*)Cerpen Rio Berchmans
Hari ini, hari baru. Hari menyenangkan dalam hidupku. Oh ya, aku diterima di sebuah Perusahan Penerbitan buku-buku. Usiaku yang terbilang belia, 24 tahun, tapi karierku terhitung melejit. Buku yang kutulis sebulan lalu laku terjual, rupanya isi dalam buku itu mudah dipahami oleh para pembaca sehingga banyak orang yang memborongnya.
Aku sebatang kara, hidup bergelantungan. Hari-hari cuma diisi dengan menulis. Sebelum bekerja di sini, Aku kebanyakan menulis fiksi entah itu di koran lokal, koran nasional, maupun majalah. Aku juga beberapa kali menjuarai lomba menulis puisi. Dari situlah aku bisa menyambung hidup dan bisa menamatkan perkuliahanku.
Sebenarnya, aku tidak terlalu suka dengan tempat tinggalku sekarang, kota ini, tempat menyimpan segala suka-duka. Sebetulnya sebuah kenangan. Dua tahun silam, persisnya. Semua masih terekam dengan jelas. Orang tuaku resmi berpisah. Ibuku mengikuti suami barunya, sedang ayahku kerjanya cuma mabukan. Ia overdosis minuman beralkohol, lalu mati. Semenjak saat itu, aku tinggal bersama Mamang. Ia adalah adik kandung dari ibuku.
Adalah Erika, seorang gadis yang amat polos. Aku berkenalan dengannya melalui Mamang. Persis ia adalah anak semata wayang dari sahabat Mamangku. Ayahnya pengusaha, sedangkan Mamangku adalah sahabat karib sekaligus kolega bisnis Ayahnya.
Erika memiliki mata yang memendam sebagian purnama, lentik bulu matanya seumpa lenan. Halus mengkilap. Wajahnya persis porselin cina, dengan tahi lalat yang hinggap di sudut kanan dahinya.
Kulitnya putih, ditambah lagi rambutnya yang amat lurus jika disentuh dengan angin. Bila disamakan, ia adalah Nyi Roro Kidul yang menenggelamkan aku dalam lautan kecantikannya. Aku jatuh cinta.
Singkat cerita, Mamang tahu kalau Aku dan Erika sama-sama suka. Aku meminta restu Mamang. Ia sebenarnya tidak setuju lantaran ia tidak ingin usahanya berantakan. Ia takut jika Ayah Erika mengetahui hubungan telarang itu. Ayah Erika terkenal dengan konsistennya. Beberapa pembisnis jatuh bangkrut lantaran ayahnya tetap pada pendirian untuk tidak membantu para kolega bisinisnya itu. Erika, menurutku, adalah korban dari konsistensi ayahnya. Hal ini jugalah yang membuat Mamangku takut.
Mamangku tutup mulut, diam seribu bahasa. Ia merestui hubungan kami, tapi berpura-pura tidak tahu. Hari demi hari, semenjak saat itu, Erika rajin bertandan ke Rumah Mamang.
Erika selalu memberi alasan sekalipun alasannya itu tidak logis bila ayahnya menanyai soal kunjung-mengunjung rumah Mamang. Semuanya tertata apik. Sesekali, Erika mengirimiku surat jika dirinya tidak sempat bertandan ke rumah. Ku hitung-hitung ada ratusan surat yang telah ditulis oleh Erika. Surat-surat itu pun kusimpan dalam kotak kecil.
Sampai suatu ketika, Ayah Erika mencurigainya. Ia pun kemudian memata-matai perihal kunjungan Erika ke rumah Mamang yang berangsur terus-menerus. Ah, sialan. Semuanya berantakan. Ayah Erika kemudian tahu perihal hubungan kami, lalu memutuskan agar Erika dikurung dari kehidupan percintaanya. Parahnya lagi, Ayahnya memutuskan secara sepihak hubungan bisnis dengan Mamang.
Lalu, karena aku merasa malu dengan Mamang dan bahwa aku hanya menjadi beban baginya, aku pun meminta untuk tinggal di kos saja. Meski berat hati, akhirnya Mamang pun mengiakan saja kemauanku itu.
***
Matahari menggantung di sebelah barat. Percikan-percikan semburatnya yang ia taburkan pada setiap sudut-sudut langit sungguh amat aduhai. Cantik. Aku melihat beberapa muda-mudi sedang duduk berpasangan menikmati semburat senja yang meleleh.
Beberapa di antaranya sedang foto bersama karena tidak ingin melewatkan momen spesial ini. “Mungkin mereka menginginkan hubungan mereka direstui senja, diabadikan dalam keindahannya.” Gumamku.
Aku duduk di sebuah kursi panjang, menikmati pemandangan sore itu sembari menunggu Erika. Senja itu seakan sempurna ketika dirinya tiba. Erika memakai T-Shirt biru yang amat disukainya, ditambah lipstik merah itu terlukis di antara bibirnya. Rambutnya tergerai saat sepoi basah membelai rambut itu. Cantik, sungguh amat cantik. Tetapi, Erika datang bukan untuk melengkapi indah hari ini, Erika datang hanya ingin bilang dirinya akan pergi.
“Kita sampai di sini saja Roy, sepertinya aku tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini bersamamu.” Katanya perlahan.
