*)Cerpan Riko Raden
Namaku Alex. Aku dilahirkan di sebuah desa 5 tahun yang lalu. Saat ini, aku berada di Kalimantan kurang lebih 15 tahun.
Dalam kurung waktu 15 tahun, aku tidak pernah melihat kampung halaman, tidak pernah melihat senyum dari keluarga maupun sahabat di kampung. Aku sangat merindukan kebersamaan bersama mereka.
Kehidupan di tanah rantau sungguh berbeda dengan situasi di kampung. ketika ingin makan sesuatu selalu berkaitan dengan uang. Kalau tidak ada uang berarti tidak bisa makan.
Ini berbeda sekali dengan kehidupan di kampungku. Entah uang ada atau tidak ada makanan selalu ada. Sungguh sedih kehidupan di tanah rantau. Betapa sulitnya mencari makanan untuk hidup.
Sejak memutuskan untuk merantau di Kalimantan, aku sempat meragukan diriku yang cenderung malas soal kerja. Setiap hari selalu nongkrong di kios tetangga, merokok dan minuman alkohol sampai mabuk. Aku tidak pernah berpikir bagaimana masa depan hidupku.
Aku tidak pernah berpikir apa yang dilakukan oleh ayah yang bekerja hanya untuk menghidupi keluarga kami. Semua itu tidak pernah kusadari.
Aku hanya berpikir tentang rokok dan minuman alkohol saja. Ketika peristiwa sedih menimpa diriku di mana ayah telah pergi meninggalkan kami.
Sejak saat itu aku sadar tidak ada lagi yang bisa menghidupi keluarga kami. Tidak mungkin ibu bisa menghidupi kami dengan kondisi kesehatan yang kurang baik. Apalagi persistiwa yang barusan menimpa dalam hidupnya. Di mana orang yang mencintainya dan ia cintai telah hilang dari hidupnya. Apakah ibu dengan keadaan seperti itu masih bisa menghidupkan kami.
Ketika aku sadar, aku memutuskan untuk pergi merantau agar ibu selalu tersenyum dan bahagia di mata kami anaknya. Aku tidak ingin juga ibu pergi meninggalkan kami seperti ayah. Aku ingin ibu selalu ada bersama kami sampai ajal menjemputnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun pun berganti. Tak terasa 5 tahun sudah kulalui. Canda tawa, susah dan senang datang silih berganti. Itulah seni dari kehidupan. Sekian lama aku bergumul bersama orang –orang asing di tempat asing pula.
Kesendirian, kesunyian dan kehampaan selalu kurasa dalam hidupku. Betapa aku sulit menyesuaikan diri di tempat asing ini. Dalam keadaan seperti ini, aku bingung, aku ragu dan bimbang dalam mengarungi kehidupan dan menjalankan hidup ini sendirian.
Dalam hatiku bertanya, mampukah aku mengarungi kehidupan seperti ini. Setelah sekian tahun aku meninggalkan keluarga, aku tidak lagi merasakan kasih sayang dari mereka. Hidupku hampa . Hampir saban hari aku terus bergumul dengan kehidupan seperti ini. Menyendiri di tengah situasi yang kurang damai. Kini aku menikmati rotasi kehidupan seperti ini. Betapa sulitnya hidup ini.
Hidup ini tak segampang seperti membalik telapak tangan. Aku harus berbaur dengan orang-orang asing di tempat ini. Aku tidak ingin menyendiri terus, aku harus berada bersama mereka. Aku ingin menikmati perjalanan bersama mereka. Aku yakin mereka juga sama seperti diriku. Mereka juga telah meninggalkan keluarga demi mencari sesuap nasi di tanah rantau.
Berpikir seperti inilah sehingga dari hari ke hari aku selalu merasakan kasih sayang dari orang asing. Mereka telah menerima diriku. Indra, seorang lebih tua dariku berasal dari pulau Jawa mendengarkan keluh kesah kehidupan dalam keluargaku. Ternyata apa yang kualami sama seperti keluarga Indra.
Pada akhirnya aku dan Indra menjadi keluarga kecil di tanah rantau walau beda agama. Nasihat dari Indra selalu berharga untukku. Di saat aku mengeluh dengan teman-teman karyawan, dia selalu memberikan peneguhan. Mulai dari saat itu, aku merasakan kasih sayang dari orang-orang asing. Orang yang sebelumnya tidak ada dalam benakku.
Bersama Indra membuat segala sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Demi hidup dan masa depan keluargaku, aku harus sungguh-sungguh untuk bekerja dan jauhkan dari pikiran yang membuat diriku terbelenggu. Aku tidak boleh mengeluh terus tentang hidupku. Aku harus optimis dan selalu bekerja demi menghidupi keluarga kami.
