Oleh: Ardy Milik
Bekerja di IRGSC
Hakikat kemanusiaan kita sebagai orang NTT terus dihina lewat kiriman ratusan peti jenazah dari negeri jiran.
M.A.S Ambika yang telah memperlakukan anak bangsa Indonesia (Adelina Sa’u) laiknya binatang, malah divonis bebas oleh Pengadilan Tinggi Pulau Penang-Malaysia pada 18 April 2019.
Protes yang mengalir deras dari berbagai pihak adalah seruan tuntutan akan keadilan bagi korban. Aksi protes ini awalnya mendapat respon positif setelah peringatan satu tahun meninggalnya Adelina (11 Februari 2018-11 Februari 2019).
Kala itu, pihak pemerintah Malaysia melalui YB M. Kula Segaran, Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, meminta maaf atas kejahatan kemanusiaan tersebut dalam surat permintaan maaf kepada keluarga Adelina yang berjudul; No More Neglect of Cases like Adelina Lisao’s, Case-A War on the Issue of Human Trafficking and Forced Labour.” (https://sinodegmit.or.id/menteri-sdm-malaysia-menulis-surat-permintaan-maaf-kepada-ibunda-dari-adelina-sau-korban-tewas-tki-ntt/).
Surat resmi yang berisi 10 point itu utamanya mengemukakan permintaan maaf terhadap keluarga korban, penyesalan akan kejadian yang menimpa Adelina dan kehendak untuk perbaikan regulasi ketenagakerjaan di Malaysia serta janji untuk menjamin terwujudnya keadilan dalam vonis bagi pelaku yang menyebabkan kematian Adelina di Malaysia.
Namun respon positif pihak Kementrian Sumber Daya Manusia Malaysia, berbanding terbalik dengan vonis Pengadilan Tinggi Malaysia terhadap M.A.S Ambika; majikan Adelina. Vonis bebas ini menunjukan ketidakberpihakan dalam menjamin keadilan bagi para Pekerja Migran Indonesia di negeri Jiran.
Keadilan bagi Adelina kini tinggal jargon. Harapan akan keadilan kembali muncul ketika pemerintah Indonesia melalui Kementrian Tenaga Kerja membangun komunikasi politik bilateral dengan pihak Kejaksaan Tinggi Malaysia untuk meninjau kembali vonis terhadap terdakwa M.A.S Ambika.
Pihak Kejaksaan Tinggi Malaysia berjanji akan mengajukan banding, dan menyertakan bukti yang lebih kuat terkait keterlibatan pelaku. (https://internasional.kompas.com/read/2019/05/12/15121551/terkait-kasus-adelina malaysia-respon-positif-protes-menaker-hanif).
Kita menanti putusannya, apakah keadilan hanya bagi yang kuat dan berduit ataukah milik semua anak manusia?
Asas kepastian dan kesetaraan di hadapan hukum pada pelaku, akan menunjukan bahwa pihak pemerintah Malaysia mampu menjamin Keadilan bagi Para Pekerja Migran asal Indonesia yang menopang perkembangan sektor domestik dan perkebunan sawit Malaysia.
Pekerja Migran Indonesia di negeri Jiran yang berjumlah 1.289.706 (Investigasi Tempo: 2016: ‘Investigasi Cukong TKI’-Migrant Care) rentan mendapatkan perlakuan sewenang-wenang oleh oleh agen penyalur dan majikan.
Situasi kerja paksa, upah yang tidak dibayar, dianiaya, disiksa bahkan dibunuh adalah kenyataan yang mengharuskan adanya regulasi yang menjamin kenyamanan dalam bekerja serta kepastian bahwa para PMI akan pulang kembali ke kampung halaman dengan selamat dan sehat.
Kasus Adelina hendaknya dijadikan pelajaran bagi Malaysia agar segera mengamandemen regulasinya yang telah usang: UU Ketenagakerjaan/No.177/1967. Sektor domestik pekerja di negeri jiran yang didominasi para pekerja rumah tangga, hendaknya diakui sebagai pekerja hingga diatur hak normatif pekerja di sektor domestik.
Selain itu, bagi pekerja di sektor rumah tangga yang belum mendapat jaminan hukum, Indonesia dan Malaysia hendaknya meratifikasi konvensi ILO (International Labour Organization) No. 189 tentang perlindungan dan pengakuan pekerja rumah tangga.
Ratifikasi regulasi ini, harusnya menjadi instrument dalam menjamin kepastian hukum dan kesetaraan di hadapan hukum. Mengapa? Agar berbagai pengadopsian konvenan, protokel, traktat yang berhubungan dengan kelas pekerja mampu melindungi para pekerja dan menyeret siapa saja yang terjerat dalam tindak pidana perdagangan orang atau perbudakan modern.
