Oleh: Yoss Gerard Lema
Wartawan, Penulis, Novelis tinggal di Kota Kupang
Ooouuh di sana. Orang menari Gawi. Lapangan sepak bola di bibir pantai Kota Ende itu ‘abu naek’ (ramai sekali). Laki perempuan, tua, muda, gadis dan jejaka, bahkan para banci pun tak ketinggalan.
Semua kenakan ragi mite dan lawo-lambu (kain tenun adat Ende). Mereka bersukaria. Bersukacita. Saling gandeng tangan dalam lingkaran utuh. Berlapis-lapis.
Seorang pemimpin ada di tengah-tengah. Di kakinya ada giring-giring. Sapu tangan putih melambai-lambai. Tubuhnya meliuk-liuk seperti gelombang lautan. Lalu kakinya menghentak bumi dengan keras. Diikuti seluruh penari. Moke (minuman alkohol) bikin semuanya bergairah. Semuanya menyatu. Satu dalam irama lagu. Satu dalam hentakan kaki. Satu dalam lingkaran persaudaraan sejati. Satu dalam ikatan adat budaya.
Keringat mereka jatuh basahi bumi Ende. Bumi Marilonga dan Baranuri. Basahi Flobamora. Basahi Nusantara. Basahi jagad raya.
Bung Karno saksikan semua itu dari bawah pohon sukun di bibir pantai Ende. Dia terkesima. Terkesan. Relung hatinya bergetar. Saraf-saraf rohnya merekah. Itulah ilham. Itulah rahasia bumi. Rahasia matahari, bulan, bintang-bintang. Rahasia lautan, sungai, hutan, gunung, bukit, lembah, flora dan fauna. Rahasia pohon sukun bercabang lima di bibir pantai Ende. Rahasia ilahi.
Dari semua yang dilihat, dirasakan, direnungkan, Bung Karno akhirnya berhasil membuka selubung hitam bangsa ini. Di bawah langit Kota Ende, Putra Sang Fajar, ‘berhasil memetik cahaya keemasan’ yang turun dari Sorga.
Saat itu suara azan pun bergema. Lonceng gereja berdentang-dentang. Malaikat Tuhan turun di bawah pohon sukun itu.
Di titik inilah kita wajib merenung. Melihat Pancasila sebagai ‘cahaya keemasan’ yang turun dari sorga. Sebab, Indonesia sangat unik. Pulaunya lebih dari 17.000 buah. Pulau besar, sedang, kecil, bahkan sangat kecil dan kecil-kecil sekali. Membentang dari timur ke barat, utara ke selatan.
Penduduknya, hampir 300 juta jiwa. Terdiri dari ribuan suku, adat budaya, etnis, bahasa, logat, kebiasaan, dll. Agama pun macam-macam. Islam yang dominan. Lainnya, kristen, katolik, hindu, budha, konfucu, serta agama-agama lokal. Ibarat taman, Indonesia adalah yang terindah di dunia. Bunga warna-warni tumbuh bebas di dalamnya. Itulah Bhineka Tunggal Ika.
Rahasia Pancasila
Pancasila ibarat jantung dalam tubuh manusia. Kelima silanya adalah saraf-saraf inti yang membuat jantung bangsa ini tetap berdenyut. Denyutnya normal. Kadang cepat, kadang melambat.
Sejarah panjang Indonesia menunjukkan itu. Di awal kemerdekaan, tahun 1955, tahun 1959, tahun 1965, tahun 1998, bahkan tahun 2019 sekarang ini. Ujian terhadap Pancasila masih tetap terjadi. Dasar Negara itu ditempa dalam tungku kemuliaan. Jadilah Pancasila seperti mentari pagi dengan sinar berkilau-kilau.
Kenapa? Sebab Pancasila lahir dari kehendak Yang Kuasa. Berakar dari akar budaya asli bangsa Indonesia. Saripati hakiki budaya nusantara. Budaya suku-suku yang membentang di sepanjang garis Khatulistiwa. Budaya Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi, Kalimatan, Maluku dan Papua.
