Oleh: Ichan Pryatno*
Demokrasi yang diamini sebagai sistem politik yang menjanjikan tetap saja dihadapkan pada faktum memilukan. Pelbagai kekacauan dan polemik pembajakan selalu saja berkelindan dalam domain demokrasi, salah satunya terkait perkara hoaks.
Hoaks dan Duka Demokrasi
Tak dapat dimungkiri, hoaks merupakan persoalan baru dalam tubuh demokrasi. Oleh karena menjadi problem baru, istilah hoaks itu sendiri juga tidak banyak dikenal dalam lingkup masyarakat.
Karena itu, pada bagian ini ada baiknya penulis menampilkan pengertian hoaks itu sendiri. Menurut kamus Merriem Webster, hoax (hoaks) dapat dipahami sebagai sebuah perbuatan yang bertujuan mengelabui atau membohongi dan menjadikan sesuatu sebagai kebenaran umum melalui fabrikasi dan kebohongan yang disengaja (Andi Achdian, “Tabiat Apakah?: Ketakutan Besar Krisis dan Hoax”, dalam indoprogress.com, diakses pada 29/04/2019).
Karena itu, hoaks sejatinya merupakan tindakan mempreteli dan menyebarkan informasi yang memuat konten-konten kebohongan untuk dijadikan sebagai pegangan bersama. Kebohongan disulap sedemikian rupa agar menjadi kebenaran yang diakui umum dalam ruang publik.
Kini persoalan hoaks menjadi problem yang sangat fenomenal di Indonesia. Hampir pasti de facto, publik dapat menjumpai sejumlah kasus kebohongan diantaranya kasus beredaranya video orasi Ahok yang sudah dipreteli dengan mantap oleh salah seorang pengguna akun media sosial bernama Buni Yani, kasus Siti Sundari Daranila yang menyebarkan konten hoaks dengan menyatakan istri Hadi Tjahjanto merupakan etnis Tionghoa, isu pemukulan yang menimpa Ratna Sarumpaet dan hoaks kontainer Surat tercoblos.
Untuk konteks terkini, isu hoaks yang beredar cukup banyak menimpa lembaga KPU. Menurut ketua KPU, Arief Budiman, saat ini banyak hoaks yang ditunjukan ke lembaga KPU.
Beberapa kabar bohong semakin menyebar, semisal kabar server KPU yang diretas atau diatur untuk memenangkan salah satu calon (Tempo, 20/April/2019).
Dari serangkaian peristiwa yang terjadi, sesungguhnya isu hoaks yang beredar dalam ruang publik hampir pasti dilatari kepentingan politis.
Dalam beberapa kasus, isu hoaks cenderung dijadikan sebagai amunisi handal untuk memantapkan kepentingan para elite politik. Kabar kebohongan yang diwartakan dalam media sosial sejatinya menjadi alat potensial bagi para penikmat untuk mendapatkan kuasa dalam demokrasi.
Kasus hoaks yang terjadi dalam beberapa kali kontestasi elektoral menjadi bukti konkret bagaimana hoaks dijadikan sebagai taktik mematikan serentak menjanjikan dengan menyebarkan serangkaian isu sensitif berbau fitnah dengan tujuan meraup suara bagi kubu tertentu.
Karena itu, betapa anehnya politik supaya kekuasaan tidak diutak-atik yang lain, seksi propaganda diberi tugas memanipulasi kenyataan dengan cara canggih agar khayalak lupa (amnesia).
Fakta (sejarah) disembunyikan bahkan dihapus untuk meraih atau pun mempertahankan citra yang telah dibangun penuh dengan kebersamaan (Alfian, 2016:33).
kebohongan yang berserakan de facto kerapkali mendatangkan keresahan yang dahsyat dalam ruang publik. Pasalnya, kabar kebohongan yang beredar memuat serangkaian fitnah, makian, celaan, kebenciaan, provokasi dan propaganda.
Kabar kebohongan yang beredar membuat pihak lain distigma dan didiskreditkan. Selain itu, beredarnya konten-konten kebohongan juga menimbulkan dashyatnya polarisasi beserta konflik beruntun dalam ruang demokrasi.
Alhasil, ruang publik yang sejatinya mengakomodasi rasionalitas dan kebersamaan kini disesaki beragam perkelahian dan peperangan yang menyingkirkan kekuatan nalar.
Krisis Imajinasi
Pada abad ke-20, muncul salah seorang filsuf perempuan bernama Hannah Arendt dengan konsep hebatnya tentang keberpikiran.
Dalam karyanya Eichmann in Jerusalem (1963), Arendt menegaskan konsep keberpikiran itu lahir dari pengamatan dan refleksi atas Adolf Eichmann yang merupakan tokoh kunci dalam pembantaian di Jerman selama perang dunia II.
Dengan melihat situasi Eichman saat pertanggungjawabannya dalam pengadilan di Yerusalem, Arendt menyimpulkan hal yang melatari tindakan Eichmann untuk membunuh jutaan orang Yahudi ialah ketidakmampuannya untuk berpikir.
