Oleh: Alfred R. Januar Nabal*
Golongan putih (disingkat golput) merupakan fenomena yang kerap terjadi dalam setiap perhelatan pesta demokrasi.
Di Indonesia, istilah ini pertama kali muncul menjelang pemilu 5 Juli 1971. Aktor pertama yang memunculkan golput ini sebagai gerakan politik adalah Ketua Presidium Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Max Wayong.
Meski pun saat itu, PMKRI belum menyebut gerakan itu sebagai golput. PMKRI pada awal April 1971 menyatakan deklarasi untuk “menjadi penonton yang baik” dalam pemilu 1971.
Setelah deklarasi PMKRI ini, eskalasi gerakan golput ini membesar. Pada bulan Mei 1971, Imam Walujo Sumali dalam artikelnya “Partai Kesebelas untuk Generasi Muda” mengajak siapa pun yang tidak mau memilih sembilan parpol dan Golkar yang berkontestasi pada masa itu untuk memilih partai kesebelas, yaitu partai putih.
Caranya dengan menusuk bagian putih yang ada di sela-sela gambar parpol dan golkar.
Ungkapan partai putih ini merupakan sebuah metafora yang merujuk pada perlawanan politik terhadap parpol-parpol dan Golkar pada masa itu.
Kemudian, pada awal Juni 1971, para pemuda dan mahasiswa kembali melakukan deklarasi gerakan golput dengan membuat simbol golput berbentuk segilima, mirip dengan lambang AURI, IPKI, dan Golkar.
Di tengah segilima tersebut, terdapat gambar abstrak dengan warna putih polos. Mereka juga menyebarkan pamflet-pamflet di bebeberapa titik di Jakarta, yang isinya tidak menyetujui tertib penyelenggaraan pemilu 1971.
Golput yang terjadi pada tahun 1971 dilihat sebagai bentuk protes atas penyelenggaraan pemilu yang tidak demokratis.
Pembatasan jumlah partai politik yang dilakukan oleh pemerintah orde baru dinilai para aktivis sebagai bentuk pengangkangan terhadap asas demokrasi yang paling mendasar, yaitu kemerdekaan berserikat dan bepolitik.
Selain itu, pembentukan organisasi Golkar oleh pemerintah, yang kemudian menjadi kontestan di pemilu 1971 maupun setelahnya dilihat sebagai siasat pemerintah orde baru untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemilu di tahun 1971 maupun di tahun-tahun setelahnya hanyalah parodi yang dimainkan pemerintah orde baru.
Golput yang terjadi di tahun 1971 didasari pada basis ideologi yang kuat. Para aktivis ketika itu menyadari adanya potensi penyelewengan asas demokrasi yang dianut negara Indonesia.
Pemilu menjadi celah yang baik bagi upaya penyelewengan ini melalui aturan-aturan pemilu, seperti pembatasan partai politik dan pembentukan organisasi golkar sebagai alat politik pemerintah.
Golput dipandang sebagai gerakan perlawanan atas upaya-upaya menihilkan alam demokratisasi dan mengarahkan negara kepada otoritarianisme.
Gerakan golput ini tidak berhasil menjadi gelombang besar kekuatan politik di tahun 1971. Intervensi pemerintah yang kuat menjelang pemilu menjadikan gerakan ini tidak mempengaruhi hasil akhir.
Masyarakat takut untuk tidak memilih. Di tahun tersebut, jumlah golput hanya sebesar 6,67 persen. Kita pun mendengar dan menyaksikan apa yang disadari sejak awal oleh para penggagas golput di tahun 1971, selama 32 tahun orde baru berkuasa Indonesia jatuh dalam kubangan otoritarianisme.
Golput di Pemilu 2019
Pasca tumbangnya rezim orde baru, Indonesia kembali memasuki alam demokratisasi yang dinamakan era reformasi. Dua puluh satu tahun era reformasi bergulir, Indonesia telah melaksanakan pemilu sebanyak empat kali. Tahun ini menjadi pemilu ke lima di era reformasi.
Fenomena golput sebagai sebuah gerakan politik praktisnya tidak menonjol dalam empat pemilu terakhir di Indonesia. Kita memang menyaksikan angka golput yang selalu meningkat di era ini, namun itu tidak menjadi acuan dalam melihat golput sebagai gerakan politik karena fenomena golput dalam lanskap politik Indonesia saat ini telah mengalami perluasan makna.