Sebab, sebagaimana kabar tersiar, trah UU Tindak Pidana Perdagangan Orang/21/2007 yang diratifikasi dari Protokoler Palermo hanya mampu menjerat para perekrut di lapangan sementara cukong, majikan, pemodal jarang tersentuh atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. (Baca: Kasus Sarang Burung Walet Medan 2014, hingga kini pelaku utama bebas berkeliaran).
Ironi lainnya, hingga kini Surat Perintah Penyidikan kepada salah seorang pegawai kantor Imigrasi Kupang yang disangkakan terlibat dalam pemalsuan data Adelina belum juga dikeluarkan oleh pihak POLDA NTT.
Miris. Geram. Setelah di tanah orang disiksa, dibunuh dan tidak mendapatkan haknya sendiri, ternyata di negeri sendiri, keadilan bagi Adelina belum mampu ditegakkan oleh pihak kepolisian. Apa kita masih mau menunggu sampai seribu Adelina lagi barulah mengambil tindakan tegas?
Musibah yang dialami Adelina Sa’u adalah gambaran dari ketidakmampuan penguasa dan aparaturnya menerjemahkan berdiktat diktat undang undang. Berlaksa laksa jargon kesejahteraan, menguap setelah selesai didaraskan dengan gagah di atas podium.
Beribu ribu janji manis yang dilontarkan saat pemilihan umum, diabaikan karena pada umumnya rakyat sering jadi korban penipuan setelah itu ditinggalkan sendiri berjuang memastikan dapurnya tetap mengepul.
Prahara Perdagangan Orang yang Terabaikan dari Kampanye Capres (Part 1)
Adelina dan Fakta Kabupaten TTS
Adelina berasal dari Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kabupaten yang minim dalam inovasi pembangunan berkelanjutan oleh pemerintah daerahnya. Kabupaten yang ‘dingin- dingin’ saja terhadap nilai dan ide ide baru, untuk memaksimalkan potensi sumber daya alamnya dengan berbasis kerakyatan.
Dalam riset IRGSC tahun 2017 mengenai trend migrasi PMI di TTS, sebanyak 28% responden ditemukan penghasilannya di bawah Rp. 100,000.
Sebanyak 10% yang penghasilannya Rp. 500,000-750,000, 3% responden yang penghasilannya antara Rp. 1,000,000 – 1,250,000 dan yang penghasilannya di atas Rp. 1,500,000 hanya 0.3%. Menyedihkan.
Dengan penghasilan yang kecil, desa tak lagi menawarkan kesempatan hidup. Kebutuhan uang tunai yang tinggi seolah mendapat jawaban dengan iming iming mafia penjual manusia tentang upah yang layak di luar negeri dan cerita indah yang manipulatif tentang bekerja di luar negeri.
Melawan Zona Nyaman
Tahun 2014, NTT digores oleh kematian dua orang anak manusia dan 23 lainnya yang disekap dalam Sarang Burung Walet-Medan. Sejak itu, suara suara menuntut keadilan bagi para korban perdagangan orang kian memekik keras.
Meski kini mereka belum mendapatkan haknya atau bahkan mungkin sudah kembali menjadi pekerja migran akibat kekecewaan atas tidak adanya kepastian hukum, jeritan pilu mereka wajib tetap dikumandangkan.
Apakah tidak bosan bermandikan peluh? Menantang teriknya mentari? Tidak!
Kita harus terus berteriak keras agar jargon ‘kesejahteraan rakyat’ mampu diterjemahkan dalam kebijakan.
Berbagai kebijakan yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah-Jangka Panjang yang disusun dengan menghabiskan anggaran berjuta rupiah di ruangan berpendingin, harusnya ke luar dan menjamah sampai pada yang tidur beratapan alang alang, yang menyantap jagung katemak untuk bertahan hidup dan yang menempuh jarak berpuluh puluh kilometer ke tempat yang namanya sekolah.
Tugas utama negara adalah memastikan bahwa rakyat dapat hidup dan berdaya di tanahnya sendiri, bangga dan cinta akan kampungnya. Yakin bahwa dengan semangat melawan kerasnya hidup, rakyat mampu berdiri di atas kakinya sendiri di kampungnya sendiri.
Lalu, memastikan bahwa para korban perdagangan orang yang diciderai harkat dan martabat kemanusiaannya mendapatkan keadilan, pemulihan dan pemenuhan atas hak-haknya adalah amanah dan tanggung jawab setiap orang yang mengaku anak bumi FLOBAMORATA.