Ketidaan berpikir menyebabkan Eichmann mengalami kepatuhan yang buta dan menjadi budak kepentingan Hitler. Selain ketidakmampuan berpikir kritis demikian, Eichmann juga dianggap tidak memiliki imaginasi, sebuah kemampuan untuk merefleksikan dan merenungkan tindakan, serta membayangkan akibat-akibat dari tindakan tertentu (Koten, 2018:162).
Ketidaan imajinasi dan ketidakmampuan berpikir membuat Eichmann gagal menilai keadaan yang terjadi beserta konsekuensi konkret yang ditimbulkan. Ia tidak bisa merefleksikan apa sesungguhnya yang dilakukan.
Ia layaknya menjadi pribadi yang dangkal, yang tidak mampu mengkritisi tindakan yang dibuat dan tidak tahu apa yang mesti dibuat untuk mengatasi keadaan.
Ketidakmampuan untuk berpikir dan kehampaan imajinasi yang dialami juga berujung pada tumpulnya kesadaran nurani dan kesediaanya mengakui kezaliman yang dibuat. Ia sepertinya bersikap biasa saja layaknya pribadi yang tidak melakukan kesalahan apapun. Matinya keberpikiran melumpuhkan nurani Eichmann guna mempertanggungjawabkan keberdosaan yang dibuat.
Sesungguhnya apa yang terjadi pada Eichmann kembali dialami dalam lingkup peristiwa hoaks yang membiak belakangan ini. Rentetan persoalan hoaks yang terjadi sesungguhnya muncul karena ketiadaan berpikir yang dialami sekelompok orang yang memiliki kuasa mewartakan kebohongan.
Karena itu, figure Eichmann yang mengalami krisis imajinasi dan kedangkalan berpikir nyatanya kembali hadir dan bersemi dalam insan-insan yang gemar memproduksi, mempreteli, dan mewartkan kebohongan.
Matinya kesadaran berpikir dan erosi imajinasi membuat mereka tidak sanggup menilai tindakan hoaks beserta efek fatalistik yang ditimbulkan.
Layaknya Eichmann, mereka juga tidak memiliki rasa malu, dan karenanya memperkeruh demokrasi melalui sejumlah karya kebohongan yang dapat menciptakan kegaduhan dan peperangan.
Selain itu, situasi Eichmann juga turut dialami mereka yang tidak memiliki kemampuan mengkritisi beragam konten kebohongan yang beredar dalam ruang publik.
Ketiadan usaha berpikir menyanggupkan mereka untuk mengkonsumsi beragam informasi murahan yang bereda. Mereka tidak lagi bersikap kritis dalam membaca informasi yang bertebaran dan alhasil sangat mudah dikendalikan dan diprovokasi.
Layaknya massa mengambang, mereka sangat gampang dihantar pada usaha saling menghujat, memfitnaah, mencela, berkonflik, dan berkelahi.
Pedagogi Kritis sebagai Amunisi
Hemat penulis, persoalan hoaks sesungguhnya dapat diminimalisir melalui serangkaian usaha penguatan sikap kritis, salah satunya dengan mengedepankan konsep pedagogi kritis.
Menurut Henry Girioux, keutamaan konsep pedagogi kritisnya terletak pada usaha kritik. Baginya, kritik adalah sebuah penyelidikan menyeluruh terhadap sebuah fenomena sosial, termasuk budaya, institusi, ideologi, dan pola hubungan yang terjadi (Wattimena, 2018).
Konsep pedagogi kritis seyogianya menjadi pisau baru agar setiap orang secara penuh melakukan kritik atas beragam situasi tak karuhan dalam demokrasi. Dengan demikian konsep pedagogi kritis justru dilihat sangat membantu dalam menumbuhkan sikap kritis dan sikap reflektif atas persoalan hoaks selama ini.
Sesungguhnya konsep pedagogi kritis dapat tercapai mengandaikan pertama, pendidikan mesti mengagungkan kesetaraan dan kebebasan setiap pribadi. Dan pendidikan juga harus murni dari beragam kepentingan parsial kelompok tertentu.
Kedua, sekolah sebagai ladang pendidikan mesti mendorong anak untuk berpikir kritis dengan penuh tanggung jawab. Situasi kelas tidak boleh menjadikan anak sebagai penerima passif beragam materi yang diajarkan. Ruang kelas mesti menjadi ladang diskursus yang memantapkan sikap kritis.
Ketiga, pengetahuan tidak boleh dijadikan sebagai sebuah kepastian yang diperoleh melalui usaha menghafal. Namun, pengetahuan itu mesti diolah dan dipertanyakan sebelum menjadi kepercayaan bersama.
Dengan pola ini, setiap insan didik didorong untuk selalu terlibat aktif mempertanyakan beragam informasi yang beredar di tengah maraknya isu hoaks.
Pedagogi kritis mestinya disambut dengan baik karena ia merupakan amunisi handal yang dapat membangkitan kegairahan berpikir. Pola yang dibuat dalam ladang pedagogi kritis sesungguhnya dapat menata sikap kritis bersama guna mempertanyakan dan merefleksikan persoalan hoaks, dan pada akhirnya memantapkan demokrasi.
*Penulis Alumnus Seminari Kisol, Mahasiswa STFK Ledalero