Oleh: Riko Raden*
Miris rasanya ketika banyak pemuda di NTT yang seharusnya memiliki cita-cita dan optimisme malah memilih jalan pintas bunuh diri.
Salah satu kasus yang lagi santer adalah berita VoxNtt.com tentang seorang pemuda yang ditemukan tewas gantung diri dalam kamar rumahnya di kompleks PLN, Kelurahan Mataloko, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Kamis (11/04/2019).
Pemuda yang bernama Raimundus Soi (18) tersebut nekat gantung diri karena diduga punya masalah sepele dengan ayahnya, Antonius Deke.
Dipicu Masalah Sepele dengan Ayahnya, Nando Nekat Gantung Diri
Masalah sepele itu berawal dari keponakannya menangis saat sedang bermain bersama korban.
Melihat keponakannya menangis, sang ayah mengingatkan dan menegur korban agar tidak mengganggu cucunya itu. Diduga karena teguran tersebut, korban tersinggung sampai bertengkar dengan ibu kandungnya.
Korban kemudian mendorong ibunya yang sedang sakit stroke hingga terjatuh dari tempat tidur. Korban lantas tidak terima dan langsung masuk kamar untuk mengambil ijasah miliknya, lalu membakar ijazah itu. Ayahnya tidak terima dengan perbuatan korban sehingga marah dan menegurnya kembali.
Merasa tersinggung dengan teguran tersebut, korban menghindar ke kamarnya dan mengambil keputusan bunuh diri.
Diberitakan pula, keluarga Nando tidak sanggup menerima persitiwa yang terjadi pada anak mereka.
Keluarganya tidak habis pikir mengapa anak mereka mengakhiri hidup dengan cara tragis semodel ini. Keluarga Nando tidak henti-hentinya menangis dan meratapi kepergian anak mereka.
Berhadapan dengan persoalan ini, kita lantas bertanya, apa yang bisa dijadikan landasan keluarga untuk mengatasi dan mencegah bunuh diri terus terjadi pada anak atau remaja?
Pertanyaan seperti ini layak digugat mengingat lembaga keluarga sebagai institusi pendidikan primer bagi anak dan remaja.
Keluarga sebenarnya agen sosialisasi dan pendidikan pertama yang diharapkan mampu menciptakan pribadi yang dapat menghargai diri dan orang lain.
Bunuh diri sebenarnya sebuah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri. Keinginan untuk bunuh diri seperti sebuah penyakit.
Mengutip Johan Gottlieb Fichte, sebagaimana ditulis oleh Edo Putra dalam majalah VOX Ledalero, menegaskan bahwa orang membutuhkan keberanian besar untuk mengakhiri hidupnya. Namun, dibutuhkan keberanian yang lebih besar untuk menjalankan hidup dengan segala jatuh bangunnya. Dari kaca mata ini, pelaku bunuh diri adalah seorang pengecut.(Edo Putra, “Bunuh Diri dan Matinya Hati Nurani”, dalam SERI VOX, 63:1, Tahun 2017, hlm.17).
Pelaku kurang mencintai dirinya sendiri. Pelaku menganggap dirinya sebagai barang tak berharga.
Bunuh diri menurut Sigmund Freud dalam teori psikoanalisisnya menyebutnya sebagai bentuk agresi (serangan) terhadap diri sendiri akibat tidak tercapainya keinginan.
Ketidakcapaian keinginan tersebut misalnya cinta yang ditolak atau dikhianati. Bisa juga kasih sayang dari orangtua atau pasangan hidup.
Kita hanya bisa berasumsi, apa yang dilakukan Nando merupakan bagian dari teori-teori yang sudah dijelaskan di atas. Boleh jadi, Nando tidak mendapat pendampingan yang memadai dari keluarga tentang bagaimana seharusnya menghargai nilai-nilai kehidupan. Pada dasarnya kasih sayang atau pendampingan dari keluarga sangat diperlukan.
Maraknya kasus bunuh diri pada anak atau remaja punya kaitan erat dengan buruknya proses pendidikan dalam keluarga.
Dr. Ronald Wiliam Manis yang merupakan seorang peneliti dalam studi bunuh diri atau suicidologi mengatakan bahwa kecenderungan manusia untuk bunuh diri seringkali diasosiasikan dengan adanya perasaan Ionelines atau beban dari keluarga secara intesional.
Keluarga gagal menanamkan nilai-nilai yang baik tentang bagaimana menghargai kehidupan. Bersama dengan itu, keluarga juga tidak menjalankan tugasnya untuk memberikan keamanan secara material dan emosional.
Keluarga semestinya bertugas melindungi anggotanya secara fisik, emosional, dan finansial mulai dari kelahiran hingga kematian.
Setiap anggota keluarga jelas mempunyai hubungan yang intesif lama terhadap satu sama lain. Karena itu, setiap anggota keluarga semestinya terus saling menjaga dan mendukung.
Keluarga adalah salah satu komunitas terkecil dalam sebuah lingkungan yang pada dasarnya mencerminkan sebuah kedekatan moral dan keterkaitan antara individu yang lain.
Di samping berkedudukan sebagai komunitas terkecil, keluarga juga memegang peran sebagai indikator utama dalam membentuk karakter dan sifat serta tingkah laku dari seorang anak.
Jika melihat dari sudut pandang otentik, keluarga menurut undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikategorikan sebagai ajang pendidikan non formal.
Pendidikan paling pertama dan utama bagi seorang anak adalah pendidikan yang dialaminya dalam keluarga. Kenyataannya adalah jalur pendidikan informal ini sendiri cenderung tidak dipahami oleh banyak orang, hal ini terbukti dengan adanya tindakan membebaskan anak untuk bergaul di lingkungannya tanpa adanya kontrol ataupun pengawasan terhadap anak tersebut.
Kebanyakan keluarga cenderung melepaskan tanggungjawabnya sebagai pendidik utama dan memberikan tanggungjawab tersebut kepada sekolah serta menuntut sekolah agar dapat membina serta membentuk karakter seorang anak.
Hal ini menjadi persoalan yang seringkali dilakukan oleh sebagian besar keluarga di Indonesia pada umumnya dan NTT khususnya.
Persoalan selanjutnya ialah bentuk didikan yang diberikan oleh keluarga yang cenderung konvesional atau tradisional yang tidak dapat mengikuti perkembangan zaman juga mempengaruhi karakter dari seorang anak.
Dalam buku Psikologi Perkembangan Anak oleh Maksi Manu, dijelaskan bahwa komunikasi dasar yang dilakukan di lingkungan keluarga menentukan karakter seorang anak.
Kondisi pisikologis seorang anak yang tercermin melalui sifat keras kepala, nakal, cuek dan seterusnya, ditentukan oleh metode didikan yang diterapakan di lingkungan keluarga.
Seorang anak bisa memilki karakter yang keras apabila ia lahir dan berkembang di lingkungan keluarga keras pula. Sifat lembut dan ramah dari seorang anak tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor biologis, namun juga faktor lingkungan dan didikan dari kedua orangtuanya.
Model didikan konvesional yang dimaksud dalam hal ini ialah didikan menggunakan kekerasan fisik maupun kekerasan psikis dengan mengucapakan bahasa-bahasa yang kasar agar seorang anak dapat tunduk pada perintah yang diberikan.
Hal ini dari sudut pandang sosiopsikologis cenderung akan menganggu mentalitas seorang anak, akibatnya ia tidak mampu untuk berinteraksi, bersifat tertutup dan anti sosial, serta terdeskriminasi dari teman sederajat.
Keluarga seharusnya menjadi sebuah motivator kasih sayang kepada seorang anak, bukan seharusnya menjadi sebuah wadah untuk menekan pertumbuhan seorang anak.
Dalam kaitannya dengan peran keluarga dalam pembentukan karakter anak, kita dapat menyimpulkan bahwa keluarga memegang andil yang sangat penting.
Setelah membaca fenomena bunuh diri di atas, saya mengajak setiap keluarga untuk merekonstruksi pola pendidikan anak dalam keluarga. Kehancuran yang sekarang ini banyak terjadi dalam keluarga-keluarga perlu dibenahi kembali.
Keluarga perlu lebih bersungguh-sungguh lagi memberikan pendampingan dan pendidikan terhadap anak dan remaja mereka.
Keluarga menjadi tempat pertama bagi anak untuk belajar makan, cara berjalan dan juga tentang nilai-nilai luhur dalam kehidupan.
Keluarga juga merupakan tempat pertama dan utama bagi anak dalam mempelajari pokok dan pendasaran iman mereka. Bukan tidak mungkin kasus-kasus yang melibatkan anak dan remaja terjadi karena kurang efektifnya pendidikan dalam keluarga.
Kontribusi orangtua tampak dalam aktivitas membantu proses pembentukan kepribadian melalui pendidikan nilai. Orangtua adalah praktis pertama pendidikan yang mengejawantakan misi pembangunan yaitu membangun pribadi-pribadi yang unggul dan tangguh. Dengan cara ini, kemungkinan terjadinya tindakan bunuh diri akan lebih cepat teratasi.
*Penulis adalah Mahasiswa STFK Ledalero