Kupang, Vox NTT-Kondisi MN (23) sempat kritis. Sekujur tubuhnya penuh luka dan memar. Ia tampak kurus dan tak terurus.
Wanita asal Dusun C, Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo, Propinsi NTT ini masih trauma dengan kejadian yang menimpanya beberapa waktu lalu.
MN adalah calon TKW yang direkrut PT. Darma Kerta Raharja (DKR) milik Beni Banoet yang berdomisili di belakang gedung keuangan, Kota Kupang.
Kabar penganiayaan dan pemerkosaan MN oleh Markus Kewo (perekrut lokal), baru terungkap setelah ia dipulangkan ke kampung halamannya di Ulupulu.
“Hampir seluruh tubuh saya penuh luka memar. Yang paling sakit di tulang paha dan kepala karena sering ditendang dan dilapis ke tembok saat diminta untuk melayani layak suami istri di rumah milik Beni Banoet,” kisah MN saat ditemui VoxNtt.com di kediamannya, Kamis (09/08/2018).
Markus Kewo yang merupakan koordinator PT. DKR wilayah Nagekeo merekrut MN dengan iming-iming gaji Rp 3 juta per bulan.
Iming-iming gaji tersebut membuat dia meninggalkan pekerjaannya sebagai staf di salah satu koperasi di Ende dan mengikuti Markus.
Mimpinya cuma satu yakni bisa menabung lebih banyak agar dapat melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi.
Mei 2018, MN bersama Markus meninggalkan Kota Ende tanpa sepengetahuan orang tua dan keluarganya. Namun nasib berkata lain, mimpi yang semula ke Jakarta ternyata hanya membawanya ke Kupang, ibu kota Propinsi NTT. Bukan juga ke tempat kerja baru.
BACA JUGA: Makam di Kantor Gubernur NTT
Dia malah diarahkan ke rumah Beni Banoet, sang pemilik perusahaan perekrut tenaga kerja. Di sana ia ditampung bersama calon TKW dari daerah lain. Di rumah ini, mimpi-mimpinya dihadapkan pada kenyataan pahit.
Meski demikian, MN patut bersyukur karena masih bisa menghirup nafas kehidupan. Dia tidak seperti buruh migran lain yang pulang dengan peti mati dengan tubuh penuh jahitan.
BACA JUGA: Enam Kisah Tragis TKI NTT: Mereka yang Selamat dan Pulang Tanpa Nyawa
Terakhir, kondisinya dikabarkan membaik meski terus berjuang melawan trauma akibat pemerkosaan dan penganiayaan.
Apa yang dialami MN tak sekejam kisah Adelina Lisao (26). Tenaga Kerja Wanita, asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT ini mengehembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Bukit Mertajam, Malaysia, Minggu (11/12/2018).
Dua tahun lamanya Adelina bekerja pada majikannya. Ia hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun saat hendak diselamatkan oleh anggota parlemen daerah, Steven Sim.
Steven dan asistennya, Por Cheng Han mendapatkan informasi tentang Adelina dari laporan warga sekitar.
Saat ditemui, kondisinya lemah. Adelina terduduk lesu di teras rumah majikannya ditemani seekor anjing Rottweiler. Sebulan lamanya Adelina dipaksa tidur di teras rumah majikannya bersama anjing itu.
Ketika ditanya polisi, Adelina hanya mampu mengucapkan satu kata yaitu: “balik..”.
Adelina sempat dilarikan ke rumah sakit. Namun nyawanya tak tertolong. Dari hasil autopsi, ia diketahui menderita anemia yang menyebabkan kegagalan multi-organ. Luka-luka ditubuhnya disebut karena gigitan anjing.
BACA JUGA: Pengakuan Mariance Kabu, TKW yang Lolos dari Kematian
Milenial Jadi Target Perdagangan Orang
Baik MN maupun Adelina, keduanya adalah korban perdagangan orang yang mewakili keresahan generasi milenial di NTT.
Ada juga Selfiana Dada Gole (24), Regina Kodi Mete (19) dan Ngada Ata Linda (19). Ketiganya menjadi korban perdagangan orang setelah berhasil diungkap aparat penegak hukum di Sumba, NTT.
Ketiga perempuan usia milenial ini, diberangkatkan dari kampung halaman mereka secara ilegal, tanpa pelatihan yang memadai.
