Oleh Donatus Vedin*
Pertama-tama saya ingin menegaskan beberapa hal terkait dengan tulisan ini.
Pertama, tulisan ini merupakan analisis kritis atas sebuah fenomena dan bukan uraian deskriptif berdasarkan penelitian.
Dengan demikian terbuka kemungkinan bagi setiap orang untuk memberikan tanggapan, entah tanggapan afirmatif atau pun tanggapan yang bersifat menegasikan.
Kedua, tulisan ini lebih relevan untuk masyarakat dengan sistem budaya patriarkat. Meski demikan, tidak tertutup kemungkinan relevansinya bagi masyarakat dengan sistem budaya matriarkat.
Konsumerisme
Pada bagian ini saya tidak berikhtiar menjelaskan konsumerisme secara mendetail. Konsumerisme secara sederhana dapat dipahami sebagai paham atau gaya hidup yang menganggap barang-barah (mewah) sebagai ukuran kebahagian dan kesenangan.
Konsumerisme dalam tinjaun ekonomi, muncul dikarenakan terjadinya penyimpangan orientasi kegiatan konsumsi. Aktivitas konsumsi yang pada awalnya ditujukan untuk memenuhi “kebutuhan” hidup sehari-hari bergeser menjadi sebuah aktivitas yang berorientasi memenuhi “keinginan”.
Di sini saya membedakan secara tegas konsep kebutuhan dan keinginan. Kebutuhan berhubungan dengan hal-hal esensial atau fundamental. Sedangkan keinginan berhubungan dengan hal-hal ekstrinsik.
Jika kebutuhan adalah tentang hidup, maka keinginan adalah tentang makna dan tanda.
Dengan pembedaan konsep kebutuhan dan keinginan ini, maka konsumerisme dapat juga dimengerti sebagai gaya hidup dimana keinginan (ekstrinsik) diterjemahkan sebagai kebutuhan (intrinsik, esensial).
Perubahan orientasi aktivitas konsumsi (budaya konsumerisme) tidak dapat disangkal mewabah secara global. Perubahan ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga di negara berkembang dan negara terbelakang.
Ia juga terjadi tidak hanya pada kelompok masyarakat tertentu, tetapi pada semua lapisan masyarakat, yaitu pada masyarakat kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah.
Meski dalam praktiknya perubahan orientasi aktivitas konsumsi tidak selalu sama, dalam arti intensitasnya, namun hampir semua orang pasti pernah mempraktikkannya.
Perilaku Konsumtif
Jean Baurillard, seorang pemikir postmodernisme, mengkritik prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx yang dianggapnya sudah tidak relevan lagi digunakan sebagai kerangka memandang realitas masyarakat dewasa ini.
Baudrillard mengajukan prinsip nilai-tanda dan nilai-simbol sebagai kerangka membaca realitas dewasa ini. Pandangan Baudrillard tentang perubahan kerangka memandang masyarakat modern tidak terlepas dari pengamatannya mengenai perilaku konsumtif masyarakat modern.
Menurut Baudrillard, masyarakat dewasa ini telah berada pada masa ekstase aktivitas konsumsi. Aktivitas konsumsi yang berlebihan oleh masyarakat dewasa ini menurut Baudrillard tidak didasarkan pada nilai guna tetapi pada nilai tanda dan nilai simbol.
Secara sederhana dapat dikatakan demikian, masyarakat mengkonsumsi (segala) sesuatu bukan karena fungsi intrinsik yang ada padanya, tetapi karena sesuatu itu adalah tanda dan simbol bagi masyarakat yang mengkonsumsinya. Dengan kata lain, “Saya adalah apa yang saya makan”.
Lebih jauh Baudrillard berpendapat, konsumsi berlebihan (overkonsumsi) yang ditunjukkan oleh masyarakat modern menjadi basis pembentukan tatanan hierarki dalam masyarakat.
Jika pandangan klasik melihat bahwa ras, gender, etnik dan kelas sosial sebagai basis pembentukan tantanan hierarki dalam masyarakat, maka kini tatanan sosial kemasyarakatan dibangun di atas sistem yang baru yaitu objek-objek konsumsi.
Saya secara pribadi mengafirmasi pendapat Baudrillard ini, bahwa pembentukan tatanan hierarki masyarakat dewasa ini cenderung didasarkan pada jenis objek yang dikonsumsi.
Seseorang yang mampu mengkonsumsi objek “berkelas” dengan sendirinya akan ditempatkan pada strata “atas”.
Sebaliknya, seorang yang tidak mampu mengkonsumsi objek “berkelas”, entah ia berprofesi sebagai tua adat, tetap berstrata menengah atau bawah.
