*)Cerpen Marno Wuwur
Malam ini di bawah remang-remang cahaya bulan aku termenung gelisah. Gelisah bak menghadapi sakratul maut. Hatiku baru legah dan bahagia ketika dari dalam ruang bersalin terdengar sayup-sayup suara sang bayi mungil. Ada rasa bahagia bercampur haru dalam batinku. Ya….malam ini aku menantikan dengan penuh cemas Dalle, si gila itu melahirkan.
***
Entah mengapa kisahnya mirip dengan kisah seseorang yang kerasukan roh jahat dalam buku suci tersebut. Dia mungkin juga dirasuki oleh Legion. Namanya Dalle. Khalayak menyoraki dan mengutuknya sebagai “orang gila!” tekadang anak-anak kampung sekedar iseng mengganggu dia dengan meneriakan kata-kata umpatan “Dalle gila…..Dalle gila!”.
Siang hari ia selalu berjalan-jalan sendirian sambil bernyanyi di lorong-lorong, di pasar bahkan di pekuburan. Pernah saya mendengar cerita dari orang-orang di kampung itu bahwa setiap malam ia tidur dalam sebuah kubur yang sudah lama rusak.
Lebih mengerikan lagi, entah benar atau tidak namun saya kira mereka melebih-lebihkan dengan gaya bahasa hiperbolis bahwa ia menggunakan tengkorak kepala di dalam kubur tersebut sebagai pengganti bantalnya.
Orang memandang dia dengan sinis, menertawakan, mencerca bahkan ada yang mengusir dia, ketika melewati depan rumah. Di mata semua orang dia tidak lebih dari sampah yang tidak ada gunanya lagi. Kenyataan yang pahit bahkan tragis bagi saya orang baru di kampung ini. Betapa orang merasa begitu benar, begitu sempurna. Orang begitu membenci dia, memandang dia tak punya arti.
Ia berjalan dengan tertatih-tatih, luka di sini-sana menjejali tubuhnya yang rapuh. Bauhnya sungguh menyengat. Orang berusaha menghindari bahkan mengusirnya ketika berpapasan di jalan, di pasar bahkan di dalam rumah ibadat sekalipun. Sungguh malang nasibnya.
***
Pada suatu petang yang runyam, di bawah pohon mangga depan pastoran, saya duduk bersilah di atas papan-papan yang kurang tersusun rapih namun kuat menopang tubuhku yang ringkih. Aku menopang dagu.
Hari-hari belakangan ini saya dijejali oleh pelbagai perasaan yang berkecamuk di dalam memori otakku. Saya tidak habis pikir, minggu lalu istri pak Fredus datang ke pastoran sambil menangis. Sembari terisak ia menceritakan nasib anak semata wayangnya yang dihamili oleh teman kuliahnya.
Kemarin sore mama Ose datang dengan tergopo-gopo dengan muka yang muram ia menceritakan kehidupan rumah tangganya yang retak. Suaminya selingkuh dan mama Ose minta cerai. Memikirkan itu semua rasa-rasanya isi kepala hendak menyembul keluar.
Tiba-tiba terdengar isakan dari jalan raya. Dari kejauhan, aku melihat Dalle. Suaranya bergetar. Air matanya mengambang. Ada memar di pipinya. Dia tak menjelaskan kenapa. Hanya air matanya yang terus saja mengalir sederas-derasnya.
Aku memandang matanya yang merah didera kepedihan. Ia bak anak domba yang siap dihantar ke tempat pembantaian. Tidak ada sepata katapun keluar dari mulutnya. Ah adakah yang sakral dalam penderitaan?
Yang membuat situasi menjadi rumit, hanya beberapa bulan setelah peristiwa ada perubahan drastis dalam diri Dalle. Suaranya menguar dengan rintihan pilu yang amat menyayat di malam hari. Ia tidak seperti dahulu lagi. Tidak lagi bernyanyi-nyanyi.
Dia lebih banyak berteriak sambil menjerit-jerit dengan suara yang sungguh memilukan. Ia merasakan pedihnya kegetiran hidup. Aku tahu walau ia tak waras namun ia pasti merasakan sakit hati yang teramat pedih. Namun ada satu hal yang mencokol dalam pikiranku, ada perubahan dalam dirinya. Betulkah itu…ah Tuhan kalau itu benar maka ada yang lebih gila dari dia.
Malam-malam berubah jadi mencengkam, menegangkan. Ia mengitari setiap lorong-lorong, mengeliling kampung. Sambil berteriak-teriak ia memukul-mukul dirinya sembari menjerit dengan suara nyaring. Langit dan udara malam membawa jernih suaranya masuk ke relung terdalam jiwa. Rintihan yang memiluhkan. Semua orang di kampung itu jadi takut untuk sekedar keluar di malam hari.
Mungkin pada saat itulah Dalle perlahan berhasil menjadikan malam seperti rumahnya yang nyaman. Jauh dari mangsa-mangsa jahanam yang rakus merampas segalanya. Pastoran adalah rumah persinggahan. Surga keduanya dimana ia merasahkan tatapan mata yang hijau terasa tulus dan menyediakan perlindungan baginya. Seperti sebatang pohon beringin yang rindang depan pastoran yang melindungi seorang anak dengan menyediakan kesejukan bayang-bayang.
Melihat ia yang tak berdaya kadang membuat mata ini berair. Dalam sekejap aku baru mengerti; paling tidak ada yang lebih gila dari Dalle. Aku menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. “entahlah siapa yang tega menghamilinya?”
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere