Ruteng, Vox NTT- Praktisi psikologi, Albina Redempta Umen menjelaskan, salah satu pemicu orang melakukan bunuh diri karena pemberitaan media massa yang massif terhadap kasus tersebut, tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya.
Menurut Albina, dengan pemberitaan media massa yang massif dan cendrung subyektif, publik akhirnya belajar bahwa salah satu penyelesaian masalah dalam kehidupan yakni lewat bunuh diri.
Analisis tersebut, kata dia, berdasarkan riset yang dilakukan Yayasan Mariamoe Peduli (YMP) terkait maraknya kasus bunuh diri di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat, dan Manggarai Timur), Provinsi NTT.
Direktur YMP itu mengatakan, pemberitaan media massa sebaiknya lebih beorientasi kepada edukasi publik. Hal itu bisa dilakukan dengan menghadirkan pendapat dan pikiran para pakar terkait pemecahan masalah kehidupan.
Para pakar dalam pemberitaan bisa menghadirkan analisa ilmiah terhadap kasus bunuh diri, bukan justru membedah kasus bahkan memaparkan detail kronologis kejadian, cara bunuh diri, alasan dan juga berisi interpretasi terhadap kejadian secara subyektif.
“Kami berkeyakinan bahwa pelaku bunuh diri pasti pernah mendengar, membaca tentang pemberitaan bunuh diri. Hal ini terlihat dari “cara” bunuh diri yang dipilih. Bisa jadi semacam virus yang memasuki pikiran bawa sadar pembaca dan merumuskan bunuh diri sebagai mekanisme penyelesain masalah yang paling cepat,” jelas Albina kepada VoxNtt.com, Kamis (09/05/2019).
Albina menambahkan, banyak orang menanggapi biasa saja terhadap pemberitaan kasus bunuh diri. Pemberitaan tersebut dianggap menarik. Padahal berita menarik itu secara tidak sadar sedang menabur virus kematian.
“Saya yakin sekali setiap anak yang memilih bunuh diri kemungkinan (sangat) besar sebelumnya atau beberapa hari atau minggu sebelumnya dia mendengar cerita orang bunuh diri,” paparnya.
“Ada juga yang berpikir untuk menghukum orang yang dia anggap akan sangat kehilangan dan menyesal kalau dia bunuh diri,” sambung Albina.
Tak hanya karena pemberitaan media massa yang cendrung subyektif sebagai pemicu orang bunuh diri. Riset yang dilakukan YMP sejak awal tahun 2018 lalu, kata Albina, terdapat penyebab lain di balik peristiwa menakutkan tersebut.
Ia mengungkapkan, paling jelas terlihat pada ringkihnya ketahanan psikologis anak-anak dan remaja yang menjadi responden riset ini.
Ketahanan psikologis dari masa ke masa cenderung mengurang. Stressor seharusnya hanya menyentuh level rendah pada orang umumnya. Tetapi pada kelompok anak ketahanan psikologis rendah. Hal ini bisa menjadi problem yang sangat pelik dan berujung pada jalan buntu dengan mengakhiri hidup.
Pemicu lain orang melakukan bunuh diri berdasarkan analisis YMP adalah mekanisme copying yang keliru pada kasus-kasus bunuh diri terdahulu.
Dari sekian analisis pemicu orang melakukan bunuh diri tersebut, Albina menyebut pola asuh menjadi pemicu utama.
Ia menjelaskan, pola asuh yang mengabaikan adversity quotient atau kecerdasan mengelola masalah. Orangtua cenderung membesarkan anak dengan pola mengambil alih semua peran anak dan tidak membiarkan anak mengalami kegagalan.
Anak-anak dididik hanya menjadi pemenang dan tidak menyiapkan diri untuk kalah. Itu yang membuat ketahanan psikologis anak-anak saat ini menjadi sangat rendah. Mereka sulit menerima kegagalan.
“Turbulensi sosial yang sangat cepat juga membuat anak-anak yang tidak kuat tersingkir dari pergualatan hidup dan cenderung kehilangan harapan. Dalam istilah kami, banyak anak-anak yang tersingkir atau tercecer dari frenzied social competition,” papar Albina.
Penulis: Ardy Abba