Ruteng, Vox NTT-Puluhan siswa-siswi SMPK St. Fransiskus Xaverius Ruteng yang tergabung dalam Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) mengadakan kunjungan ke panti asuhan Wae Peca pada, Minggu, 5 Mei 2019 lalu.
Kegiatan ini merupakan program rutin anggota KIR pada setiap bulan Mei dan Oktober. Kunjungan diikuti oleh semua anggota KIR berjumlah 60 orang, pembina 3 orang, dan pastor Ferdy Usman, Pr selaku kepala sekolah.
Salah satu agenda utamanya adalah memupuk rasa kemanusiaan dan kebersamaan dalam diri para siswa.
“Kami ingin menghibur sahabat-sahabat di Panti asuhan dengan berbagai acara antara lain drama singkat berjudul senjaku milikmu (Sutradara Lulu, siswa kelas VII), lawak, puisi tentang kasih sayang, cerpen, permainan perkenalan dan nyanyi”, jelas Karin Suryani selaku Ketua kelompok minat KIR.
Kegiatan ini berlangsung selama kurang lebih tiga jam. Selain membawakan acara hiburan, anggota KIR juga membawa kado untuk anak-anak panti berupa pakaian, sabun mandi cuci, sepatu dan makan ringan. Kado tersebut disumbangkan oleh seluruh siswa SMPK St. Fransiskus Ruteng.
“Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan sosial anak didik, melatih mereka untuk saling memberi kepada mereka yang sangat membutuhkan, menghibur mereka yang susah dan mencintai mereka yang kurang mendapat kasih sayang,” kata Fr. Arwin Nasrani selaku Pembina KIR.
Di awal kegiatan, anggota KIR diterima dengan sangat ramah oleh bapa Pater Yakobus Modo selaku pembina di panti asuhan tersebut.
“Kami merasa bangga dengan kunjungan dari SMPK Fransiskus Ruteng. Inilah pendidikan yang sesungguhnya. Kegiatan seperti ini merupakan tujuan utama dari kurikulum K13 yang kita dapat di sekolah,” sambut Pater Yakobus.
Tentang Panti Wae Peca
Dalam sambutan singkatnya itu, beliau juga memaparkan beberapa alasan di balik berdirinya panti asuhan tersebut.
Panti ini dibangun oleh seorang pastor yang bernama pater Karolus Kale Bale. Pastor tersebut meninggal pada tahun 1989.
Motivasi awal dia membangun rumah panti berangkat dari keprihatinannya terhadap realitas sosial saat itu di mana begitu banyak anak diterlantarkan akibat kematian ibu kandungnya saat kelahiran.
Menurut pengakuan Pater Yakobus, kematian ibu disebabkan oleh kepercayaan masyarakat akan para dukun bersalin.
“Waktu itu, dukun yang membantu bersalin kadang tidak memperhatikan kebersihan, yang penting dia bisa membantu. Pulang dari kebun, kalau mau tolong orang bersalin tidak cuci tangan terlebih dahulu”, ujar Pater Yakobus yang hidup pada masa itu.
Kedua, beliau prihatin dengan kebersihan lingkungan kampung.
“Kala itu, kalau kita berjalan di kampung- kampung, kita mesti berhati-hati melangkahkan kaki karena terdapat banyak kotoran hewan yang berserakan, babi berkeliaran di tengah kampung”, tandas Pater Yakobus.
Dalam perjalanan waktu, muncullah anak dari keluarga miskin dan terlantar. Kategori ini diterima berdasarkan surat pengantar dari romo dan kepala desa.
Ketiga adalah anak-anak dari akibat pergaulan bebas. Pater Yakobus mengatakan, zaman sekarang banyak anak muda yang terjerumus ke dalam pergaulan bebas, dan melahirkan anak mereka tetapi tidak ingin membesarkan anak tersebut. Mereka lebih memilih menitipkannya pada panti asuhan.
Yang terakhir, anak-anak yang berada di panti asuhan itu adalah anak-anak yang berasal dari keluarga yang bercerai. Setelah bercerai, orang tua lebih memilih panti asuhan untuk membesarkan anak mereka.
Meskipun demikian, anak-anak panti tetap merasakan kasih sayang dari Pembina dan pengasuh, layaknya kasih sayang dari orang tua mereka.
Anak-anak yang tinggal di panti berasal dari latang belakang yang berbeda, semuanya tetap dididik dengan pola kekeluargaan, agar mereka masih bisa menikmati kehidupan dalam keluarga.
Untuk diketahui saja, jumlah anak panti sampai sekarang adalah 31 orang. Seluruh biaya kehidupan di panti ditanggung oleh Panti asuhan.
Kontributor : Ijen Carolina
Editor: Irvan K