Oleh: Yohanes Mau
Duka itu datang lagi. Datang dan terus menggerogoti tanah lahirku, Nusa Tenggara Timur. Tanah masih miskin sehingga tidaklah heran kalau masyarakat kecil mencari susu dan madu di tanah rantau, Malaysia. Malaysia menjadi lumbung penyedia lapangan kerja untuk tenaga kerja asing.
Belum lama berselang setelah kabar kematian TKI asal TTS, kini datang lagi kabar duka kematian buruh migran asal Detusoko, Ende.
Berdasarkan berita Koran lokal Harian Umum Flores Pos (Sabtu, 6/03/2019) menurunkan headlinenya; Malaysia Pulangkan Jenazah Pekerja Migran Indonesia (PMI) Asal Detusoko.
Setelah melahap berita ini nurani saya semakin terusik. Ketidaknyamanan itu yang menggetarkan nuraniku untuk menggoreskan coretan sederhana ini.
Ironisnya, Gubernur Laiskodat bersama wakilnya Josep Naesoi sebelum terpilih, telah berkoar-koar untuk mengatasi masalah buruh migran.
Setelah keduanya terpilih, kiriman peti malah terus mengalir ke NTT. Berdasarkan data selama periode Januari-April 2019, sudah terdapat 34 jenazah PMI asal NTT yang dikirim pulang ke daerah asalnya.
Data ini jelas membahasakan bahwa teriakan dan orasi Laiskodat belum terealisasi secara maksimal.
Laiskodat terkesan terus hanyut dalam tidur panjang di kursi takhta yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Entah mengapa? Gubernur NTT ini seperti gemar membangun hidup dalam mimpi, bukan mimpi dalam hidup.
Buktinya, ratap tangis dari rakyat sebagai pemilik kursi jabatan tak didengar dan digubris. Padahal sebelumnya dia pernah berjanji untuk menjemput pulang saudara-saudara kita asal NTT di Malaysia. Tak hanya itu dia mengumbar akan memberi mereka lapangan pekerjaan jika sudah pulang ke NTT.
Faktanya, lagi-lagi peti mati terus mengalir. Duka masih panjang. Apakah ini yang disebut NTT Bangkit? Tidak.
NTT belum bangkit. NTT terus jatuh dan terjatuh lagi karena pemimpinnya masih hanyut dalam lelap panjang. Sedih yang memiluhkan atas duka ini.
Paradoks Demokrasi Elektoral
Ketua STFK Ledalero, Otto Gusti Madung, mengatakan “Persoalan kesejahteraan dapat menjadi salah satu alasan bagi masyarakat sipil untuk menggugat legitimasi demokrasi electoral yang tidak berdampak pada perbaikan kualitas hidup masyarakat,” (Flores Pos, Senin/8/4/2019).
Pernyataan ini membuka wawasan anak-anak negeri untuk bersuara atas realitas hidup yang tidak berbonum commune. Masyarakat kecil diajak untuk menggugat kinerja pemerintah yang terpilih lewat demokrasi.
Realitas membahasakan, para pemimpin maupun calon pemimpin di NTT hanya memberikan janji manis menjelang pesta demokrasi. Rakyat dibuat mabuk dalam buih-buih janji dan harapan semu.
Berhadapan dengan persoalan ini, anak-anak negeri tidak boleh diam. Meski ada pepatah diam itu emas, namun dalam konteks ini, diam berarti mati.
Kini saatnya kita bersuara mengatasnamakan suara-suara minor yang selalu jadi sasaran korban tak terjangkaunya bonum commune secara adil dan merata. Suara-suara minor yang selalu ditipu selama musim kampanye.
Pilpres dan pileg sudah di ambang pintu lagi. 17 April 2019 adalah saat yang paling menentukan untuk mendapat siapa sebenarnya pemimpin lima tahun mendatang di negeri ini.
Dua kandidat (Jokowi-Marut VS Prabowo-Sandi) telah dan sedang melitanikan prestasi dan sukses yang digapainya selama menjadi abdi negeri ini.
Lebih dari itu, keduanya juga memberikan janji-janji manis untuk masa depan Indonesia yang lebih baik dari hari-hari kemarin. Seluruh masyarakat Indonesia entah dari kalangan mana saja hanyut dalam rayuan mereka yang digaungkan lewat orasi-orasi publik.
Bahkan masyarakat kecil kewalahan untuk menentukan pilihan karena mereka sudah ‘kenyang’ dengan aneka tawaran lewat kampanye-kampanye musiman yang menggiurkan.
Kadang jenuh mendengar dan mengikuti berita seputar tentang Pilpres. Belum lagi janji-janji para caleg yang bergentayangan di ruang publik.
Dari semua janji-janji itu belum ada keseriusan dari capres maupun para caleg untuk mengkampanyekan program maupun aspirasinya dalam memberantas perdagangan orang dan masalah ketenagakerjaan di NTT.
Bayangkan saja, angka kematian migran dan perantau dari bula njanuari-April 2019 sudah berjumlah 34 orang. Sebelumnya pada tahun 2018 terdapat 105 kiriman peti mati.
Dari sampel ini jelas terlihat bahwa pemimpin maupun calon pemimpin di negeri ini dan NTT khususnya, masih asyik bersilat lidah. Lidah mereka begitu gampang mengumbar janji tanpa realisasi nyata.
Karena itu, saya mengajak seluruh rakyat NTT untuk bangun dari buaian mimpi semu para politisi itu. Suara tangisan kita nyatanya belum didengar. Inilah saatnya kita menegaskan kembali posisi tawar kita sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat tidak boleh takut menagih janji kampanye para incumbent 5 tahun lalu dan mempertanyakan dengan lantang visi-misi pendatang baru.
Pesta demokrasi lima tahunan ini, harus diisi oleh masalah mendasar yang sedang kita alami.
Demikian pula dialog dan diskusi yang kita bangun bersama caleg dan capres, harus berisikan masalah mendasar sekaligus evaluasi kita atas kinerja mereka.
Jangan biarkan pikiran dan perasaan kita digiring oleh narasi kebencian, hoaks dan janji-janji semu mereka. Posisi tawar kita sesunggunya dinyatakan saat ini.
Inilah saatnya kita memberi pelajaran sekaligus memperingati mereka sebelum mendapat kekuasaan. Sebab jika kuasa sudah mereka dapat, kita mungkin saja didengar, tetapi godaan kekuasaan nyatanya akan lebih menarik dari pada suara-suara minor kita.