Oleh: Fransiskus X Taolin*
Setiap suku yang berada di Malaka memiliki wilayah hutan masih – masing yang sering disebut sebagai hutan adat. Hutan adat dijaga kelestariannya dengan hukum adat di suku setempat.
Pemamfaatan hutan adat dilakukan secara bersama dan dalam jumlah terbatas untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan adat juga dianggap sebagai wilayah sakral sehingga sering diadakan ritual adat sebagai ungkapan syukur atas berkah yang diberikan oleh hutan.
Kepemilikan dan pemanfaatan hutan yang diatur dengan hukum adat adalah hal yang menjadi identitas masyarakat setempat. Selain itu, masyarakat setempat juga telah mewarisi budaya agraris sehingga lebih mudah dalam penyesuaian dengan hukum adat yang mengatur pemamfaatan hutan.
Identitas dan budaya ini yang kemudian membentuk karakter masyarakat adat yang peduli terhadap hutan dan menjaga keseimbangan tatanan alam.
Namun kemudian, pemerintah mencoba mengintervensi pengolahan hutan dengan mengambil hutan adat sebagai hutan negara.
Pengambil alihan ini membuat hukum adat yang telah berlaku secara turun temurun tak lagi mengikat. Masyarakat mulai melakukan perambahan hutan secara berlebihan. Hal ini berakibat pada rusaknya keseimbangan ekosistem hutan, bencana longsor dan kekeringan di Malaka.
Tahun 2012, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan keputusan MK nomor 35 tahun 2012 tentang kehutanan bahwa hutan adat adalah hutan di dalam wilayah masyarakat adat, dan bukan hutan negara.
Keputusan MK ini lalu ditindaklanjuti dengan Peraturan Presiden Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan.
Kedua dasar hukum ini mencoba mengembalikan pengelolaan hutan berbasis masyarakat, sehingga masyarakat adat mampu berperan dalam melindungi hutan dari pengrusakan dan pemamfaatan secara berlebihan.
Peraturan presiden tersebut juga menunjukkan secara langsung pengakuan pemerintah terhadap hak – hak tradisional masyarakat adat.
Masyarakat adat bisa kembali pengatur pemanfaatan hutan untuk kesejahteraan antar generasi. Pemerintah mencoba membentuk platform politik lingkungan hidup dengan mengedepankan pemanfaatan hutan yang bertanggung jawab melalui kearifan lokal.
Ada tiga hal penting dalam implementasi pengakuan terhadap hutan adat yakni, keputusan MK 35/2012, Perpres 88/2017 dan peraturan daerah.
Namun, hingga saat ini belum ada Peraturan Daerah di Kabupaten Malaka yang mengatur tentang hutan adat.
Perda tentang tanah dan hutan adat adalah prasyarat agar tanah dan hutan masyarakat adat dapat disertifikasi. Jadi, tidak mungkin hutan adat diakui apabila belum diakui oleh pemerintah daerah.
Hutan adat adalah skenario yang paling cocok diterapkan di Kabupaten Malaka melihat masih banyaknya pengakuan suku terhadap wilayah hutan tertentu. Mekanisme hutan adat menghadirkan pengakuan akan eksistensi masyarakat adat di Kabupaten Malaka.
Namun disayangkan bahwa pemerintah daerah dan para legislator belum melihat hal ini sebagai hal yang penting. Peraturan Daerah adalah tanggung jawab pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Para Legislator harus melahirkan Peraturan Daerah hutan adat agar pengelolaan hutan berbasis masyarakat ini dapat segera diterapkan di seluruh Kabupaten Malaka.
Kabupaten Malaka masih kental dengan kearifan hukum – hukum adat yang ditetapkan oleh masing – masing suku. Suku lokal di Kabupaten Malaka secara turun – temurun menguasai satu wilayah tanah dan hutan tertentu, dan hukum adat suku memegang peranan penting dalam memproteksi lahan suku tersebut.
Hal ini karena masih kuatnya pengaruh adat dalam menjalankan mekanisme proteksi terhadap wilayah hutan milik suku untuk kepentingan anggota suku dan keseimbangan tatanan alam.
Mekanisme hukum adat ini dijalankan dengan cara ritual adat, pelarangan penengan pohon tertentu, pelarangan merambah wilayah hutan tertentu dan penempatan situs adat di tengah hutan.
