Oleh: Marsel Robot
Dosen FKIP, Kepala Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata Undana
Mendekati hari pengumuman pemenang pemilihan presiden 22 Mei 2019, teaterikal perpolitikan di Indonesia digembur hingga begitu hitam dan kental dengan suasana horor. Periode pendek, 17 April hingga 22 Mei 2019 setidaknya mempersembahkan beberapa adegan satire dan jenaka.
Adegan pertama, pengumuman quick count (hitung cepat) 17 April 2019, beberapa jam rakyat Indonesia terendam dalam suasana deg-degan menunggu pengumuman hitung cepat. Sebab, dalam pengalaman pilpres-pilpres sebelumnya, hasil quick count tidak berbeda jauh dengan perhitungan manual (riil) Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Hasil hitung cepat semua lembaga survey menunjukkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf. Adegan kecil ini bagai “kilat politik” yang menyambar jidat para pendukung Prabowo-Sandi. Tokoh politik garis keras kesurupan, serta-merta menuduh lembaga survey itu abal-abal, terkesan oposan atau pesanan pemerintah. KPU dan Bawaslu dituduh sebagai antek pemerintah.
Keadaan itu membiakkan hujatan, hinaan, tuduhan, hasutan hingga ancaman people power (gerakan rakyat). Dikiranya kebebasan sekadar boleh memaki-maki , memfitnah, menghina, menghasut orang untuk melakukan tindakan inkonstitusional.
Adegan kedua, para pemerotes dengan mulut beracun dan kata berbisa satu-satu ditangkap polisi. Eggy Sudjana tersangka makar. Jendral tua yang tak tahan kesepian, Kivlan Zen mulai diinterogasi, dan Opa Amien Rais yang menjadi sumbu konfor people power, terlihat kerdil, dilirik oleh pihak kepolisian, Habib Rizieq mulai hemat berbicara.
Adegan ketiga, keadaan mulai lebam, terasa ada galau dalam kesunyian. Satu-satu tersedot oleh kekuatan bisu Si Jokowi. Demokrat yang memang dikenal oportunis mulai mengambil jarak dengan koalisi Prabowo-Sandiaga, PAN mulai mencari sudut remang untuk berbisik secara internal, apa masih mempertahankan kesetiaan dengan koalisi Prabowo-Sandi.
PKS sedang gunda-gulana ditinggalkan teman seperjuangan. Orkestra politik seakan menemui sad ending (berakhir dengan kesedihan). Ketahuilah, erotisme politik terletak pada “datang dan pergi” secara dialektis, menyakitkan sekaligus membahagiakan. Dan memang tiada yang kekal di bawah matahari.
Melawan Nostalgia
Hari-hari ini Prabowo bertempur melawan nostalgia. Sejenak kita memasuki lembar-lembar masa silam Prabowo Subianto bagai berjumpa dengan hamparan keberhasilan. Apa yang kurang dari Jenderal yang tegas, tegar, dan kadang mudah luluh ini? Karier di dunia Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) menjulang tinggi.
Begitu banyak bintang yang digalangnya untuk disematkan di bahunya. Ia lahir dari begawan ekonom Soemitro dan saudara-saudaranya pada suskses. Dalam bidang bisnis, ia tergolong berhasil. Sayap bisnisnya mengepak hingga Yordania. Ia berdagang minyak di Asia Tengah.
Dalam bidang politik, Ia mempunyai Partai Gerindra yang cukup banyak jemaat atau penganutnya. Bahkan sementara menduduki posisi kedua setelah PDIP. Spirit nasionalisme dalam diri Prabowo terkandung 1000 karat. Prabowo tampil eksentrik dalam teater politik, tergolong pemain berkarakter.
Bayangkan, musuhnya dahulu pernah diburu, malah direkrut sebagai teman perjuangannya di partai menjadi juru bicara paling handal seperti Fadli Zon, Pius Lustrilanang. Ia pernah diburu Amien Rais, kini Pak Rais menjadi arsitektur pemikiran people power dan penasihat Prabowo.
Nostalgia yang terasa tengik dan menyakitkan terus ditempuri Prabowo Subyanto ialah pengalaman mencalonkan diri sebagai presiden Republik Indonesia. Direken empat kali (2004, 2009, 2014, 2019), ia mencalonkan diri baik sebagai wakil maupun sebagai calon presiden. Namun jenderal yang berpose mirip Soekarno menuai kegagalan.