Purifikasi Makna Belis
Akhir-akhir ini tradisi belis menjadi bahan yang aktual diperbincangkan oleh masyarakat. Topik yang diperbincangkan umumnya seputar kisaran jumlah belis yang dinilai begitu mahal.
Mahal (besar) atau tidaknya belis dalam praktiknya selalu berasosiasi dengan popularitas keluarga perempuan dan perempuan itu sendiri.
Jika keluarga perempuan adalah orang terpandang, maka kemungkinan besar belis juga akan mahal. Atau jika perempuan adalah seorang yang berpendidikan tinggi, maka jumlah belis pun besar.
Inilah fenomena yang lumrah terjadi, terutama pada masyarakat dengan sistem budaya patriarkat. Fenomena ini kemudian mengantar orang, tak terkecuali saya sendiri, untuk kembali menelusuri makna otentik dari tradisi belis.
Pada umumnya tradisi belis selalu berkaitan erat dengan pernikahan. Dalam masyarakat dengan sistem budaya patriarkat, belis biasanya dimaknai sebagai pemberiaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebelum sebuah pernikahan diresmikan oleh suatu sistem atau sebuah lembaga yang sah.
Bentuk pemberian dari pihak laki-laki biasanya berupa sejumlah uang dan barang. Sementara kisaran jumlah pemberian selalu ditentukan oleh pihak perempuan yang kemudian disampaikan kepada pihak laki-laki.
Belis yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan menurut hemat saya memiliki tiga makna.
Pertama, belis adalah simbol penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan. Perempuan adalah pencipta sejarah manusia. Dunianya terlampau luas karena mencakup dunia kaum pria dan juga dunia anak keturunan. Perempuan bisa disejajarkan dengan bumi yang melahirkan berbagai macam jenis kehidupan.
Dapat dikatakan, kelangsungan peradaban manusia ada di tangan perempuan, karena hanya perempuan yang dapat memberikan kelahiran baru. Apakah laki-laki tidak berperan dalam kelahiran baru? Laki-laki tentu berperan, tapi yang pasti laki-laki selalu dan akan selalu dilahirkan dari rahim perempuan.
Atas dasar ini, maka sudah sepantasnya perempuan memperoleh penghargaan dan penghormatan. Tradisi belis dengan demikian adalah sebuah tradisi penghormatan dan penghargaan terhadap perempuan, bukan hanya dari seorang laki-laki, tapi dari semua manusia, termasuk anak keturunan yang akan dilahirkan perempuan.
Pemahaman belis sebagai simbol penghargaan dan penghormatan memiliki dua konsekuensi. Pertama, belis tidak dapat ditiadakan dari keseluruhan sistem dan upacara pernikahan.
Tidak memberikan belis berarti juga tidak menghargai perempuan. Artinya, pihak laki-laki mesti tetap memberikan belis, meski jumlah belis tersebut terbilang sedikit. Karena belis bukan tentang jumlah yang terhitung, tapi tentang simbol. Kedua, melanjuti yang pertama, penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan tidak dapat direduksi pada jumlah.
Artinya, besar kecilnya jumlah belis yang diberikan kepada pihak perempuan tidak menjadi ukuran dalam dan dangkalnya penghormatan terhadap perempuan. Poin yang hendak saya sampaikan adalah belis tidak seharusnya melampaui batas kewajaran (entah secara sukarela diberikan pihak laki-laki atau pun berdasarkan permintaan pihak perempuan). Hal ini perlu agar tradisi belis tidak dipandang sebagai sebuah “transaksi pembelian” perempuan.
Kedua, tradisi belis merupakan perlawanan terhadap praktik preduksian perempuan. Melalui tradisi belis, semua orang diingatkan tentang peran penting perempuan.
Perempuan bukan barang instrumental tapi manusia yang bermartabat. Sebagai manusia yang bermartabat, perempuan sudah sepantasnya dihormati, dihargai dan dijaga.
Perempuan tidak bisa menjadi korban kekerasan dan korban human trafficking. Tradisi belis juga, hemat saya sangat mendukung konsep kesetaraan gender. Bahkan menurut saya, tradisi belis yang ada dalam budaya yang bersifat patrilineal adalah antitesis atau otokritik bagi budaya tersebut.
Ketiga, belis juga dapat bermakna ucapan terima kasih. Belis, meski merupakan bentuk penghargaan terhadap perempuan, namun dalam praktik, peruntukkannya selalu bagi keluarga. Hal ini adalah wajar dengan mempertimbangkan pengorbanan keluarga dalam mendidik dan membesarkan anak perempuan mereka.
Meski demikian, menurut hemat saya, makna ketiga ini bukan merupakan makna substansial dari belis. Pertimbangan saya adalah tugas mendidik dan membesarkan, termasuk di dalamnya menyekolahkan, merupakan tanggung jawab yang memang harus dijalankan oleh keluarga.
Tanggung jawab ini adalah bukti cinta keluarga dan seyogianya tanpa pamrih. Jadi, kurang elok jika kemudian keluarga meminta belis yang mahal hanya karena telah menyekolahkan anak dengan biaya yang mahal misalnya.
Perilaku Konsumtif dan Distorsi Makna Belis
Pada bagian sebelumnya, saya telah mengatakan bahwa fenomena besar-kecilnya belis berhubungan erat dengan popularitas keluarga perempuan dan perempuan sendiri.
Jika keluarga perempuan adalah orang yang terpandang atau jika perempuan adalah seorang yang berpendidikan tinggi, maka permintaan jumlah belis pun cenderung besar.
Saya berpendapat, praktik semacam ini sebetulnya menciderai makna esensial dari tradisi belis. Dan menurut saya, praktik ini memiliki hubungan dengan perilaku konsumtif.
Sebelum lebih jauh membahas korelasi perilaku konsumtif dan distorsi makna belis, saya ingin menjelaskan lagi konsep overkonsumsi yang digagas Baudrillard. Overkonsumsi merujuk pada aktivitas konsumsi secara berlebihan. Berlebihan bukan hanya terbatas pada jumlah, tapi juga pada jenis.
Overkonsumsi dengan demikian dimaksudkan pengonsumsian segala sesuatu yang dapat dikonsumsi, meski sesuatu itu sebetulnya bukan merupakan kebutuhan yang mendesak dan fundamental.
Istilah overkonsumsi juga dipakai untuk menggambarkan suatu perilaku konsumtif yang tergolong baru pada masyarakat modern, yaitu aktivitas konsumsi tanda (prestise, citra, pesan) ketimbang komoditas.
Bahkan overkonsumsi komoditas ujung pangkalnya adalah demi konsumsi tanda ini. Perilaku konsumtif yang dihubungkan dengan distorsi makna belis dalam tulisan ini bukan hanya aktivitas konsumsi komoditas, tapi terutama konsumsi tanda.
Saya berpandangan, permintaan jumlah belis yang begitu besar kurang lebih bertujuan untuk memperoleh tanda (prestise, citra). Pihak laki-laki atau pun pihak perempuan yang mencapai kesepakatan mengenai belis dalam jumlah besar akan dipandang terhormat oleh masyarakat, sekurang-kurangnya oleh kelompok masyarakat kelas bawah.
Dengan belis yang besar pula, sebuah pesta akbar pernikahan pun dapat dilaksanakan. Pesta akbar ini tidak hanya tentang konsumsi komoditas yang berlebihan, tapi juga tentang konsumsi tanda dan ekspresi kekuasaan. Meski tidak secara ekplisit diakui, yang pasti pihak keluarga perempuan merasa bangga dengan sebuah pesta akbar pernikahan.
Dengan pesta nikah akbar ini, mereka telah berhasil mengkonsumsi tanda (prestise, citra) dan berhasil mengekpresikan kekuasaan (diferensi). Sementara persoalan seperti harus membayar utang usai pesta dilangsungkan sama sekali tidak dipertimbangkan.
Hal-hal ini tentu mendistorsi makna belis, terutama ketika pihak laki-laki “dipaksakan” untuk memberikan belis dalam jumlah besar. Belis tidak lagi bermakna penghargaan tetapi lebih sebagai sebuah transaksi.
Makna penghargaan direduksi pada jumlah. Besarnya jumlah belis yang diberikan menjadi ukuran kedalaman dan keseriusan penghargaan kepada perempuan juga kepada keluarga. Sebaliknya, jika belis sedikit, maka dangkal pulalah penghargaan itu.
Catatan Penutup
Saya secara pribadi menilai tradisi belis adalah harta karun budaya. Tradisi belis memiliki makna yang begitu luhur. Sungguh sangat disayangkan jika makna luhur tradisi belis dicederai hanya karena semangat konsumtif yang berlebihan.
Saya menganjurkan setiap orang (keluarga) untuk bijak dalam mengambil keputusan. Kebahagiaan sejati tidak dapat direduksi pada harta benda, pada prestise, juga pada citra publik.
Dan yang paling penting, cinta pasangan selalu melampaui harta, prestise dan citra keluarga. Jangan sampai cinta pasangan digagalkan oleh semangat konsumtif (tanda) keluarga.
*Penulis adalah calon imam keuskupan Ruteng. Tinggal di Ritapiret.