(Memperingati Hari Bumi, 22 April)
Oleh: Kristian Emanuel Anggur
Pemerhati Lingkungan
Melihat fenomena anomali perubahan iklim yang terjadi sekarang ini, manusia sepertinya terlambat sadar. Kemajuan teknologi industri dengan berbagai pabriknya telah menciptakan sampah beracun, limbah dan uapan kimia, kepulan gas dan asap yang menyebabkan polusi udara, tanah dan air.
Tak terhitung polusi suara dengan kebisingan dan bunyi ledakan (petasan, bom, deru mesin, musik, dll) yang memicu ketegangan dan stres pada makhluk hidup.
Limbah beracun skala kecil saja yang dibuang ke sungai sudah berdampak serius pada kehancuran biota sungai dan laut, bahkan menyebabkan hilangnya nyawa manusia, apalagi limbah radioaktif dari pabrik nuklir negara-negara maju.
Selain itu, tumpahan minyak dan kebocoran pipa gas telah membunuh habitat hewan darat dan laut. Penggunaan zat kimia toksik seperti pestisida dan herbisida bagi sistem pertanian modern telah merusak unsur hara dan kadar organik pada lapisan tanah. Penggunaan zat kimia juga membuat struktur serta tekstur tanah menjadi amat rentan dan labil.
Begitu pula pembalakan hutan jutaan hektar (deforestasi) demi modernisasi pembangunan dan pengerukan kekayaan alam telah meninggalkan lubang menganga pada tubuh alam.
Belum lagi kepulan asap kendaraan bermotor, cerobong asap pabrik, kebakaran hutan/padang, pengolahan lahan gambut dengan sistem tebas-bakar, dan juga kepulan asap dari dapur-dapur rumah kita yang menyemburkan asap emisi karbon dioksida (CO2) yang berlipatganda ke atmosfer.
Dunia dilanda luapan emisi gas beracun berlebihan sebagai akibat penggunaan bahan bakar dan efek rumah kaca sehingga menyebabkan terjadinya pemanasan global (global warming).
Kandungan emisi karbon dioksida itu telah membentuk lingkaran raksasa “gas beracun”, bak gurita yang mengelilingi bola bumi merusakkan lapisan ozon stratosfer selaku energi pelindung yang menyelimuti bumi dari radiasi Ultra Violet (UV).
Rusaknya lapisan ozon sebagaimana dideteksi oleh satelit NASA menyebabkan suhu terik matahari tak terbendung lagi, secara langsung menaikkan suhu panas bumi yang perlahan-lahan melampaui daya tahan normal makluk hidup. Planet bumi dibakar oleh pemanasan global secara ekstrim.
Dampaknya, terjadilah kekeringan berkepanjangan di seantero jagat, musim hujan pun semakin singkat dengan intensitas sangat drastis. Tampak jelas kelihatan dengan gejala turunnya debit air dan anjloknya hasil panen.
Mata air, sungai dan danau ikut menyusut bahkan mengering. Panasnya suhu telah menyebabkan es pegunungan Himalaya dan daerah kutub terancam gleser (mencair) yang mengakibatkan permukaan laut akan naik, menenggelamkan pulau yang landai, cuaca dan temperatur udara tidak menentu yang mengganggu stabilitas iklim.
Alam pun bereaksi keras, bencana tak tanggung-tanggung membunuh jutaan nyawa manusia dan binatang. Anomali alam seakan berunjukrasa besar-besaran, memprotes ulah tangan jahil manusia yang memperkosa lingkungan.
Alam tidak lagi bersahabat. Berbagai gejala bencana berskala besar terjadi di mana-mana. Habitat mikroorganisme margasatwa, flora dan fauna sebagai bank gen perlahan tergusur dan punah.
Hama-penyakit mengganas, petani resah oleh krisis pangan dan gagal panen, busung lapar merajalela, virus penyakit aneh seperti flu burung, flu tulang, flu babi, kanker kulit, mata katarak, muntaber, TBC, astma, ispa, stunting dan demam berdarah menyiksa banyak orang.
Inikah peringatan alam? Manusia bahkan tak sadar kalau saat ini kita menjadi tersangka utama yang diseret ke ruang sidang pengadilan alam karena keserakahan kita.