Ketika sang surya terbit dari arah Timur dihiasi dengan embun-embun pagi yang membuat hijaunya rumput dekat perusahan ini. Rasa kantuk dan lelah semalam suntuk mempersiapkan stok kelapa sawit bisa terobati dengan suasana ini.
“ Tuhan, semoga hari ini aku dapat menjalankan semua tugasku dengan baik.” Itulah secuil doaku sebelum memulai aktivitas.
Hal ini telah terbiasa dalam keluarga kami. Ibu selalu mengajarkan kami berdoa sebelum bekerja. Pantas ibu umur panjang karena doa tidak pernah lepas dari hidupnya. Betapa sucinya ibuku.
Ketika aku lagi asyik menikmati indahnya mentari di pagi hari, tiba-tiba Indra mengajakku ke sebuah rumah dekat perusahan kami. Tanpa berpikir panjang apa yang akan terjadi, aku mengikutinya saja.
Betapa kagetnya diriku ketika melihat seorang gadis tengah duduk sendirian di dalam rumah ini. Aku melihat Indra sangat ramah dengannya. Mungkin Indra telah lama mengenalnya. Barangkali demikian. Gumangku dalam hati.
Aku terus memperhatikan seorang gadis ini. Wajahnya pucak, rambut panjang dan tubuhnya sangat seksi. Aku tidak mau bertanya latar belakang kehidupannya. Aku takut apabila dia tidak suka banyak pertanyaan. Apalagi aku juga tipe lelaki pemalu.
Aku diam saja, biarkan dia dan Indra terus berbicara. Beberapa waktu kemudian, aku dan Indra keluar dari rumahnya. Akan tetapi, sebelum kami keluar dari rumah ini, aku melihat Indra sempat mencium kening seorang gadis ini. Tanpa sengaja aku melihat mereka sangat mesra sekali. Teganya Indra berbuat seperti itu di depanku. Entahlah barangkali mereka dua sudah berpacaran.
Ketika kami sudah berada di luar rumah, aku sempat bertanya kepada Indra tentang seorang gadis tadi. Indra hanya menjawab bahwa gadis itu hanya pemuas nafsu lelaki di tempat kerja ini. Aku sempat kaget mendengar jawabannya. Aku berpikir betapa bodohnya gadis itu. Padahal masih banyak lowongan kerja untuk perempuan di tempat ini.
Tetapi Indra menjelaskan bahwa dia telah bosan dengan pekerjaan berat. Dia ingin menjual dirinya agar bisa hidup di tanah rantau. Dia telah menjadi pelacur.
Aku semakin penasaran dengan cerita Indra. Apakah benar gadis secantik dia tega berbuat seperti itu. Apakah keluarganya sudah mengetahui bahwa anak mereka di tempat rantau telah hidup seperti itu.
Karena sakingnya penasaran itu malamnya aku masuk di dalam rumah seorang gadis ini. Aku ingin berani untuk bertanya kepadanya.
Ketika malam tiba, aku pergi ke rumahnya. Aku melihat Indra duduk bersama karyawan yang lain. Aku tidak ingin memberitahukan kepadanya. Jarak antara rumah perusahan kami dengan rumah seorang gadis ini kira-kira 20 meter. Tanpa berpikir panjang aku pun pergi ke rumahnya.
Dari jauh aku melihat lampu di luar rumahnya sangat terang. Sampai-sampai semut yang masih berjalan di malam hari sempat terlihat. Keadaan di luar rumahnya sangat sepi. Aku melihat seorang lelaki keluar dari rumahnya. Aku sempat berpikir jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh Indra. Penasaran itu membuatku untuk berani masuk ke dalam rumahnya.
“Tok…tok..tok…..” Aku mencoba mengetuk pintunya.
Tidak lama kemudian dia membuka pintu. Aku sempat kaget melihat dirinya begitu cantik. Pakaianya sangat seksi. Matanya yang besar dan indah, seakan adalah jawaban setiap rahasia yang dituangkan malam kepada kegelapan. Keteduhan tempat para pengembara bernaung dari sengatan panas yang paling membakar. Tempat berbaring domba-domba selesai dimandikan pada petang hari.
Sungguh gadis ini sangat cantik sekali. Tidak lama kemudian dia pun mempersilahkan aku untuk duduk di ruangan tamu. Aku melihat antara kamar dan ruang tamu tidak bedanya. Tempat tidur dan meja saling berhimpit.
Aku pun duduk di sebuah kursi kebetulan hanya satu saja kursi di rumahnya. Aku sempat berpikir andaikan ada tamu lebih dari satu orang pasti yang satunya di tempat tidur. Betapa kasihan hidup seorang gadis ini.
“ Engkau sakit ya! Tanyaku padanya. Saat itu pula keheningan malam menjadi pecah ketika aku memulai berbicara.
