Oleh: Pius Rengka
Sekali waktu di sebuah kampung menjelang petang hari. Sebut saja kampung Dakudaridami. Para penduduk geger bukan main. Para ibu belum tuntas menyibak rambut yang sulit diorganisir sisir, berlari sambil menggendong buah dada yang jatuh telanjang bebas dari kutang kumal.
Para pemuda sigap meloncat dari serambi samping gubuk, menenteng pentung. Para kakek melontar ucap arif, sambil menekan bumi dengan tongkat tua yang sudah lama diambil dari sisa babat hutan.
Seorang musafir, jalan gontai tanpa memandang ke arah mana-mana, kepalanya tak tegak melihat cakrawala, tetapi menekuri jejak bumi seolah-olah ada sesuatu yang sedang dicari. Sang Musafir melintas di kampung tanpa berkata-kata tanpa menyapa entah kepada siapa. Dia diam, tetapi dia sunyi dalam keriuhan berpikir.
Kabar tersiar, Sophia datang ke sana. Maklum, Sophia tak datang dari mana-mana dan bahkan juga tidak pergi ke mana-mana dan entah dari siapa dari mana. Mereka menghayal. Sophia, pasti bukan dari Yunani, yang datang bertandang menyiram kearifan nan bijak di Dakudaridami.
Apakah dia seorang gadis molek, yang darinya menyimpan keindahan cahaya penolakan sambil undangan dahaga para pemuda? Sophia belum ke mana-mana dan tak akan ke mana-mana.
Sophia di situ sudah sejak lama, kata yang lain. Tetapi tak pernah ada kepastian. Mereka bimbang, karena terlalu banyak benih ucapan di kampung itu, yang datang dan pergi bagai kelakuan para juru sihir.
Menilik namanya, para arif di Dakudaridami, mencari sejarah nama. Mereka merinci melalui jembatan hermeneutika kosa kata yang menyebar di mana-mana di seantero jagat. Dan, perubahan konteks dan konten ditilik ke mana-mana. Tak lupa mereka mencari tilik ekonomi politik, yang pernah mereka simpan di sebuah gubuk samping rumah. Tetapi, di dusun itu, aneka orang telah lama berhimpun di situ.
Ada di antaranya yang mengeja dengan sopia, ada pula berkata sophia, ada pula menyebut sowia, ada juga yang mengeja seenaknya dengan soiaya. Dan seorang bibir sumbing menyebutnya tanpa ragu dengan Hoia.
Lalu satu di antaranya menyebutnya tanpa desah huruf h. Kata dia, dalam bahasa ucap, huruf h tak terlalu terdengar bahkan juga tak terlalu penting-penting amat. Baginya, sophia itu di mana sekarang berada. Tetapi debat penduduk kampung menyiram riuh dari keteduhan lama. Tak seorang jua pun menakar Sophia sebagai sesuatu yang berlalu di tengah keheningan petang itu.
Namun, sang petualang kata, berkata kepada Musafir. Apakah dikau melihat Sophia sejak tadi kau melintas di situ? Dengan mata nan teduh, Musafir menjawab: Aku bukan pencari makna. Aku melintas di situ dibawa bayang-bayang dan angin yang membelai semesta. Musafir terus berlangkah perlahan sambil merunduk ke jejak bumi.
Seorang pemuda berjingkrak sambil mengibarkan selempang sarung lusuh dan pedang terhunus, kepada Musafir dia menghardik. Apakah dikau melihat Sophia? Sambil tersenyum, Musafir berkata: Pedang kata-kata tak sanggup menangkup elok. Semua kata terhunus disimpan dalam sarung benak dan sermati badai ini.
Namun, seorang pemuda mekar nan lajang, seolah mendengar jejak Sophia dari belukar tak jauh dari situ. Katanya, Sophia itu belum pergi terlalu jauh. Dia kini sedang menyiram api-api gelora membakar asmara para remaja. Dia adalah sesuatu yang darinya menaburkan bibit kreativitas dan sejuta kata terlontar dari lorong ramai.
Petang itu, tak ada lagi sunyi. Para orang kampung bertaruh argumen, soal Sophia, nyaris tanpa usai. Tiba-tiba, seorang menjelang dewasa muncul dari gerbang dusun, berpakaian necis, aromanya semerbak ke tiap relung dusun itu.
Bersamanya seseorang serupa gadis rupawati. Cantiknya tak terlalu biasa. Tak bersuara. Senyum di kulum bibir membentuk sebuah imajinasi tak terlupakan. Kata orang itu: Cinta adalah obat penawar kebosanan, suatu penegasan tentang kebebasan.
Cinta itu, adalah sebuah sengatan untuk merangsang suami yang terlalu muda agar sampai pada kondisi pria yang sebenarnya. Cinta bukan sekadar hiburan yang menyenangkan kalaupun tidak kekal, juga tentang perkawinan yang ia kenal sebagai keadaan tetap, kalaupun kadang-kadang menjemukan.
Kaum epikuris, katanya lagi, tak hanya mengejar kenikmatan, tetapi juga menggantang kesenangan tanpa berbelas kasih yang memadai. Sophia itu sesuatu yang terlalu banyak untuk sesuatu yang terlalu sedikit.
Dengan dekat Sophia, ada di antara kita yang merelakan dan mengorbankan harga diri, sampai ke serpihannya yang amat dekil dan detil. Kalian hanya penonton tanpa mata, kalian pun hanya pendengar tanpa telinga. Kalian manusia yang terlibat dalam melodrama boneka-boneka yang mabuk hanya karena ingin tahu saja. Kalian riuh meriung sudut lihat, sambil membenarkan diri tanpa rasa bersalah. Kalian itu kesalahan.
Mendengar rentetan ucapan itu, penduduk dusun seperti diburu sejuta peluru imajinasi. Memandang Sophia yang hadir mendampingi pria itu tanpa berujar, tetapi selalu menyebar senyum menghantui khayalan siang dan malam. Pada hari telah malam, datanglah ribuan jerigen cairan dan mereka menenggak bersama. Katanya, sebelum semua cairan ini berubah menjadi komoditi yang menguntungkan pasar, sebaiknya kita beramai euthanasia.
Penduduk sekampung sadar waktu memulai, tetapi tak tahu berhenti. Mereka mabuk semuanya. Mereka menenggak tak kunjung henti. Apa yang begitu diinginkan oleh orang sekampung sehingga keinginannya itu menjadi duri dalam daging.
Pesta pun tak kunjung usai, tetapi Sophia masih di situ dan siap berlangkah ke sebuah pasar tempat di mana, tak hanya suplay dan demand bertemu, tetapi juga arena unjuk kuat. Maka kata saya pasar itu adalah dahaga para orang kuat.
Namaku Sophia saja, tetapi tak sangat bersahaja untuk sebuah nama. Sembari dengan itu, Sophia terdengar seperti sedang bergumam. Terdengar seperti embusan desah, terdengar hukum menegakkan keadilan secara kebetulan. Tetapi, keadilan di tangan Tuhan, karena Dia menunggu waktu terlalu lama untuk memutuskan. Damai besertamu. Begitulah.