Pancasila sangat menakjubkan. Seperti menyaksikan sunrise terindah di kawah Danau Kelimutu. Indaaah….indaaah….sangat indaaah sekali. Tanpa sadar wisatawan dalam dan luar negeri meneteskan air mata syukur. Air mata kekaguman. Saraf-saraf hati mereka bergetar-getar. Apalagi saat cahaya kuning emas itu menerobos bentangan awan putih di kejauhan.
Oooh Tuhan, percikan cahaya itu sungguh membius. Danau merah, danau putih, danau biru, seolah turun dari Sorga. Betapa indahnya Indonesia-ku. Betapa cantiknya Nusantara.
Yakinlah, Pancasila itu kudus. Suci. Putih. Bersih. Tak ternilai harganya. Lebih indah dari pada emas, bahkan dari pada banyak emas tua dan lebih manis dari pada madu, bahkan dari pada madu tetesan dari sarang lebah.
Bung Karno adalah manusia pilihan-Nya untuk menerima rahasia semesta alam yang diturunkan dibawah pohon sukun itu.
Pancasila itu mulia. Tuhan bertaktha didalamnya. Tuhan bersemayan disetiap sila-silanya. Keinginan segelintir anak bangsa untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, Tuhan pasti berperang melawan mereka. Termasuk tahun-tahun terakhir ini. Sergapan terhadap Pancasila dilakukan secara terstruktur, massif, melibatkan kekuatan asing.
Namun, segenap anak bangsa bangkit. Melawan dengan kasih, cinta dan persaudaraan sejati. Kasih, cinta dan persaudaraan sejati adalah saraf-saraf terindah dari akar budaya bangsa Indonesia.
Sehingga ketika melakukan kunjungan kenegarawan ke negara-negara Asia, Afrika, Australia, Eropa dan Amerika, Bung Karno dengan sangat bangga dan penuh percaya diri memperkenalkan Pancasila sebagai prinsip dasar rakyat Indonesia dalam berbangsa dan bernegara.
Bahkan di forum Markas Besar PBB, dalam stelan jas putih, dasi hitam, peci hitam, berkacamata hitam, Bung Karno ‘Singa Podium’ itu, menghipnotis dan membius seratusan Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dengan penjelasannya tentang Pancasila. Berikut kutipan kata-katanya.
“….Immediately we have proclaimed our independent ini August ’45 we attached as preamble to our constitution the Pancasila. Panca means five and sila means principle. The Pancasila…the five guiding principle of our national life. Perhaps you know already what our Pancasila is. It gets us the five principle of our state, these are: First, Believe in God (disambut tepuk tangan yang sangat meriah). Second, Nationalism (juga disambut tepuk tangan meriah). Third, Humanity (lagi-lagi disambut aplaus meriah). Fourth, Democracy (Suara Bung Karno menekan pada kata demokrasi, kembali semua bertepuk tangan meriah). Fifth, Social Justice (lagi-lagi disambut aplaus meriah dari seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan di dunia)”.
Ende Kota Sejarah
Ketika mengunjungi Kota Ende tahun 1950 dan 1954, di hadapan rakyat Bung Karno mengakui dengan jujur bahwa di bawah pohon sukun (sambil menunjuk ke pohon sukun itu) dia mendapat ilham. Pancasila. Suatu pengakuan yang teramat mahal. Kata-kata yang tak ternilai harganya. Melebihi berton-ton emas dan permata.
Sayangnya, masyarakat Ende, Pemerintah Kabupaten Ende, dari tahun ke tahun hanya melihat peristiwa itu seolah biasa-biasa saja. Bangga memenuhi rongga dada orang Ende-Lio. Ngama, itulah istilah yang tepat dalam bahasa pergaulan orang Ende. Yaaa, itu saja.
Untuk mengenang Bung Karno, pohon sukun keramat itu ditanam kembali. Dibangun sebuah taman sederhana di bibir pantai. Rumah kontrakan di jalan Perwira pun dirawat. Benda-benda sejarah dikumpulkan di situs itu. Setahun sekali, tepatnya tanggal 1 Juni, dilakukan upacara peringatan kelahiran Pancasila. Sederhana sekali.