Kelangkaan Hutan
Persediaan hutan juga terus menipis, menyebabkan hilangnya penangkal gas beracun, penyaring polusi atau rosot karbon. Alhasil, sisa pembakaran yang berlimpah-limpah, mempertebal emisi karbon dioksida(CO2) ke udara. Karbon dioksida yang dilepaskan akan bersenyawa dengan berbagai jenis zat kimia dari limbah industri atau sampah pabrik, bahan bakar, dan gas.
Pada gilirannya akumulasi persenyawaan itu akan menghasilkan gas beracun yang lebih dahsyat memusnahkan lapisan ozon pada atmosfer. Padahal suhu atmosfer kita andalkan sebagai sumber energi yang mengatur temperatur udara dan faktor penggerak iklim dalam menjaga stabilitas musim bagi planet Bumi.
Hutan juga merupakan rumah aman yang melindungi hayat hidup beranekaragam hayati, entah manusia, tumbuhan maupun spesies hewan dengan jejaring kehidupan lain yang saling beradaptasi, mengikuti interaksi hukum alam sehingga membentuk karakter genetik tertentu karena kecocokannya dengan mata rantai makanan, proses fotosintesis, temperatur udara dan keadaan iklim lingkungannya.
Seperti spesies Komodo, misalnya. Hutan mendukung pengembangbiakan berbagai jenis margasatwa, flora dan fauna dalam tingkat produksi biologis yang sesuai seleksi alam.
Tanpa menunggu pendapat ahli, kita sudah bisa membayangkan bila hutan pemasok oksigen sekaligus penyerap karbon (rosot karbon) musnah, kandungan alam dikuras dan sumber air mengering, tentu luapan emisi carbon dioksida mengepul berlipatganda ke udara.
Lapisan ozon pun akan tipis, energi pengatur suhu di atmosfer bakal tak berfungsi, maka kekuatan radiasi ultraviolet dari cahaya matahari akan langsung membakar bumi, manusia, sungai, danau serta air laut pun turut memuai.
Makluk hidup akan hangus terpanggang, ibarat bara api neraka yang menyala. Neraka yang manusia ciptakan dari keserakahan.
Pada titik ini, saya berpikir bahwa lebih baik berbicara tentang kehancuran ekologi planet bumi, ketimbang berdebat tentang ungkapan Prabowo, bahwa 2030 NKRI akan punah. Kepunahan sesungguhnya sedang perlahan menghancurkan kita dan generasi Bumi.
Perlu Pemahaman Utuh dan Luas
Namun mirisnya, di tengah kondisi yang mengarah pada kehancuran ini, monopoli lahan untuk digundul demi berbagai investasi terus lakukan. Investasi berskala besar yang mengancam lingkungan hidup malah disepelahkan dari diskursus publik.
Pada moment hari Bumi 22 April 2019 ini, kita perlu tingkatkan pemahaman utuh dan luas tentang proses alamiah pembentukan ekologi planet yang terus berevolusi.
Kesadaran akan kondisi Bumi yang kian memburuk ini dinyatakan dengan membiarkan potensi alam terwujud dengan renovasi dan reklamasi lingkungan, preservasi spesies, pembudidayaan tanaman organik serta mengembangkan ekonomi pertanian berkelanjutan yang selaras alam.
Kita juga perlu merevitalisasi nilai-nilai kearifan lokal, penguatan kapasitas lembaga adat, budaya bertani, membimbing anak kita untuk memeliharanya, menjalin relasi dan komunikasi personal yang akrab dengan alam, yakni: air, tanaman-hutan, margasatwa, flora dan fauna dalam satu komunitas ekosistim hayati yang harmonis, asri dan lestari.
Kita juga harus sepakat untuk mendukung kebijakan pemerintah yang mendukung penyelamatan lingkungan dan melawan segala bentuk kebijakan yang mempercepat kehancuran Bumi karena keserakahan investasi. Semoga!
Bahan Bacaan:
- Kajian Lingkungan Hidup-Tinjauan Dari Perspektif Pastoral Sosial, Jakarta: Sekretariat Komisi PSE/APP bekerjasama dengan LDD-KAJ dan Komisi PSE-KWI, 2007.
- Kamuflase Hijau: Membedah Ideologi Lingkungan Perusahaan-Perusahaan Transnasional, Jakarta: Yayasan Obor 1999.
- John Perkins, Membongkar Kejahatan Jaringan Internasional, Jakarta, Ufuk Press, 2009.
- Embu, Eman dan Mirsel, Robert (ed); Gugat! Darah Petani Kopi Manggarai, Maumere: Ledalero 2004.