Ngada Ata Linda diberangkatkan dari kampung Lukuwalu, Desa Tamburi, Kecamatan Rindi, Kabupaten Sumba Timur menuju Jakarta pada 18 April 2018 lalu.
Sementara kedua temannya Selfiana Dada Gole dan Regina Kodi Mete menyusul pada 21 April 2018, tiga hari setelah keberangkatan Linda.
Selfiana berangkat dari kampung Bondo Kandelu, Desa Bonsosula, Kecamatan Mamboro, Kabupaten Sumba Tengah dan Regina berangkat dari kampung Billa Karendi, Desa Bukambero, Kecamatan Kodi Utara, Kabupaten Sumba Barat Daya.
Menurut keterangan ketiganya, Ngana Ata Linda direkrut Nona, Selfiana Dada Gole direkrut Martha Wawo dan Regina Kodi Mete direkrut seorang pria bernama JOI.
Sayangnya, alamat dari para perekrut tersebut belum diketahui secara pasti. Mereka kemudian ditampung di sebuah rumah di Bekasi. Alamat pasti rumah penampungan itu juga tidak diketahui.
Ketiganya hanya mengingat nama Bunda Ani sebagai pemilik rumah. Belakangan baru diketahui kalau Bunda Ani adalah pemilik perusahaan yang merekrut mereka.
Kasus ini terkuak ketika ketiga korban hendak diberangkatkan ke Medan, Sumatra Utara pada 25 April 2018 lalu melalui Bandara Soekarno Hatta (Soetta).
Tiba di Soetta, Selfiana, Regina dan Linda merasa curiga dan diselimuti perasaan takut. Hati kecil mereka mulai mencium gelagat tak beres.
Perasaan itu yang pada akhirnya menyelamatkan mereka ketika bersepakat membatalkan penerbangan dan berusaha menyelamatkan diri.
“Berdasarkan informasi tersebut saya dan tim dari PADMA Indonesia segera mendatangi kantor penghubung propinsi NTT untuk mengecek kebenaran informasi tersebut. Dan ketika kami sampai di kantor penghubung, kami diterima oleh staf kantor penghubung yakni saudara Ishak untuk mempertemukan dengan ketiga korban tersebut,” kisah Gabriel Goa, direktur PADMA Indonesia kepada VoxNtt.com beberapa waktu lalu.
Kasus-kasus ini adalah secuil potret yang dialami generasi milenial di pelosok Indonesia khususnya Propinsi NTT akibat kekurangan lapangan pekerjaan.
Data VoxNtt.com yang didapat dari Satgas Human Trafficking menunjukan minat generasi milenial untuk mencari kerja ke luar daerah tergolong tinggi.
Dari 81 tenaga kerja ilegal yang dicekal pihak Satgas Human Trafficking di Bandara El Tari mulai 1-13 Januari 2019, 79 orang termasuk generasi milenial.
Dari hasil wawancara singkat terhadap 6 calon TKI yang dicekal itu, semuanya termotivasi mencari kerja ke luar daerah untuk mendapatkan gaji yang layak.
Situasi kemiskinan mendorong mereka untuk menghabiskan usia produktif menjadi TKI atau tenaga kerja antar daerah. Di tempat tujuan, mereka akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga dan buruh kasar di perkebunan.
Satgas Human Trafficking NTT menyebut, pencekalan terhadap calon tenaga kerja itu karena tidak berhasil menunjukan dokumen ketenagakerjaan dan legalitas perusahaan yang merekrut mereka.
Itu artinya jika mereka lolos dari pencekalan, tenaga kerja illegal ini terancam mengalami nasib tragis seperti yang dialami TKI nonprosedural lainnya.
Pada tahun 2017 misalnya, menurut data BP3TKI NTT, sebanyak 62 TKI yang meninggal di luar negeri dengan kategori prosedural 3 dan nonprosedural 59.
Di tahun 2018 jumlah yang meninggal mencapai 105 korban dengan kategori procedural 3 dan nonprosedural 102.
Sementara di tahun 2019, hingga 12 Maret 2019, TKI yang pulang dengan peti jenazah sebanyak 27 orang.
Bersambung ke Part 2
Prahara Perdagangan Orang yang Terabaikan dari Kampanye Capres (Part 2)
Penulis: Irvan K