Jika di tahun 1971, kelompok golput hanya merujuk kepada mereka yang melakukan gerakan politik untuk tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, saat ini kelompok golput juga mencakup orang-orang yang memiliki persoalan administrasi sehingga tidak memilih dan mereka yang bersikap apolitis.
Namun dalam pemilu 2019, geliat golput sebagai sebuah gerakan politik masuk ke dalam ruang publik. Pasca ditetapkannya pasangan capres-cawapres pertengahan tahun lalu, kampanye untuk memilih golput dalam pilpres 2019 mulai ramai di jagad maya.
Munculnya wacana golput ini bermula dari kekecewaan beberapa orang atas keputusan politik di tingkatan elit terkait penentuan capres dan cawapres.
Gerakan golput lainnya ditemukan dalam kampanye Nurhadi-Aldo. Beberapa waktu lalu, kontestasi politik di Indonesia diinterupsi oleh munculnya kampanye calon fiktif di media sosial, Nurhadi-Aldo.
Paslon fiktif ini kerap membuat meme-meme jenaka yang mengundang gelak tawa di media sosial. Hadirnya paslon fiktif ini merupakan bentuk perlawanan sarkastik masyarakat atas situasi politik di Indonesia.
Ekspresi publik yang tersampaikan melalui fenomena Nurhadi-Aldo ini dilihat sebagai ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap konstelasi politik di Indonesia yang menitikberatkan pada sensasi dan gimik ketimbang memikirkan persoalan mendasar bangsa Indonesia. Pada titik ini, fenomena Nurhadi-Aldo bisa dilihat sebagai gerakan politik.
Menemukan Akar Penyebab
Fenomena golput dari perspektif demokrasi akan melahirkan pesimisme bagi legitimasi demokrasi di Indonesia. Namun, hal tersebut tidak lantas menganggap wacana dan gerakan golput sebagai sebuah kesalahan dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
Wacana dan gerakan golput merupakan bentuk interupsi atas proses politik yang sedang berlangsung. Wacana dan gerakan golput menandakan ada hal yang salah dengan proses berdemokrasi yang kita jalani selama ini, dan perlu dibenahi. Untuk tujuan itulah, di Indonesia sikap golput merupakan hal legal dan dilindungi oleh undang-undang.
Wacana dan gerakan golput yang dihembuskan menjelang pemilu 2019 merupakan akumulasi kegelisahan atas situasi politik di Indonesia saat ini.
Dari pada saling menuding siapa yang lebih salah atau siapa yang lebih benar antara yang mereka yang golput dan tidak, akan lebih bijaksana jika kita menemukan bersama akar penyebab munculnya wacana dan gerakan golput ini.
Dua tahun sebelum penyelenggaran pemilu, sidang paripurna DPR mengesahkan UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang tersebut, disepakati terkait ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen suara partai di DPR atau 25 persen suara sah nasional.
Untuk Indonesia yang menganut sistem pemilihan langsung, penentuan presidential threshold ini merupakan sebuah kesalahan besar karena beberapa hal:
Pertama, terlepas apakah penentuan presidential threshold ini terjadi secara alamiah atau didesain untuk tujuan politik segelintir orang, ketentuan ambang batas ini justru memberi ruang bagi terjadinya golput pada saat pemilu berlangsung.
Keterbatasan opsi yang ditawarkan ke publik memicu lahirnya kelompok golput, karena preferensi politik mereka tidak terwakilkan oleh kontestan yang ada.
Kedua, presidential threshold 20 persen kontradiktif dengan sistem pemilihan langsung di Indonesia, karena ketentuan ini membuka ruang lobbying yang besar di tingkatan elit politik.
Ketiga, presidential threshold 20 persen menutup kesempatan munculnya calon presiden dan wakil presiden yang didukung dari masyarakat, karena ketentuan ini memberikan ruang yang begitu besar bagi segelintir orang yang punya modal dan kuasa untuk mengatur proses politik di Indonesia.
Dengan kata lain, presidential threshold 20 persen memberikan legitimasi yang kuat bagi terbentuknya sistem politik yang oligarkis dan tertutup.
Wacana dan gerakan golput yang muncul menjelang pemilu 2019 tidak hanya dimaksudkan untuk memilih dan tidak memilih 01 atau 02, tetapi sebuah upaya untuk menolak sesuatu yang lebih besar dari itu, yaitu potensi langgengnya politik oligarkis di Indonesia.
*Penulis merupakan Ketua Lembaga Kajian Isu Pengurus Pusat PMKRI dan mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia