Oleh: Stepanus Makambombu*
Sejak investasi tebu beroperasi di Kabupaten Sumba Timur tahun 2015 hingga saat ini masih menyisahkan perdebatan bahkan sampai pada aksi penolakan di kalangan masyarakat.
Substansi perdebatan di seputar isu apakah tanaman tebu memiliki daya dukung lingkungan atau tidak, terutama dari aspek ketersediaan air?
Pertama, berbagai hasil riset mengonfirmasi bahwa tanaman tebu membutuhkan air yang cukup selama 8 bulan mulai masa pertumbuhan sampai masa panen.
Oleh sebab itu, tanaman ini lebih cocok untuk dibudidayakan di lingkungan ekologi dengan curah hujan antara 1000 – 1300 mm per tahun (Indrawanto, C., dkk, 2010; Jayanti, D.,K.,dkk, 2015).
Karakteristik tanaman tebu ternyata berbanding terbalik dengan lingkungan ekologi di Pulau Sumba, khususnya Sumba Timur yang berekologi sabana.
Curah hujan hanya mencapai lebih kurang 1000 mm per tahun atau berlangsung selama lebih kurang 3 – 4 bulan per tahun (Sumba Timur Dalam Angka, 2017).
Jika hanya mengandalkan pada curah hujan,maka tanaman ini akan mengalami defisit air selama lebih kurang 4 – 5 bulan agar tetap tumbuh dan menghasilkan. Pertanyaan selanjutnya dari mana defisit air dapat dipenuhi?
Kedua, masuknya investasi tebu tidak sekadar terkait dengan persoalan daya dukung lingkungan, tetapi berkaitan erat dengan masalah keberlanjutan sosial masyarakat di wilayah investasi khususnya maupun masyarakat pada umumnya.
Lokasi-lokasi investasi yang selama ini dianggap sebagai lahan kosong, merupakan lahan milik masyarakat yang tergabung dalam komunitas kabihu atau masyarakat hukum adat. Kabihu dikenal sebagai kelembagaan sosial yang hadir secara turun-temurun.
Setiap anggota masyarakat yang berasal dari kabihu yang sama menyakini dan mengidentifikasi dirinya sebagai pribadi yang berasal dari nenek moyang yang sama atau dalam bahasa lokal disebut sebagai marapu (Kapita 1976).
Karena kabihu merupakan bagian masyarakat hukum adat, maka keberadaannya diakui oleh undang-undang sebagaimana masyarakat hukum adat di beberapa daerah di Indonesia (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria).
Meskipun beberapa regulasi nasional mengakui keberadaan masyarakat hukum adat, namun tidak demikian halnya dengan pemerintah daerah (Pemda) Sumba Timur. Hal ini dapat diamati dalam beberapa diskursus antara pemerintah daerah dan kelompok masyarakat yang menamakan diri masyarakat hukum adatdiselimuti kepura-puraan.
Pada satu sisi, Pemda mempertanyakan legalitas hukum masyarakat adat. Pada sisi lain, Pemda tahu bahwa ini merupakan tanggungjawabnya untuk menetapkan status hukum masyarakat adat melalui sebuah peraturan daerah (Perda) sebagaimana perintah undang-undang yang lebih tinggi.Dengan kepura-puraan ini Pemda telah menempatkan posisi masyarakat hukum adat pada wilayah “abu-abu”.
Kompetisi Pemanfaatan Air dan Ketahanan Pangan
Menelusuri proses masuknya investasi tebu di Sumba Timur sejak tahun 2015, ada sebuah janji yang terus dipertanyakan oleh masyarakat.
Perusahaan telah berjanji dihadapan masyarakat untuk tidak mengambil air yang selama ini dimanfaatkan oleh penduduk dilokasi investasi, ternyatajanji dimaksud tidak lebih dari sebuah “pepesan kosong”. Sebab sejak perusahaan tebu beroperasi petani dan masyarakat dilokasi investasi mengalami krisis air.
Mereka mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan irigasi, mandi, minum, mencuci maupun untuk kebutuhan ternak peliharaan. Masyarakat yang tinggal di daerah hilir dari sumber air adalah yang paling merasakan dampak tersebut.
Distribusi air ke sawah yang selama ini diperoleh melalui jaringan irigasi permanen maupun non permanen mulai terganggu.
Perusahaan telah membendung dan mengambil air yang selama ini dialirkan kesaluran irigasi maupun sumber air lainnya untuk kepentingan tanaman perkebunan milik perusahaan. Akibatnya debit air yang masuk ke saluran irigasi menurun.
Bahkan ada indikasi dalam jangka panjang akan terjadi krisis air terutama bagi penduduk di sekitar lokasi disebabkan adanya kompetisi antara petani, warga masyarakat dan perusahaan dalam memanfaatkan air.
Perusahaan menyadari bahwa mereka tidak bisa hanya mengandalkan ketersediaan air pada musim hujan yang hanya berlangsung lebih kurang 3 – 4 bulan per tahun.
Untuk menutupi defisit air, perusahaan memanfaatkan air permukaan yang selama ini menjadi sumber air irigasi bahkan juga melakukan pengemboran untuk mengambil air dalam tanah.
Apa yang dilakukan perusahaan tergolong melanggar ketentuan Undang-Undang (UU) No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah No.20 tahun 2006 tentang Irigasi,karena telah mengganggu pemenuhan kebutuhan air bagi petani dan warga untuk kepentingan perusahaan.
Dampak dari kompetisi pemanfaatan air antara perusahaan dan petani tidak hanya mengganggu siklus tanam atau pemanfaatan lahan pertanian irigasi para petani,maupun kebutuhan pokok manusia dan peternak. Tetapi telah menganggu sistem ketahanan pangan masyarakat terutama di sekitar lokasi investasi khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Jika sebelum perusahaan tebu beroperasi para petani bisa menggarap sawah irigasi minimal dua kali setahun, namun saat ini hanya bisa satu kali saja itupun pada musim hujan. Petani menyadari bahwa perubahan iklim yang sulit diprediksi dalam beberapa tahun terakhir turut berpengaruh terhadap sistem pertanian mereka.
Namun masuknya investasi semakin memperburuk keadaan yang ada. Produksi pertanian yang terus menurun bahkan gagal akan merusak sistem ketahanan masyarakat dalam jangka panjang.
Kehadiran investasi tebu telah menciptakan sebuah paradoks, pada satu sisi ia membuka lapangan kerja baru, namun pada sisi lain warga kehilangan kesempatan mengolah lahan pertanian.
Petani dan masyarakat tidak bisa lagi mengandalkan lahan pertanian untuk memproduksi pangan, demikian halnya peternak yang kehilangan lahan penggembalaan. Bahkan ancaman ini tidak saja mengganggu sistem ketahanan pangan tetapi juga menggangu sistem penghidupan masyarakat (livelihood) sebagai strategiuntuk bertahan hidup di lingkungan ekologi sabana.
Gesekan Sosial
Status lahan wilayah investasi sesungguhnya bukan wilayah kosong, bukan pula tanah tidak bertuan. Melainkan merupakan lahan masyarakat hukum adat yaitu Kabihu.
Meskipun belum berbadan hukum tetapi diakui secara turun temurun. Status hukum tanah ulayat yang masih “abu-abu” menjadi arena perburuan keuntungan (rent seeking) antara perusahaan, elit birokasi dan elit lokal.
Hal ini menciptakan gesekan-gesekan sosial antara kabihu maupun antar anggota keluarga dalam kabihu yang sama.
Gesekan ini disebabkan adanya klaim-klaim kepemilikan terhadap lahan yang akan dijadikan lahan investasi. Sebagian Kabihu ingin menyewakan lahan mereka, sementara ada kabihu yang menolak dengan berbagai alasan. Antara lain, pertama, meskipun lahan tersebut terkesan tidak terurus tetapi sesungguhnya disanalah komunitas mereka memelihara ternak sejak turun-turun temurun yang dilakukan secara ekstensif.
Ketika padang penggembalaan berubah fungsi maka lapangan pekerjaan mereka sebagai bagian dari warisan budaya akan punah (Makambombu, 2016).
Kedua, lahan yang dianggap kosong di antaranya merupakan tempat ritual bagi aliran kepercayaan marapu. Bahkan ada yang sudah rusak akibat eksploitasi perusahaan tebu(Waingapu.com,01/03/2019).
Inilah yang menjadi alasan penolakan warga terhadap kehadiran investasi di wilayah mereka.
