Oleh : Konrad Sandur
Menunggu merupakan pekerjaan yang membosankan. Ia tidak hanya menyita energi fisik untuk bertahan tetapi ia juga menggerus rasa; mengumbar hasrat.
Pikiran menjadi tidak menentu dan bingung dengan keadaan. Jika itu tidak disiasati dengan ketenangan, maka ia akan menjadi sumber malapetaka dalam hidup. Satu-satunya jalan menantang situasi adalah diam dan tenang.
Diam tidak berarti kalah. Begitupun dengan tenang tidak berarti hancur. Kekalahan dan kehancuran hanyalah kreasi akal. Ia belum tentu ada dalam kenyataan. Ia bisa saja terjadi dan sebaliknya pun ia tidak dapat terjadi. Keduanya merupakan kemungkinan-kemungkinan.
Menang dan kalah adalah hasil racikan berpikir dan itu mungkin. Kesalahan dalam mengatur cara berpikir dapat menghasilkan stres, marah, dendam dan bahkan bunuh diri. Sebaliknya kemampuan untuk mengatur cara berpikir dapat membawa kedamaian dan kesuksesan. (Reza A.A Wattimena, 2016: 12)
Ciri kecerdasan emosional adalah diam dan tenang. Jika kita membandingkannya dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional:merupakan syarat keberhasilan yang paling besar dalam hidup (bdk Daniel Goelman, 1995).
Kecerdasan emosional seorang ayah, misalnya, tampak pada sejauh mana ia bersabar dalam mengajarkan anaknya yang berulang kali menanyakan sesuatu hal yang sama. Sehingga anaknya dapat mengetahui sesuatu hal yang ditanyakannya. Hasil akhirnya ayah menjadi senang dan bahagia melihat anaknya bertumbuh dan berkembang secara cerdas.
Dalam kehidupan bersama, menunggu berkorelasi dengan sikap diam dan tenang. Akhir-akhir ini, kita disibukan dengan hiruk pikuk klaim-klaim kemenangan kubu 01 dan 02 dalam kontestasi politik RI 1.
Hal yang sama terjadi di daerah, banyak ucapan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar dan berefouria genit mengklaim kemenangan para kandidat wakil rakyat pusat, provinsi dan daerah. Tampaknya semuanya berciri rasionalistik. Klaim-kalim tersebut bersumber dari kreasi akal budi, sehingga semua orang seakan terseret dalam badai kemenangan dalam idea.
Sejatinya kemenangan itu berciri nyata. Ia mengikuti alur main dan koridor tertentu. Kita dapat mengatakannya bahwa klaim kemenangan para kontestan politik akhir-akhir ini merupakan idea yang menggantung dalam batok kepala. Ia belum berwujud telur ; kemenangan riil berdasarkan hitungan penyelenggara pemilu.
Hasilnya adalah banyak keributan terjadi di sana- sini, bahkan seakan-akan dipaksakan kemenangan yang berciri ideal tersebut masuk pada ranah empirik. Justru pada tataran ini, gonjang-ganjing perdebatan semakin menjadi-jadi dan bahkan bisa berujung pada “chaos”.
Bisakah kita menunggu? Tentu ini bukan pekerjaan mudah bagi setiap orang, apalagi bagi para kontestan politik. Hari-hari diwarnai dengan pengandaian-pengandaian tentang kemenangan.
Tentu saja ini dimaklumi, sebab mereka pun mempunyai basis berpikir, misalkan, berdasarkan data-data yang dikumpulkan oleh tim-tim kemenangannya. Hal ini tentu baik sebagai cara menjalankan roda demokrasi. Semua orang boleh berpartisipasi melalui cara-caranya masing-masing. Termasuk didalamnya mengawal suara agar tidak tercecer di jejalanan; tidak hilang di jalan menuju ruangan penyelenggara pemilu. Namun tetaplah diam dan tenang.
Menunggu sampai KPU mengetok palu pada 22 Mei 2019 adalah ciri orang yang tidak hanya berintelek tetapi cerdas menyiasati kondisi biar aman dan terkendali. Masyarakat pun tidak diseret pada balutan hasutan demi kepentingan semata. Menunggu memang berat, tetapi biasakan diri untuk diam dan tenang jauh lebih mulia dalam merawat demokrasi.
Kesuksesan tidak hanya mengandalkan kecerdasan intelektual dengan menggenjot otak untuk berimajinasi melampaui batas ruang dan waktu yang telah digariskan bersama dalam aturan. Menunggu: diam dan tenang menunjukkan kecerdasan emosional setiap orang, termasuk kontestan politik untuk berlangkah dalam kenyataan: baik menang maupun kalah. Menunggu berarti juga siap menerima kekelahan dan kemenangan. Bukankah begitu?