Ende, Vox NTT-Hari menjelang malam. Meski demikian, pria berambut gondrong, berkumis dan berjenggot tebal itu masih asyik mengutak-atik peralatan motor di halaman rumahnya.
Ia terlihat sibuk memperbaiki sejumlah motor trail milik grup motor trabas Alva Speed Ende.
Mengenakan baju kerah berwarna coklat tua, celana panjang dan sepatu merupakan tampilan khasnya sore itu.
Sambil bekerja, ia dikelilingi sejumlah anak buah yang sedang memasang komponen-komponen motor.
Pria itu adalah Petrus Gato Suban (34). Ia sering disapa “Om No”.
Om No beralih kerja menjadi montir setelah sebelumnya menekuni pekerjaan sebagai tukang ojek tahun 2005 silam.
Kini, ia telah memiliki usaha perbengkelan di RT 01/RW 02, Kelurahan Kotaratu, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, NTT.
Dengan ilmu yang dipelajari secara otodidak, Om No memberanikan diri membuka bengkel itu di halaman rumahnya.
Ia dianggap cukup mahir dalam dunia otomotif. Tak heran, jika setiap hari banyak kendaraan rusak di markas usahanya.
Ojek Jenazah
Cerita Om No tak sebatas itu. Ada hal unik yang kerap ia lakukan sejak tahun 2005.
Di samping bekerja sebagai montir, ternyata ia adalah seorang ojek pengantar jenazah.
Dalam ingatannya, sudah 10 jenazah yang ia boncengi menuju kampung-kampung pelosok di Ende.
No memiliki keberanian dan nyali yang besar. Mayat-mayat itu ia gonceng pada malam hingga dini hari.
Duduk bersandar di atas motor trail, ia pun mulai berkisah.
Tahun 2005, satu tahun setelah tamat sekolah menengah atas di Ende, ia tak memiliki pekerjaan. Usianya kala itu menginjak 20-an tahun dan belum menikah.
Karena kekurangan lapangan pekerjaan ia pun bekerja sebagai tukang ojek di Ende.
Pekerjaan itu digelutnya dengan bangga, apalagi didukung hobinya yang suka menjelajahi daerah-daerah terpencil di Kabupaten Ende.
Bermodal sepeda motor bebek kala itu, No akhirnya menguasai sejumlah medan yang dianggap sangat rawan bagi pengendara.
Selama berjelajah sepanjang tahun 2005, ia kerap menjumpai orang-orang pelosok dan berkenalan. Sikapnya yang ramah dan rasa kekeluargaan yang tinggi adalah modal pergaulannya.
Ia bercerita, membonceng jenazah seorang bayi pertama kali atas permintaan satu keluarga. Jasad bayi itu ia antar ke kampung Wologai, Kecamatan Ende, sekitar 30 km dari Kota Ende.
Kala itu, pada pertengahan Mei 2005, kondisi akses jalan ke Wologai memang cukup berat. Selain jalan yang belum memadai, topografi pegunungan dan banyak jurang membuat nyali pengendara lain ciut.
Om No tak peduli. Dini hari, sekitar pukul 02.30 Wita, ia nekat mengantar jenazah bayi itu dari RSUD Ende sampai tujuan.
“Dulu memang akses (jalan) bukan seperti sekarang. Mobil tidak bisa naik ke atas. Lalu, motor juga masih kurang,”katanya.
Ia menceritakan, saat itu, pihak keluarga hanya berpasrah. Sebab, selain kondisi jalan yang parah, ekonomi mereka juga tak seberapa.
Mereka (keluarga) akhirnya meminta dia mengantar jenazah bayi itu. Ia tak menolak. Bahkan tidak berharap ongkos banyak.
“Saya tidak menuntut banyak biaya ojek. Di pikiran saya hanya bilang bagaimana saya bisa menolong orang. Karena saya tahu banyak lagi sulit secara ekonomi waktu itu,” ungkapnya.
Berselang beberapa bulan kemudian, warga asal Boafeo, Kecamatan Maukaro kembali memintanya mengantar jenazah seorang remaja.
Meski diantar malam hari, lagi-lagi ia tidak keberatan. Om No santai saja. Nyali dan keberaniannya kembali diuji.
Jarak tempuh dari RSUD Ende ke wilayah pedalaman Maukaro itu sekitar 40-an km. Dan itu harus membutuhkan waktu sekitar lima sampai enam jam.
Kondisi jalannya pun sangat memprihatinkan dari menanjak, menurun, tebing hingga jurang yang cukup ekstrim.
Ia tahu persis kondisi jalan tempo itu yang membutuhkan keseimbangan dan konsentrasi penuh.
Om No membonceng jasad itu dibantu seorang keluarganya dari belakang. Mayat dibaluti kain lalu diikat dibelakangnya. Sementara seorang keluarga yang ikut di belakang menjaga keseimbangan mayat agar tidak miring dan jatuh.
Selama perjalanan ke Boafeo, situasi pelik kerap datang. Itu terjadi di jalan tanjakan di tengah hutan.
Motor Blade miliknya tidak dapat menanjak akibat jalan buruk dan beban yang berat.
Keadaan ini terjadi berulang kali sepanjang perjalanan itu. Ia kemudian menurunkan mayat dari motornya dan memberi ancaman.
“Saya ancam dia (mayat), kalau terus begini saya lepaskan kau (mayat) dan saya pulang,” ceritanya dengan raut muka serius.
Keluarga mayat tadi berupaya menahan emosi Om No. Mereka kemudian mengangkat mayat itu ke motor dan melanjutkan perjalanan. Alhasil, setelah mayat itu diancam, mereka pun tiba di tempat tujuan.
Aksi nekat Om No menghebohkan warga di Kecamatan Ende dan Maukaro. Namanya kemudian tenar sebagai sosok pemberani.
Dari situ, ia kerap diminta untuk mengantar jenazah ke sejumlah daerah pelosok seperti wilayah Pemo, Wologai dan Boafeo hingga tahun 2018.
“Biasa, dalam setahun ada yang satu, ada yang dua orang. Ia variasi. Saya memang kasian orang-orang di sana,” katanya.
“Dua tahun terakhir ini agak kurang karena akses sudah cukup baik. Mobil ambulance juga sudah masuk, orang sudah banyak kendaraan,” sambungnya.
Berpikir Positif
Om No mengaku, itikad baiknya itu bisa dilakukan karena berpikir positif.
“Kalau saya biasa saja. Karena saya tidak terlalu berpikir hal yang negatif. Saya hanya menolong orang,” katanya.
Berpikir negatif melampaui batas normal, kata Om No, merupakan ciri khas orang yang takut. Ketakutan itu akan menghilangkan segala kemampuan dalam diri seseorang.
Kebanyakan orang, kata No, kadang mengaitkan jenazah dengan roh halus. Padahal, itu hanyalah pikiran negatif yang dapat membunuh keberanian.
“Kita selalu berpikir negatif terlebih dahulu. Bahwa akan terjadi sesuatu yang mengerikan. Padahal tidak juga. Biasa saja sebenarnya,” kata dia.
Om No menegaskan, keberanian yang ia miliki berawal dari pikiran positif.
“Mengontrol pikiran itu kunci hidup manusia. Jika membiarkan pikiran-pikiran menguasai kita, itu artinya manusia itu tidak lepas bebas,” pesan No.
Penulis : Ian Bala
Editor: Irvan K