Marginalisasi Ekologi Sabana
Beroperasinya investasi tebu melalui berbagai tindakan eksploitasi telah menciptakan ancaman terhadap lingkungan ekologi sabana maupun sosial masyarakat setempat.
Pertanyaannya mengapa hal ini mudah terjadi? Hutan sabana yang ada dalam ekologi sabanamerupakan sebuah ekosistem yang unik ternyata cukup banyak dibahas dalam jurnal-jurnal ilmiah. Yaitu sebuah ekosistem yang dihuni oleh flora dan fauna dengan segala keunikannya (Jurumana, G.,Susila I.W., 2006; Hidayat, O. dan Kayat, 2014; Nugrohowardhani, 2016; Blegur, W.A, dan Johan, T.S. dkk, 2017).
Sayangnya, pengakuan ilmiah terhadap berbagai keunikan ekologi sabana tidak mendapatkan pengakuan praktis (kebijakan) dalam sistem regulasi nasional.
Rezim regulasi setingkat UUseperti UUNomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan maupun UUNomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya hanya mendefinisikanhutan berdasarkan fungsi pokoknya, yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.
Pendefinisian yang bersifat umum tidak cukup spesifik dapat melindungi keberadaan hutan sabana kendatipun sudah termasuk dalam kategori hutan konservasi maupun hutan lindung.
Sementara itu, pengakuan terhadap keunikan ekologi sabana mestinya dapat dilindungi melalui masyarakat hukum adat. Persoalannya Pemda sendiri belum atau tidak melakukan kodifikasi terhadap keberadaan masyarakat hukum adat.
Dengan tidak adanya proteksi terhadap masyarakat hukum adat mengakibatkan status ekologi sabanatidak terjamin keunikannya sebab statusnya sama dengan hutan pada umumnya.
Generalisasi status hutan sabana dengan hutan pada umumnya oleh rezim regulasi yang adatelah memarjinalkan posisi hutan sabana. Tegakan pohon yang membentuk hutan mikro dalam ekologi sabana tidak dianggap sebagai hutan yang memiliki manfaat signifikan, dibandingkan dengan tegakan pohon pada hutan lindung maupun hutan konservasi yang membentuk hutan makro.
Hutan sabana dipandang sebagai padang rumput biasa dan lahan kosong yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya. Persepsi ini yang memudahkan pihak manapun melakukan eksploitasi terhadap ekologi sabana tanpa memahami bahwa di sana hidup kelembagaan sosial yang melindunginya maupun hidup dari lingkungan tersebut.
Untuk mengatasi marginalisasi ekologi sabana dari kerusakan yang lebih parah masyarakat dapat memanfaatkan ruang regulasi yang tersedia. Yaitu, melakukan review kritis terhadap UU kehutanan.
Melalui review kritis regulasi akan ditemukan celah hukum untuk mencegah kerusakan ekologi sabana. Pertama, melakukan advokasi agar definisi hutan sabana sebagai ekologi yang memiliki keunikan tidak disamakan dengan status hukum hutan pada umumnya, melainkan perlu mendapat perlindungan karena keunikannya.
Kedua, DPRD melalui fungsi legislasi dapat memanfaatkan hak inisiatifnya untuk menyusun Perda yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat yang memiliki hutan adat yang berada dalam kawasan ekologi sabana.
Ketiga, celah hukum lain yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melindungi kerusakan ekologi sabana adalah melalui pemerintahan desa. Posisi Desa di era UU No.6 tahun 2014 tentang Desa telah menempat desa sebagai unit pemerintahan terkecil yang dapat mengelola semua potensi yang dimilikinya. Desa melalui kewenangan rekognisi dan subsidiaritas dapat melakukan kodifikasi melalui peraturan desa untuk melindungi ekologi sabana.
*Tentang Penulis. Sejak tahun 2005 – sampai saat ini aktif di bidang riset, advokasi dan pengembangan masyarakat. Menaruh minat pada bidang kebijakan publik dan pelayanan publik. Selain aktif di dunia lembaga swadaya masyarakat (LSM) penulis meluangkan waktunya untuk mengajar di Universitas Kristen Wira Wacana Sumba sebagai dosen tidak tetap.
Tulisan ini merupakan hasil pengamatan penulis terhadap kebijakan pemerintah daerah Sumba Timur dibidang investasi khususnya investasi tebu yang mulai aktif beroperasi sejak tahun 2015 sampai saat ini.