Ia seakan calon untuk mengalami kegagalan, persis nasib burung audan yang terlahir di tepi jurang dan hanya mengenal kesedihan. Inilah nostalgia politik paling kejam dalam album hidup Prabowo.
Karena itu, pemilihan presiden tahun 2019 ini, ia tidak mau kalah. Apapun keadaannya tidak memilih kalah, losing is not an option, sebuah pernyataan pendek pernah dilontarkan Prabowo pada pencalonannya sejak tahun 2014 lalu (The Straits Times, 6 Juni 2014). Pengalaman pahit itu membuat ia dan kubunya begitu militan berjuang dengan berbagai cara. Kelompok Prabowo merebut kekuasaan dengan cara meribut. .
Masih ada pula nostalgia lain yang perlu ditempurinya ialah lingkungan sosial politik yang sekterian. Padahal, Prabowo dibesarkan dalam alam sejarah yang menuntut kesadaran nasionalisme yang berkualitas.
Ia seorang mantan panglima yang loyalitasnya kepada negara sangat teruji, dan tentu tak mengenal sekterianisme. Akan tetapi, sejak pemilihan presiden tahun 2014, ia masuk dalam kerangkengan Islam garis keras. Ia pernah ditabiskan sebagai panglima Umat Islam.
Prabowo terus-menerus diguyur paham-paham sekterian yang hitam putih. Belakangan, gaya berpidatonya tak berbeda dengan agitasi Habib Rizieq, marah-marah, cenderung menyerang, dan menyiram massa dengan opini ekstrim. Ia terseret, tepatnya diseret oleh sebuah konteks (sekterianisme).
Ia lebih memilih jalan turun ke jalan untuk melakukan gerakan people power dari pada ke Bawaslu, KPU atau Mahkamah Konstitusi. Cara kecil yang justru mempertegas kekalahannya.
Cara itu adalah cara lain untuk pasrah menyerahkan diri kepada rakyat atas kegagalannya. Padahal, rakyat sudah pulang rumah, pesta kecil itu sudah selesai. Rakyat hanya membutuhkan ketenangan tidur malam biar menikmati kejayaan negrinya dalam mimpi.
Jika konstitusi, KPU, Bawaslu, Mahkamah Konstitusi atau semua lembaga negara tidak dipercaya lagi atau dipandang sebagai antek pemerintah, maka gerakan people power yang akan dilakukan oleh Pak Prabowo merupakan bentuk kampanye pasca pengumuman untuk mengumumkan dirinya bahwa dia memang tidak dipercaya rakyat.
Jadi, people power semacam gerakan ratapan atas kekalahan. Orasi-orasi tentang kecurangan sangat boleh jadi hanya versi lain dari teriakan, hai rakyatku mengapa kau tinggalkan daku. People power adalah gelagat merajuk atas pertempuran dengan nostalgia.
Prabowo bagai sebuah teks yang tak habis dibaca. Refleksi kritis, diskusi yang intensif, dan eksplanasi kelarlah sudah. Dari tukang martabak di pinggir jalan hingga profesor dan pengamat politik kawakan menalarkan dialektik perjalanan Prabowo Subyanto yang selalu gagal dalam pemilihan presiden.
Ironis memang, segudang prestasi di atas seakan tidak serta-merta rakyat memilihnya. Rakyat Indonesia, justru memilih Jokowi, si tukang kayu, kurus, tampang ndeso dan jarang mengenakan jas resmi. Pembawaan sosialnya memang mirip rakyat jelata.
Perlawanan Prabowo terhadap nostalgia itu setidaknya mengajarkan kita membatin untuk sesekali mengendap dan menginap di ruang bawah sadar, sekadar memeriksa tentang sejarah perjalanan penting seorang tokoh atau kita sendiri.
Sejarah sebagai sebuah teks bisu, tak bernyawa pula. Namun, sejarah mempunyai darah yang kadang menetes pada setiap tapak hidup seseorang tanpa harus disadarinya.
Titik darah sejarah kadang memberi dekor atau wahyu pada jejak perjalanan hidup setiap orang. Sebab, sejarah adalah perbuatan atau nubuat, kadang ada tetes darah di sana, berceritera siapa kita, mungkin ada karma, tapi kita tak terampil menghadirkan makna di balik daun-daun sejarah.