Ende, Vox NTT-Pemilihan umum serentak tahun 2019 yang berasaskan bebas dan rahasia berpotensi gagal bagi pemilih buta huruf atau tuna aksara di pelosok Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Ancaman itu terutama bagi calon legislatif. Selain banyaknya jumlah calon, surat suara yang hanya tercantum nomor, lambang partai dan nama calon menjadi hal yang paling ruwet bagi mereka.
Padahal, mereka juga merupakan salah satu bagian untuk menentukan pemimpin dalam mengambil kebijakan lima tahun mendatang.
Perlakuan dengan tidak boleh didampingi dalam bilik suara, membuat niat mereka keluar dari jeratan kemiskinan pupus.
“Kalau (tidak didampingi) begitu, saya coblos saja. Buka dan coblos,” kata Theresa Wunu (67), warga pelosok perbatasan di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, tidak lama ini.
Theresa memang salah seorang buta huruf di wilayah perbatasan Kabupaten Ende dan Kabupaten Nagekeo.
Dalam pemilu kali ini, Theresa harus menerima lima surat suara. Dua surat suara lengkap nama dan foto yakni pasangan calon presiden-wakil presiden dan calon DPD.
Sedangkan, tiga surat suara lainnya hanya terdapat nomor dan nama yakni calon DPRD Kabupaten Ende, DPRD Provinsi NTT dan DPR RI.
Theresa mengaku sulit untuk menentukan pilihan pada tiga surat suara tersebut. Kesulitan itu karena ia tak dapat membaca.
“Saya tidak bisa membaca, iya karena saya tidak sekolah,” kata Theresa menggunakan bahasa setempat.
Ia berharap dengan pemilu serentak kali ini dapat memberikan perubahan di wilayah perbatasan tersebut terutama akses jalan dan listrik.
Keadaan serupa pun dialami Selus (73) warga setempat yang mengaku tak tamat sekolah rakyat.
Selain tak dapat membaca dan menulis, Selus pun tidak mengenal calon DPR satu pun. Ia memaklumi itu karena dirinya tidak pernah dilibatkan dalam urusan politik.
Selus yang hari-hari menggunakan bahasa daerah itu, pun tak sedikit tertarik dalam berpolitik. Tak heran jika ia tidak mengetahui situasi politik di dapilnya.
“Orang-orang saya tidak kenal. Saya tidak tahu, politik disini bagaimana. Saya hanya bertani saja setiap hari,” katanya.
Dalam menentukan pilihan pada pemilu nanti, Selus bahkan tak ambil pusing. Ia mengaku coblos siapa saja yang ada dalam surat suara.
“Saya tidak sekolah dan sudah lama saya tidak bisa baca. (Pemilu) dulu saja coblos saja,” kata Selus polos.
Ia mengaku, tindakan yang dilakukan itu salah. Kesalahan itu mengakibatkan pembangunan di wilayah setempat tidak berjalan selayaknya.
Namun, baginya, kondisi itu rentan terjadi terutama pada wilayah-wilayah perbatasan. Sehingga menurutnya, perlu ada calon pemimpin yang benar-benar merakyat dan bersosialisasi dengan tanpa memikirkan terlebih dahulu upah atau gaji yang besar.
“Mereka bilang (DPR) gaji besar. Mana ada kami disini diperhatikan, tidak ada,”ucap dia.
Ia mengatakan, jika para calon serius bersosialisasi ke pelosok dan pihak penyelenggara dapat memberikan ruang pendampingan kepada mereka, maka ia akan menentukan hak pilih secara baik.
Jika hal ini tidak dilakukan, maka pilihannya tidak tepat sasaran. Kemiskinan akan terus dialami oleh warga wilayah setempat.
“Kita dari dulu memang begini terus. Kami juga tetap bertani untuk makan setiap hari. Biasa saja, tidak berubah sama sekali,” ujar Selus.
Komisioner Bawaslu Ende, Divisi Pencegahan dan Pengawasan, Rin Ie mengatakan, proses pengawasan di TPS akan dilakukan secara masif. Hal ini dilakukan untuk kepentingan mencegah kecurangan-kecurangan.
Ia mengatakan, terhadap pemilih tuna aksara tidak dilakukan pendampingan oleh petugas maupun kerabat di bilik suara saat pencoblosan.
Pendampingan hanya dilakukan terhadap pemilih penyandang disabilitasi dan pemilih lanjut usia (lansia) yang gangguan fisik.
“Lansia yang ada gangguan fisik misalnya mata rabun dan gangguan fisik lainnya itu didampingi oleh keluarganya dan ditandatangani dalam formulir C3. Yang buta huruf sampai saat ini tidak ada pendampingan,” jelas Rin.
Penulis: Ian Bala
Editor: Ardy Abba