Oleh: Pius Rengka
Prof. Sidney Tarrow, dari Cornel University, tahun 1996, membuat pertanyaan menarik. Pada bagian pengantar buku berjudul Power in Movement- Social Movements, collective action and politics Tarrow menancapkan pertanyaan inti.
Ditanyakan, pada kondisi macam apakah kekuatan massa dapat muncul dan diteruskan dengan tindakan kolektif. Dan bagaimanakah kiranya dinamika sosial yang bergerak mengiringi kondisi tersebut?
Tarrow, tentu saja, hendak memahami dan menjelaskan bahwa aksi massa (people power) memerlukan basis material yang memadai untuk munculnya gerakan masssa.
Gerakan massa atau people power tidak mungkin muncul dari semacam kecemburuan elektoral yang normal sebagaimana pengalaman politik belakangan ini di Jakarta.
Sebagai salah satu bandingan, dapat disebutkan di sini kisah people power di Filipina. People power Filipina lahir menyusul ekses yang ditimbulkan oleh ulah rezim otoritarian dan despotik Ferdinand Marcos. Kelakuan Presiden Marcos dianggap sebagai telah mendorong pematangan pecahnya people power di Manila pada waktu itu.
Akibatnya, Marcos terpaksa melarikan diri (atau mengucilkan diri) dan hidup di pengasingan. Marcos jatuh dengan sangat tidak terhormat setelah gulungan gerakan people power yang sangat kesohor di Asia Tenggara pada masa itu, pecah dalam drama politik yang mengesankan.
Salah satu tokoh utama gerakan people power di Filipina itu, Prof. Roca Morra. Ini tokoh intelektual, tetapi juga berwibawa justru karena opsinya sangat jelas yaitu pembebasan umat manusia Filipna dari kungkungan kekuasaan Marcos dan para cecunguknya.
Pada satu kesempatan seminar internasional di Jakarta, Roca Morra pernah sedikit berkisah bahwa people power di Filipina mendapatkan basis materialnya yang sangat kuat ketika meluasnya realitas penderitaan rakyat.
Lilitan belenggu rantai kemiskinan, penderitaan rakyat akibat rezim despotik sungguh tak tertahankan lagi. Kemiskinan rakyat meluas berjalan sangat cepat dan masif persis beriring sejalan dengan kepongahan akumulasi modal hasil korupsi yang dilakukan keluarga Marcos.
Krisis politik terjadi sebagai akumulasi dari meluasnya grievances and demands masyarakat yang menuntut keluar dari derita dan dhuka. Tuntutan rakyat itu persis tak bertemu dengan kesediaan dan kesanggupan rezim Marcos mengatasinya. Marcos malah ketagihan korupsi dan betindak sewenang-wenang. Demokrasi disumbat, para kritikus dibekuk.
Alih-alih keluarga Marcos dan cecunguknya mau mengatasi problem rakyat, malah Presiden Marcos justru menari santai dengan istrinya Imelda Marcos di panggung ekstasi kenikmatan materialistis hasil korupsi yang sangat telanjang di negeri itu. Tampaknya ada semacam pacuan korupsi di Filipina dan di Indonesia.
Salah satu tokoh yang pernah diusir dari negeri itu lantaran terlalu berani melawan politik Marcos adalah Benigno Aquino. Tokoh politik ini tewas ditembak pasukan suruhan Marcos. Benogno Aquino tewas mengenaskan sesaat keluar dari pintu pesawat dalam perjalanan pulang ke Manila.
Aquino, dikucilkan ke negeri asing, lantaran kritikannya sangat telanjang atas rezim Marcos. Tetapi, kepulangan Benigno ke negeri kelahirnya di Filipina justru menambah kekuatan energi perlawanan rakyat di negeri itu.
Puncak kemarahan rakyat sampai ke ubun kulminasi ketika Benigno Aquino tewas mengenaskan menyusul hujan peluru yang membrondong tubuhnya dan terkapar di tengah massa yang menanti dan mengelu-elukannya dalam gelora kemarahan yang membara.
Maka amatlah jelas. People power di Filipina menjalar dan meluas sebagai satu-satunya wujud perlawanan rakyat untuk menghentikan langkah dominasi kekuasaan Marcos yang kian despotik.
Jalan people power lalu dimengerti sebagai salah satu metode konsolidasi demokrasi untuk menumbangkan rezim despotik dan serakah Marcos ketika saat bersamaan seluruh elemen demokratik lain di negeri itu sungguh tidak fungsional dalam tatakelola negara. Distrust meluas, kemarahan akumulatif, penindasan niscaya dan kemiskinan kian masif.
Gerakan people power di Filipina, terus terang, sungguh melegenda di kawasan Asia Tenggara. Kita pun tentu saja mencatat. Bahwa, people power di Filipina, langsung atau pun tak langsung, telah menjalar ke kawasan lain, terutama di negara tetangga Indonesia dan ikut membakar semangat gerakan kaum reformis mahasiswa di tanah air. Motif gerakan itu untuk mendongkel pemimpin Orde Baru Soeharto dan kultur koruptif yang ditularkannya.
Pada konteks itu, di tanah air, Jenderal Soeharto nyaris tak tergantikan. Pria santun nan selalu senyum itu, terus terpilih 32 tahun menjadi presiden. Soeharto dan para kino politiknya nyaris mengendalikan seluruh komponen sosial kemasyarakatan di negeri ini.
Gerakan perlawanan masyarakat sporadik di seputar Jakarta dan beberapa kota di Jawa, Sumatera dan Sulewesi. Tetapi gerakan para aktivis prodemokrasi itu berdaya ideologis dengan resonansi yang sangat lemah.
Ketika akumulasi kemarahan sangat luas, terutama ketika goncangan ekonomi di kawasan Asia Timur, yang menjerumuskan rupiah nyaris tak terkendali berhadapan dengan dollar Amerika. Kurs dollar menguat, rupiah terjungkal ke titik nadir yang paling lemah.
Saat bersamaan, Soeharto dan keluarga (terutama anak-anaknya) menumpuk harta melimpah yang diduga diperoleh dengan cara sangat gampang karena menang jual tampang.
Kekayaan melimpah sebagai ekor dari terpusatnya korupsi. Malah terkesan korupsi dianggap semacam salah satu cabang seni dari permainan di panggung sosial. Kemarahan mahasiswa bertambah ganas ketika banyak di kalangan aktivis prodemokrasi tumbang dan hilang dibunuh atau dihabisi tanpa jejak dan upaya pencarian serius.
Pers pun dibungkam, dan dibreidel. Partai politik dikendalikan atau didikte. Demokrasi pun terkesan mati suri tanpa konsolidasi.
Saat itu konsolidasi kekuatan mahasiswa kian mengental. Demonstrasi jalanan, tadinya hanya terjadi di Jakarta, lalu merembes ke Bogor, Bandung, Jogya dan ke seluruh kota-kota besar di Jawa, lalu meluas hingga ke luar Jawa bahkan sampai Kupang.
Tuntutan mahasiswa bubarkan Orde Baru, bubarkan dwifungsi ABRI, dan tuntutan Pemilu ulang kian mengemuka dan terus menguat. Soeharto gerah dan tak tahan. Ia pun tumbang.
Soeharto lengser secara damai. Kepemimpinan negara dilanjutkan oleh Habibie. Tempik sorak kegembiraan mahasiswa dan rakyat Indonesia nyaris terdengar di setiap kota di seluruh Indonesia. Kabarnya cuman satu, Soeharto pemimpin jahat itu telah tumbang.
Tampak seperti rakyat Indonesia memasuki gerbang era baru pembebasan. Mereka bebas dari penindasan sangat lama. Tetapi juga bebas untuk teriak-teriak tanpa khawatir akan ditangkap aparat.
Situasi dan kondisi politik kian guncang, tetapi Presiden Habibie membiarkan dan membebaskan pers untuk mengoreksi seluruh proses penyelenggaraan negara. Tahanan politik rezim Orde Baru pun dibebaskan dan seterusnya hingga bulan Mei tahun 1988 dikenal sebagai tonggak sejarah lahirnya Indonesia baru, Indonesia tanpa Soeharto, Indonesia reformasi.
Singkat kisah, Soeharto jatuh lalu diolok-olok. Serial sumpah serapah dan gugatan hukum datang silih berganti, tetapi Soeharo sering berbaring sakit dan selalu begitu, sehingga sakit seperti terjadwal sesuai dengan jadwal panggilan aparat hukum, hingga akhirnya tokoh despotik ini, pergi untuk selamanya diiringi dengki dan benci khalayak ramai.
Mencermati dua kisah singkat tentang Marcos dan Soeharto, dapat disimpulkan bahwa dua presiden di dua negara di Asia Tenggara ini mengalamai nasib tidak menyenangkan dan bahkan sungguh memilukan di akhir masa kepemimpinannya.
Dua presiden ini dibenci dan tidak menerima kehormatan yang pantas di masa akhir kepemimpinannya. Keduanya jatuh karena kekuatan rakyat mendesaknya turun paksa.
Nasib buruk itu menyusul konsolidasi demokrasi rakyat yang kian menguat justru karena basis materialnya tepat yaitu realitas kemiskinan meluas, kemarahan rakyat menyeluruh dan saluran demokrasi dikatup tutup rapat-rapat.
People Power 22 Mei 2019?
Lalu kembali ke pertanyaan Sidney Tarrow, atas basis material manakah rencana people power 22 Mei 2019 dapat legitimate? Apakah perbedaan hasil kompetisi elektoral sanggup menjadi basis material untuk gerakan people power? Kepentingan politik dan hukum siapakah yang hendak dilindungi gerakan people power dimaksud? Bagaimanakah kiranya reputasi para aktor politik yang merancang people power 22 Mei 2019?
Tentu saja, catatan kecil ini tak sedikit pun berambisi untuk menjawab semua pertanyaan dan menjelaskan semua jawaban yang tersedia, tetapi tulisan ini untuk mengingatkan satu hal ialah bahwa basis material people power yang direncanakan Amin Rais cs, sungguh kosong argumen.
Kecuali tiadanya basis material yang memadai untuk sebuah gerakan people power, tampaknya koalisi mengalami inersia menyusul tabiat konsolidatif partai-partai koalisi 02 mengalami sedikit derita.
Partai koalisi, seperti Demokrat dan PAN, jelas meragukan opini people power yang diucapkan Amin Rais. Apalagi, terus terang, tawaran people power persis disemai di tengah ladang kirisis wibawa Amin Rais sendiri yang sangat jelas dan pasti tak setara dengan keagungan luhur perjuangan people power Prof. Roca Morra di Filipina.
Partai Demokrat dengan sangat tepat menyitir arti pentingnya menghargai konstitusi dalam mengelola sengketa elektoral. Melalui tokoh titisan putra mahkota trah SBY, AHY, seruan Demokrat diucapkan berkali-kali melalui media elektronik paska gerakan provokasi people power ini digelar.
Pendirian Demokrat sangat jelas, baik terhadap institusi penyelenggara Pemilu maupun jika terjadi kecurangan demokrasi. Pendirian Demokrat jelas membukukan langkah yang patut untuk aneka jenis konsolidasi demokrasi bila dipandang bahwa seruan menghormati regulasi itu adalah keniscayaan normatif demokrasi.
Menghargai dan mengimplementasikan konstitusi justru ditampakkan melalui ujian elektoral. Para pelakunya diundang konstitusi untuk menampakkan perilaku dan kebudayaan berkonstitusi yang baik dan benar dengan mekanisme demokrasi konstitusional.
Meski demikian, Sidney Tarrow, mencatat bahwa dalam kurun akhir abad 18, tampaknya kalangan teoritisi politik menaruh perhatian sangat serius pada gejala maraknya kaum ekstrimisme, kekerasan dan pengingkaran yang meluas di kalangan masyarakat. Tiga gejala ini, sanggup menjadi properti dasar dari gerakan sosial. Mungkin saja saya keliru menafsir, tetapi cahaya pikiran normatif teoretik Tarrow, tampaknya relevan untuk menjelaskan demam rencana people power 22 Mei 2019.
Kekhawatiran terhadap tiga gejala itu karena para aktor di balik gerakan people power itu tampaknya sedang membangunkan rumah solidaritas yang berbasis sektarianisme, fragmentarisme dan aneka jenis identitas kultural yang memodali konsolidasi mereka.
Pertanyaannya ialah apakah rezim Jokowi sanggup mengkonsolidasikan seluruh komponen state dan agen-agennya dalam satu barisan yang kuat? Pertanyaan ini sungguh penting karena saya pikir Jokowi kini masih Presiden RI dengan waktu tersisa beberapa bulan ke depan. Ujian Jokowi justru pada kemungkinan atas terjadinya peristiwa itu.
Namun, kekhawatiran saya yang agak sedikit masuk akal ialah gerakan ini tidak lagi mengarah hanya pada soal kecurangan elektoral, melainkan gerakan ini justru dijadikan momentum dan dipakai oleh sempalan garis keras lain, semisal para pelarian pasukan ISIS dari Syria. Momentum ini dipakai untuk menciptakan krisis dan tarung sosial.