Borong, Vox NTT-Rambutnya gondrong, sesekali ia kenakan celana sobek. Namun, don’t just book by the cover. Pria kelahiran Warat, 6 November 1977 itu ternyata ketua yayasan lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), di Kampung Warat, Kelurahan Rana Loba, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores, NTT. Yayasan miliknya itu diberi nama PAUD Santa Victoria.
“Pertama alasan saya memberi nama Victoria itu diambil dari nama anak saya yang sulung, kedua Victoria itu kan tanda kemenangan,” ucap pria yang kerab di sapa om Sifi itu saat ditemui VoxNtt.com, Jumat (26/4/2019) malam.
Merantau Selama 15 Tahun
Usai menamatkan pendidikan di SMAK Pancasila Borong tahun 1998, pemilik nama lengkap Safiardus Namal ini lebih memilih merantau ke pulau Dewata.
“Saya memang waktu itu merantau ke Bali, kerjanya ya, sopir free lance, antar-antar tamu dua sampai tiga kali dalam seminggu,” kisahnya.
Kendati demikian, bekerja sebagai seorang pengantar tamu tentu bukanlah hal yang mudah. Kata Om Sifi, bahasa Inggris merupakan kunci utama untuk membuka relasi sekaligus mendapatkan pekerjaan di pulau sejuta turis tersebut.
Ayah empat anak itu mengaku sempat merasa kaku, lantaran tak memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang memadai.
“Awalnya kaku sih, tapi mau bagaimana lagi, apalagi kita rantau di Bali, ya terpkasa bahasa Inggrisnya belajar otodidak,” ucapnya.
Perasaan itu tak berlangsung lama. Geliatnya semakin hari kian tampak. Ia pun kian fasih berbahasa Inggris. Sesekali ia menggunakan bahasa Inggris saat diwawancarai VoxNtt.com.
Setelah 15 tahun berada di perantauan, Om Sifi dan sang istri, Maria Fransiska Ninik, memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Warat pada 2013 silam.
Setibanya di kampung, dengan bekal kemampuan bahasa Inggris yang dimiliki, Om Sifi pun menawarkan jasa privat bagi anak-anak sekolah.
“Ya saya selama 2 tahun privat bahasa Inggris, untuk anak SD dan SMP,” ucapnya.
Selain jadi guru privat, Om Sifi membuka jasa salon seperti sewa gaun pengantin, rias dan dekorasi.
Di tahun 2019, pria 42 tahun itu, berencana akan membangun usaha Butik di Borong.
Bermimpi Bangun PAUD
Setelah 3 tahun lamanya menetap di kampung, niat untuk bangun yayasan bagi pendidikan anak usia dini (PAUD) mulai muncul.
“Alasan saya pingin bangun PAUD karena banyak anak-anak yang main ke rumah khusus balita. Saya pikir mengapa mereka tidak belajar sambil bermain, apalagi di kampung belum ada PAUD” kisahnya.
Kendati demikian, mimpinya tak semudah membalikan telapak tangan. Om Sifi terpaksa harus pergi dari rumah ke rumah untuk meminta dukungan dari para orang tua dan masyarakat.
“Waktu itu memang dor to dor ya, tapi puji Tuhan di akhir tahun 2015 kita dapat murid,” kisahnya.
Atas usahanya itu, PAUD Sta. Victoria mendapatkan peserta didik berjumlah 41 orang dan tenaga pengajar 2 orang. Fasilitas pendukungnya pun masih minim karena hanya mengandalkan rumah dan halaman.
Sementara fasilitas bermain anak-anak, ada yang dibeli pakai uang pribadi dan ada pula yang dibuat sendiri oleh om Sifi.
Ia juga terpaksa harus merogoh kocek untuk memberikan honor pada ketiga guru tesebut.
Berkat usahanya, di awal tahun 2016 pemerintah mengeluarkan SK operasional untuk yayasan itu dan dua pengajarnya diakomodir sebagai guru penerima Bosda kabupaten Manggarai Timur.
Pada tahun 2017 yayasan Sta. Victoria juga mendapat tenaga pengajar baru dari Pemprov NTT.
“Sebelum dapat kontrak Pemprov 2018, saya pakai uang pribadi untuk membiayai guru pak,” ucapnya.
Tak Lagi Diakomodir
Mimpi Om Sifi untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan kini mendapat tantangan baru. Ketiga guru yang mengajar di PAUD tersebut tak lagi diakomodir dalam Bosda dan kontrak propinsi NTT.
Menurut dia, kebijakan pemerintah saat ini hanya mengakomodir guru PAUD yang berstatus negeri.
“Dikotomi antara PAUD negeri dan swasta sangat merugikan kami. Bagi kami kebijakan ini sangat tidak adil,” pungkasnya.
Dia berharap agar pemerintah terus mendukung kemajuan pendidikan di daerah tercinta itu tanpa pilih kasih.
“Mau tidak mau, risiko saya sebagai yayasan, nanti akan ada pertemuan antara yayasan dengan guru,” ujar pria yang juga pekerja sosial di Dinas Sosial Matim itu.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Irvan K