Ketika era reformasi, semuanya tetap sama. Bupati Ende dan Gubernur NTT silih berganti. Anggota DPRD Ende, Anggota DPRD Propinsi, Anggota DPR RI dan Anggota DPD RI wakili NTT juga silih berganti. Namun, tak satu pun dari mereka berjuang agar ‘KOTA ENDE DITEMPATKAN SEJAJAR DENGAN JAKARTA’.
Ende dan Jakarta sama-sama kota sejarah. Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945 di Jakarta. Naskah proklamasi ditulis Bung Karno pada secarik kertas lusuh.
Di Ende, Bung Karno menggali Pancasila di bawah pohon sukun bercabang lima dengan daun-daun berguguran, berserakan di mana-mana. Ende dan Jakarta sama-sama vital bagi kemerdekaan Indonesia.
Dari perpektif sejarah, Ende dan Jakarta bobotnya sama. Sama-sama melahirkan peristiwa penting dan istimewa bagi bangsa dan negara ini.
Sebagai ibu kota negara, Jakarta memang harus di bangun sejak awal kemerdekaan. Oleh karena itu, setelah 74 tahun Indonesia merdeka, sudah waktunya Kota Ende mesti dibangun menjadi kota sejarah. Kota Pancasila. Ingaaat. Ende adalah bumi yang mengandung. Dan Bung Karno adalah ‘ibu’ yang melahirkan. Bung Karno-Pancasila-Ende, sama-sama karunia Tuhan untuk bangsa dan negara Indonesia.
Kawah Chandradimuka
Jadilah Ende adalah bumi permenungan. Bumi di mana ilham ilahi turun secara dahsyat kepada Bung Karno. Politisi muda, cerdas, brilliant. Sebagai tawanan politik, orang buangan, kaki dan tangannya seolah diikat. Dirantai dengan besi. Pikirannya terbelenggu. Darah pejuangnya seolah berhenti mengalir. Jantungnya terasa sesak. Di titik inilah dia pasrah. Pasrah kepada kehendak Yang Diatas. Hari-harinya hanyalah doa dan doa. Baca Alquran dan berpuasa. Sholat lima waktu dan dzikir dijalani dengan tekun sambil berlinangan air mata.
Di kota kecil nan sepi itu, Bung Karno menjadi akrab dengan Tuhan. Takut akan Tuhan adalah permulaan hikmad. Lihatlah ke kamar dan tempatnya berdoa. Ada bekas telapak tangannya. Ada bekas keningnya ketika sujud. Hanya Tuhan yang tahu berapa banyak air mata yang keluar dari mata politisi muda itu. Berapa banyak ingus yang meleleh bersama tangisannya. Betapa keras dia berteriak minta tolong kepada Tuhan agar bangsanya terbebas dari belenggu kolonial. Oooouuhh…!!!
Namun, bukan karena tangisan itu. Bukan karena teriakan minta tolong. Bukan karena rasa frustrasi dan putus asanya. Tetapi karena imannya. Di Ende, di bumi Flores itu, imannya bertumbuh menjadi dewasa. Dalam dimensi rohani Bung Karno dijamah Tuhan secara special. Orang yang duduk dalam lindungan Yang Maha Tinggi dan bermalam dalam naungan Yang Maha Kuasa akan berkata kepada TUHAN: “Tempat perlindunganku dan kubu pertahananku, Allahku, yang kupercayai”.
Doa, dzikir dan berpuasa membuat Tuhan mengkaruniakan mukjizat terindah kepadanya. Pancasila adalah mukjizat terbesar bagi bangsa dan negara Indonesia.
Mujizat itu turun di bawah pohon sukun. Turun di kota yang 90 persen masyarakatnya beragama Katolik. Saat itu penduduk Kota Ende sekitar 5.000 jiwa. Katolik yang dominan. Lainnya, islam, protestan, hindu, budha dan konfucu.
Di Kota Ende inilah Bung Karno untuk pertama kalinya hidup sebagai kaum minoritas dari sisi agama, maupun suku. Saat itu ada orang orang Makasar, Arab, Eropa (misionaris dan tentara Belanda), Cina, Bali, Jawa, Sabu, Rote, Timor, Sumba, Alor dan lain-lain. Ende adalah kota pelabuhan, perdagangan, teramai di seluruh pulau Flores.
