bagus, tetapi seberapa sering saya berbuat baik.
Hal ini berarti, ada prinsip moralitas yang dihidupi dalam tubuh kekuasaan. Prinsip ini tidak hanya terletak pada sebuah jabatan, tetapi pada figur pemimpin dan institusional yang beradab. Artinya kita bisa belajar dari Jepang yang mana kelimpahan lembaga negara dan politisinya memiliki etika dan moralitas yang tinggi.
Penyebabnya bukan hanya pada tataran keadaban pemimpin secara personal, tetapi juga pada keadaban institutional. Itu berarti, moralitas yang menjadi karakter kekuasaan bukanlah moralitas eksklusif, melainkan moralitas inklusif serta kosmopolitan.
Karena itu, berhadapan dengan wajah buram kepemimpinan kita, dibutuhkan reformasi kelembagaan legislatife, yudikatif, eksekutif, pihak keamanan termasuk partai politik untuk membenamkan “keinsafan politik” sebagaimana diutarakan Muhammad Hatta dalam Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Rakyat.
Selain itu, komitmen dan kecerdasan publik mesti dilibatkan dalam mengkritisi perburuan kekuasaan yang cendrung imoral dan animalis di negeri ini.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero dan Anggota kelompok Diskusi Centro John Paul II