“ Tidak mas! Aku baik-baik saja.” Jawabnya.
“ Sejak kapan engkau berada di tempat ini.”
“ Aku sudah lama mas. Aku di sini sejak 10 tahun yang lalu.”
“Berarti engkau lebih dahulu dari aku. Aku di sini sejak 5 tahun yang lalu. Tetapi selama ini aku tidak pernah melihat engkau keluar dari rumah .” Aku coba menghidupkan suasana. Seolah-olah kami telah mengenal begitu lama. Ada rasa lucu juga.
“ Iya mas. Aku memang jarang keluar rumah karena aku malu.”
“Kenapa harus malu. Di sini tidak ada lagi rumah. Sebenarnya engkau bekerja di mana.” Aku terus mencoba menanya lebih mendalam tentang hidupnya.
“Aku malu mas . Karena apabila ada orang yang melewati rumahku ini , mereka pasti curiga bahwa aku sedang bersama laki-laki. Sejak aku dipecat oleh majikan dari sebuah perusahan, hidupku tidak jelas lagi. Makanya pekerjaan seperti ini bisa membuatku hidup.” Dia langsung tunduk, mungkin dia merasa malu denganku.
“Mengapa sekarang tidak mau kerja lagi. Masih banyak lowongan kerja yang membutuhkan perempuan seperti dirimu.”
“ Memang banyak lowongan kerja, tetapi aku tidak mau kerja lagi.”
Malam semakin larut. Keheningan di dalam rumah ini begitu sunyi. Suara anjing malam tak terdengar lagi. Aku terus memperhatikan seorang gadis ini. Dia kelihatan mengantuk sekali. Tetapi dia tetap bertahan dengan diriku.
“Mas! Suaranya datar. Aku ini seorang pelacur. Aku hidup seperti ini, karena aku tidak bisa menghidupi diriku dan keluargaku. Aku sangat malu apabila dari kampung memintaku untuk mengirim uang guna membayar uang kuliah adikku. Aku memutuskan menjadi pelacur di tempat ini ketika aku berhenti bekerja. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menikmati hidup seperti ini. Aku ingin ibu selalu tersenyum. Aku ingin ibu selalu bahagia walau kami tidak pernah bertemu.” Lanjutnya dengan nada polos.
“Sudahlah. Tangaku sambil mengelus rambut kepalanya. Aku sudah mengetahui semuanya tentang dirimu ketika kemarin aku dan Indra ke sini. Aku sempat curiga dengan kamu berdua yang bermesra di depanku. Aku berpikir kamu berdua pacaran.” Lanjutku.
Benarlah apa yang dikatakan Indra kemarin. Ternyata dia seorang pelacur di tempat ini. Sungguh kasihan sekali gadis ini.
Waktu berlalu begitu cepat. Secepat detak jarum jam berbunyi nyaring di telingaku. Terik matahari senja menyelinap masuk melalui celah jendela yang aku buka lebar-lebar. Angin berhembus mesra seakan-akan menyapaku. Foto ibu yang selalu terpajang di dinding seakan-akan tertawa kecil melihatku tergeletak lesu di ranjangku yang sudah tidak empuk lagi.
“Ibu semoga engkau baik-baik saja di sana. Aku sangat merindukan kasih sayangmu. Aku sangat merindukan senyummu.” Tok! Tok! Tok!, tiba-tiba Indra menerobos masuk ke dalam kamarku. Aku sempat kaget dengan kedatangannya. Penampilannya sangat rapi, bersih dan harum sekali. Mungkin dia ingin jalan-jalan. Karena tidak biasanya Indra seperti ini.
“ Mas, mau kemana. Kok, rapi sekali sore ini.” Tanyaku padanya.
“ Biasa! Jawabnya singkat. Engkau tidak mau ikut.” Lanjutnya.
“ Ke mana mas!”
“Kalau engkau mau ikut, kita jalan-jalan ke rumah seorang gadis itu. Aku sudah lama tidak menikmati bersamanya.”
“ Aku kurang enak badan mas! Biar aku di rumah saja.” Jawabku.
“Aku tidak ingin merusak kehidupan dari seorang gadis ini. Aku juga tidak ingin merusak diriku sendiri. Aku datang ke sini untuk mencari nafkah demi menghidupi keluarga kami. Aku telah rela meninggalkan keluarga datang untuk mencari kerja. Lebih baik aku menggunakan uang gaji untuk kepentingan dalam keluarga daripada berfoya-foya dengan seorang pelacur.” Gumam dalam hati.
Aku melihat Indra keluar dari kamarku. Barangkali ia pergi ke rumah seorang gadis ini.
*Riko Raden, mahasiswa STFK Ledalero, tinggal di unit St. Rafael- Ledalero.