Aku tersenyum getir. Mencoba menenangkan perasaan ini. Hari ini, sungguh hatiku hancur berkeping-keping. Lengkaplah sudah arca penderitaannku. Apakah ini lelucon? Bukankah janji pertemuan ini adalah sebuah hari indah. Kukira ia datang membawa kabar kalau-kalau ayahnya telah merestui hubungan kami. Tidak mungkin secepat ini keputusanmu Erika! Bagimana rasanya? Entalah, bak gempa yang mengguncangkan secara tiba-tiba lantas menghancurkan segalanya. Itulah yang kurasakan sekarang.
“Apakah dirimu baik-baik saja? Semoga dirimu baik-baik saja. Perpisahan kita hari ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku akan pergi sebentar saja.” katamu lagi lantas kau bergegas meninggalkan aku.
Aku tersenyum, menahan air mata yang ingin membuncah. Aku tidak ingin menangis di depanmu. Sebab, semua kejadian ini adalah lelucon belaka.
Hari ini, Erika kelihatan bahagia sekali ketika usai mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Tanpa merasa bersalah Erika memutuskan untuk pergi. Sejujurnya kepergian Erika membawa sebagian besar hidup ini. Aku merasa, dirinya mencintaiku bukan karena ketulusan, tapi karena sebuah alasan.
Dirinya itu pergi tanpa pernah berpikir panjang. Hatiku sungguh tidak baik-baik saja. Air mata ini tidak pernah berhenti bercucur, siang-malam. Senja hari ini telah menenggelamkan dirimu, Erika. Sepenuhnya.
Di sudut kamar, aku meletakkan fotomu, Erika. Foto kita berdua. Aku menatap wajahmu lamat-lamat. Kau terlampau indah. Hari-hari hidupku dilalui dengan bayang-bayang wajahmu. Wajah yang begitu sempurna, wajah yang mengajarkankanku apa itu hidup. Wajah yang membawa sebagian hidup ini. Kau tahu? Sekuat apapun lelaki, suatu waktu tidak berdaya jika cintanya kau tenggelamkan. Persis, itu yang kau lakukan sekarang. Semenjak kepergiaanmu, aku tidak pernah memiliki nafsu makan lagi, sekalipun itu adalah makanan kesukaan. Aku tidak ingin berpuisi lagi, meski puisi yang ditulis itu sering menjuarai berbagai lomba. Kepergianmu telah membawa seluruh kata-kata puisiku, puisiku menjadi hambar.
Dalam beberapa lomba terakhir, para juri menilai, kalau puisiku tidak bernyawa lagi karena pilihan diksinya yang teramat kaku. Aku juga merasakannya. Sebenarnya, kekuatan kata-kataku ada padamu. Setiap kali aku menatapmu, ada saja kata-kata yang terangkai. Kau adalah puisi yang amat sempurna.
***
Setelah kepergian Erika, aku tak pernah lagi mendapat kabar darinya, tak ada lagi surat-menyurat. Tidak seperti dulu. Meski demikian, aku selalu saja membawanya dalam katupan tangan sebelum mimpi terlanjur meniduriku. Berharap ia baik-baik saja, dan berharap ia kembali padaku.
Aku telah berusaha mendekati bibi, tukang masak di rumah Erika sekaligus agen kepercayaan kami perihal surat-menyurat, membujuknya berulang kali. Tapi jawabannya sama saja. “Aduh, Maafin bibi, sumpah, bibi benar-benar tidak tahu soal keberadaan Non Erika.”
Celaka, Erika hilang entah ke mana. Rekam jejaknya pun tidak pernah diketahui orang-orang terdekatnya. Tuhan, sebesar inikah rasa benci erika terhadapku. Sebesar inikah aku bersalah padanya.Entahlah. Namun, aku tidak pernah berhenti dan mati dengan rasa itu. Segenap rasa yang menggebu-gebu dalam hati, aku perjuangkan demi Erika. Aku harus menemukan erika. Wanita yang membawa sepotong hati ini.
Erika, sebetulnya, wanita yang tercipta dari bayang-bayang, yang membuat aku penasaran pada setiap jengkal. Itulah alasan yang membuat aku harus mencarinya. Selebihnya lagi, sepotong hati ini telah dibawanya pergi.
Entah malaikat apa yang membawa aku pada sebuah pemikiran yang bernas, sampai suatu hari aku teringat akan Mamang. Ia adalah jawaban satu-satunya. Dari Mamanglah aku mendapat informasi tentang Erika. Ia lalu menjelaskan sedetail mungkin, memberikan sepotong kertas berisikan alamatnya Erika.
Kalian tahu? Ternyata semua kejadian setahun silam, perihal Erika yang pergi secara tiba-tiba pergi, konsistensi Ayahnya, Jawaban Bibi adalah bohong. Benar-benar bohong. Erika, kekasihku. Sekarang ia berada di depanku. Aku terbujur kaku, menggigit bibir, mataku yang tidak berhenti mengalirkan butir-butir air mata menatap pusaranya.
Kini, ia berada di bawah nisan, dua tahun lalu, persis setelah perjumpaan terakhir kami, Erika dikabarkan masuk rumah sakit, penyakit Leukimia yang dideritanya mengharuskan dia meninggalkan semuanya, ia meninggal dunia persis ketika hari jadian kami.
Sepotong puisi pertamaku yang kubuat untuknya tertulis rapi di atas nisan itu. “Kamu, tempat segala mengaduh dan membasuh peluhku, Senja ini menjadi altar sedangkan Dia adalah saksi cinta kita. Aku akan meminangmu, di sini.”
Aku yakin, jika hari ini Erika bukanlah milikku, suatu saat, entah kapan, Dia sendiri yang merestui cinta kami dalam keabadian. Aku yakin itu. Sepenuhnya.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di Ritapiret.