Umumnya para pemangku adat melalui hukum adat yang diwariskan secara turun temurun, mampu menciptakan mekanisme perlindungan yang kuat dan tegas terhadap wilayah hutan milik adat.
Lembaga adat dapat menentukan wilayah mana saja yang bisa dikelola dan wilayah mana saja yang harus tetap dijaga kelestariannya. Misalnya, kawasan hutan di sekitar mata air di sebagian besar Kabupaten Malaka, oleh masyarakat adat disebut sebagai Hutan Pemali, dimana harus dijaga dengan cara dikeramatkan. Hal ini secara tidak langsung, hukum adat telah menjaga ketersediaan air dengan cara menjaga hutan.
Namun, sekarang dapat kita lihat bahwa peran lembaga adat melindungi hutan adat melalui hutan adat telah kehilangan legitimasinya. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya pengakuan Pemerintah setempat atas hutan adat dan hukum adat yang mengatur mengenai hutan tersebut.
Hutan adat saat ini hanya menjadi pengakuan lisan. Selalu saja da sebutan tentang hutan adat, namun tidak ada Peraturan Daerah yang menegaskannya.
Peraturan Daerah ini menjadi sangat penting karena dapat mengidentifikasi masyarakat adat yang ada di Kabupaten Malaka, hukum adat, ritual adat dan wilayah adat baik tanah maupun wilayah hutan.
Melalui peraturan daerah, pemerintah dapat memilah mana saja yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat dan memiliki kekuasaan terhadap wilayah hutan adat tertentu, sehingga tidak ada klaim tanpa dasar.
Dalam hal ini, Peraturan Daerah tersebut harus berangkat dari telaah sejarah yang mendalam, kajian – kajian ilmiah dan komunikasi serta dengar pendapat dengan para tokoh adat.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwasannya Peraturan Daerah adalah produk hukum di daerah yang menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah daerah dan Dewan perwakilan Rakyat daerah.
Pemerintah daerah dan atau Anggota Dewan perwakilan Rakyat Daerah harus bisa membangun sebuah upaya demi terciptanya Peraturan Daerah mengenai Hutan Adat, melihat bahwa verifikasi hutan adat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan bisa terlaksana dengan adanya Peraturan Daerah yang mengakui dan mengurai Masyarakat adat serta wilayah hutan adat setempat.
Peraturan daerah mengenai Masyarakat hukum adat dan hutan adat adalah pintu masuk bagi pengakuan negara terhadap kedaulatan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat.
Peraturan daerah ini serta verifikasi dari KLHK bertujuan untuk memberikan perlindungan hutan kepada masyarfkat hukum adat dan kearifan lokal.
Selain itu juga sebagai upaya pemberdayaan masyarakat adat dengan cara memberikan hutan sebagai wilayah kelola bersama di dalam masyarakat adat. Akhirnya perlindungan serta pemanfaatan hutan adat adalah dari dan untuk masyarakat adat.
Ini bukan hanya menjadi isu yang seksi untuk dijadikan bahan jualan politik. Lebih jauh lagi, ini merupakan bentuk kepedulian terhadap kelestarian lingkungan hidup, menjaga keseimbangan tatanan alam dan pemberdayaan masyarakat lokal Malaka yang masih sangat kental dengan tradisi adat.
Proaktif dalam upaya percepatan Peraturan daerah Masyarakat hukum adat dan hutan adat ini tidak hanya sekedar agar menaikkan popularitas tokoh politik atau membentuk opini masyarakat bahwa Partai Politik yang menjadi kendaraan kita adalah Partai Politik dengan Platform Politik lingkungan hidup.
Akan tetapi, hal ini menjadi satu bentuk kesadaran kita, bahwa kita orang Malaka lahir dan dibesarkan dengan nafas – nafas adat. Segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup kita di Malaka tidak terlepas dari perlindungan Allah, perlindungan Alam dan perlindungan Adat.
Maka, memperjuangkan Peraturan Daerah Masyarakat hukum adat dan hutan adat bukanlah tanggung jawab dan pekerjaan politis, melainkan kerja untuk Allah, Kerja untuk Alam dan Kerja untuk Adat.