Di Ende Bung Karno berteman dengan siapa saja. Mulai dari nelayan, petani, pedagang, pemuda, pemuka agama islam, katolik, dll. Pertemanannya dengan dua pastor katolik asal Eropa tercatat dalam berbagai literatur. Pastor Gerardus Huijtink dan Pastor DR. Jan Bouma. Keduanya jadi lawan bicara. Saking akrabnya, Bung Karno bebas keluar masuk kamar Pastor Gerardus Huijtink yang ketika itu sebagai Pastor Paroki Ende.
Melalui sanggar Kelimutu yang dibentuknya, Bung Karno semakin akrab dengan masyarakat Ende-Lio. Pementasan tonil di gedung Imaculata selalu jadi buah bibir.
Dua kali seminggu di rumah kontrakannya ada pengajian. Di titik inilah Bung Karno berhasil ‘meneropong’ manusia Ende-Lio apa adanya. Pada mereka ditemukan sesuatu yang istimewa bagi bangsa dan negara ini.
Di Ende dia menyaksikan Pancasila itu hidup. Pancasila itu bisa dirasakan, diraba, dinikmati dalam kehidupan sehari-hari. Di Ende inilah Bung Karno menjadi bagian dari Pancasila yang hidup itu.
Di rumah adat orang Ende-Lio, terutama suku-suku di wilayah pesisir pantai, Bung Karno menyaksikan dengan mata kepala sendiri, orang Katolik dan orang Islam berbaur tanpa sekat. Mereka bersaudara, sehati, sejiwa. Nenek moyang mereka satu dan sama. Mereka menenun persaudaraan sejati yang diwariskan nenek moyang selama turun temurun.
Natal dan Lebaran (Idhul Fitri) selalu ditunggu keluarga katolik dan islam. Natal bukan hanya pesta sanak saudara yang katolik, tetapi juga bagi sanak saudara yang islam. Saling ucap selamat adalah hal yang biasa sejak dulu. Begitu pun saat hari raya Lebaran. Bukan hanya dirayakan oleh sanak saudara yang islam, tetapi juga oleh sanak keluarga yang katolik. Merayakan bersama, gembira bersama-sama.
Bung Karno melihat semua itu sebagai karunia terindah dari bumi pembuangan. Kagum dan tercengang campur aduk. Inilah warisan nenek moyang nusantara yang tak boleh lapuk dimakan zaman.
Sebagai orang keturunan Ende-Lio dari rumah adat Mokebewa, di Aikeu-Wolojita, sekitar 70 km arah timur kota Ende, suku kami sebagian beragama katolik, sebagian lagi islam. Di rumah adat kami semua duduk bersama-sama dalam lingkaran persaudaraan. Keputusan adat berlaku untuk semua anak keturunan. Yang menjadi ketua adat atau Mosalaki ditentukan secara musyawarah tanpa membeda-bedakan dari sisi agama.
Kami saling sayang-menyayangi. Toleransi mengalir dalam darah dan jiwa kami. Warisan itu dipegang teguh anak cucu suku Mokebewa hingga sekarang ini.
Ketika berada di luar wilayah adat (merantau), tali persaudaraan justru semakin kuat. Di kota Ende (1970) keluarga kami yang beragama islam tinggal di daerah Mbonga. Persis di bawah kaki gunung Meja. Yang lainnya tinggal di daerah Wolowona.
Saat natal keluarga yang islam datang dalam rombongan. Laki-laki mengenakan ragi mite (sarung adat pria berwarna hitam), kemeja putih, di kepalanya ada peci hitam. Yang perempuan mengenakan lawo lambu (baju adat Ende untuk perempuan). Semua bergembira, bersendagurau sambil makan sirih pinang dan tertawa-tawa senang.
Sebaliknya, saat hari raya Idhul Fitri kami sekeluarga mengunjungi sanak keluarga yang islam di Mbonga dan Wolowona. Kami merayakan lebaran bersama-sama. Orang tua kami ngobrol banyak hal, termasuk menanyakan sanak keluarga di Aikeu-Wolojita. Ae petu (air panas), kue pore-rore dan opor ayam menjadi menu luar biasa. Mama-mama dan nona-nona muda tertawa senang sambil memperlihatkan bibir merah sirih pinang.
Dan ketika keluarga kami pindah ke kota Kupang (1974), sanak family dari Ende, baik yang katolik maupun islam tinggal di rumah. Ada yang ingin sekolah atau kuliah. Tidak sedikit yang mencari kerja.
Kami hidup bersama-sama, sedikit pun tak ada perasaan membeda-bedakan dari sisi agama. Saya yakin ada ribuan kisah tentang kehidupan bertoleransi diantara orang Ende-Lio yang berbeda agama. Maka Tuhan membawa Bung Karno ke Ende untuk melihat semua itu dengan mata batin. Ende memang bumi permenungan. Kawah Chandradimuka yang akan mendidik kader-kader bangsa menjadi Pancasilais sejati. Negarawan sejati.
Sehingga siapa saja yang ingin menjadi pemimpin Indonesia di masa depan, baik sebagai bupati, walikota, gubernur, Anggota DPRD, DPR RI, DPD RI, Jaksa, Rektor, Mentri, Direktur BUMN, Anggota KPK, Presiden, Wakil Presiden dan lain-lain, hendaknya ‘Berwisata Batin’ ke Ende.
Begitu pun para budayawan, pelajar, mahasiswa, tokoh perempuan, seniman, dll hendaknya berkesempatan datang ke Ende. Biar dari dekat kalian dapat menatap bola mata Bung Karno di Taman Permenungan.
Biar kalian bisa membayangkan air mata yang keluar dari seorang Soekarno ketika merenung di bawah pohon sukun itu. Hatinya sakit, pedih, perih, nyeri. Air matanya tumpah ruah di dalam hati. Itu, air mata pertiwi.
Oleh karena itu, Bupati Ende Marsel Petu mesti menguatkan hatinya agar mampu mewujudkan Ende menjadi kota sejarah. Kota Pancasila. Bicaralah dari hati ke hati dengan para mosalaki (ketua adat) Ende-Lio.
Diskusilah dengan anak cucu teman-teman Bung Karno waktu dulu. Salah satunya adalah keluarga (alm) Riwu Ga, putra Sabu yang selama 14 tahun tinggal bersama keluarga Bung Karno di Ende dan Jakarta. (Untuk diketahui bahwa naskah ini ditulis sebelum Bupati Ende Marsel Petu meninggal, Minggu, 26 Mei 2019 di Kota Kupang).
Dengar pula suara rohaniwan katolik, islam, protestan, hindu, budha dan konfucu. Dengar pula pandangan sejarahwan Ende. Semua masukan akan memperkaya perspektif Pemerintah Daerah Ende untuk membantu Pemerintah Pusat dalam membuat keputusan terbaik agar Ende agar menjadi ‘Kota Wisata Batin’ bangsa Indonesia.
Sedangkan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Victor Bungtilu Laiskodat pasti mendukung. Inilah gubernur hebat yang bisa melihat potensi pariwisata Bumi Flobamora dengan mata batin.
Pada masa kepemimpinannya Gubernur Victor secara cerdas menetapkan Pariwisata sebagai leading sektor untuk menyiasati pembangunan ekonomi rakyat NTT. Briliant.
Saran saya, mulailah bangun pariwisata dari Kota Ende. Kota Pancasila. Berjuanglah bersama Bupati Ende, Anggota DPRD Ende, Anggota DPRD NTT, Anggota DPR RI dan Anggota DPD RI agar ‘ENDE DISEJAJARKAN DENGAN JAKARTA’ dari perspektif sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.
Biayanya? Pemerintah pusat wajib membiayai. Dananya dari APBN. Puluhan trilliun untuk ideologi Pancasila tidaklah mahal. Tidaklah boros. Tidaklah percuma. Mudah-mudahan Presiden Jokowi, ‘Titisan Bung Karno’, berkenan melaksanakan pada periode kedua kepemimpinannya. Sebab, Pancasila adalah jantung bangsa dan negara ini. Mati hidupnya Indonesia sepenuhnya tergantung pada Pancasila.
Bersambung…