Borong, Vox NTT-Ketua Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Flores Bagian Barat, Ferdi Dance menilai Bupati Manggarai Timur (Matim), Agas Andreas lamban untuk segera mengesahkan peraturan daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2018.
Hal itu dikatakan Ferdi usai melakukan rapat dengar pendapat dengan DPRD dan beberapa Pimpinan OPD lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Matim, di ruangan Komisi A DPRD Matim, Senin (27/05/2019).
“Kami menilai bupati lamban, apalagi ini sudah satu tahun, pemerintah belum serius untuk bermitra dengan AMAN,” ujarnya.
Dalam rapat itu, kata dia, AMAN menuntut implementasi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 tahun 2018 harus segera terwujud. Perwujudan itu yakni mendesak pemerintah untuk membentuk panitia.
Diakuinya, desakan kepada Pemda Matim oleh AMAN sudah dimulai sejak 2016 lalu. Bahkan, AMAN sudah berkali-kali melakukan negoisasi dengan DPRD, namun selalu ditolak oleh pemerintah.
Ferdi juga menegaskan AMAN siap bermitra dengan pemerintah apabila mereka terlibat dalam kepanitiaan.
“Kalau AMAN tidak dilibatkan apapun tantangannya kami akan protes terus. Karena Perdanya dimulai dari AMAN,” tegasnya.
Diakuinya, AMAN saat ini sudah mengantongi data tekait pemetaan wilayah adat, registrasi wilayah adat, data sosial dan historia (sejarah) yang ada di Kabupaten Matim.
“Kalau diminta oleh Pemda pasti kami serahkan itu,” ujarnya.
Terkait keanggotaan AMAN yang berada Matim, terang Ferdi, sudah ada 18 komunitas yang terdiri dari puluhan desa.
Contohnya di Rembong, pihaknya sudah memetakan hingga pantai utara laut Flores yang terdiri 10 desa. Di daerah ini disebut sebagai komunitas Rembong.
Tudingan Merusak Hutan
Pada kesempatan itu juga Ferdi membantah terkait tudingan sejumlah pihak yang menilai AMAN sebagai organisasi yang memberi kebebasan kepada masyarakat untuk merusak hutan.
Salah satu tudingan itu yakni rusaknya hutan Lok Pahar yang letaknya di tepi ruas jalan kabupaten, Colol – Watunggong. Wilayah yang menjadi perbatasan Kecamatan Sambi Rampas dan Poco Ranaka Timur sudah dialifungsikan menjadi lahan pertanian.
“Itu salah, karena AMAN pada tanggal 13 dan 14 Mei sudah melakukan workshop konsolidasi mendorong manajemen kolaboratif dengan BKSDA. Dan kepala KSDA datang diskusi dengan kami,” imbuhnya.
Dalam rapat, kata dia, disepakati bahwa ke depan hutan adat akan dikelola oleh masyarakat melalui pengolahan hutan berbasis masyarakat.
“Hanya orang yang menyoroti itu tidak pernah ketemu kami. Kami siap berdiskusi dengan mereka. Tapi sampai sekarang mereka tidak pernah bertemu kami,” ujarnya.
Upaya Percepatan Perbup
Sebelumnya, AMAN Flores Bagian Barat telah menggelar diskusi publik di Hotel Primadona Borong, Kamis 23 Mei 2019.
Diskusi itu mengangkat tema, mendorong Bupati Matim untuk Percepatan Peraturan Bupati (Perbup) tentang Pengesahan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Kabupaten Matim.
Terpantau kegiatan itu dihadiri ketua Komisi A DPRD Matim Leonardus Santosa, Anggota DPRD Frederik Frumensius Anam, Advokasi Kebijakan deputi Sekjen AMAN Monika, Ketua AMAN Flores Bagian Barat Ferdi Dance dan beberapa anggota AMAN.
Ferdi dalam sambutannya kala itu, berkomitmen untuk terus melakukan kosolidasi dan komunikasi internal lembaga AMAN agar mendapat pengakuan secara konstitusional.
Sementara itu, Leonardus Santosa mengatakan substansi peraturan daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2018 itu yakni pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan.
Menurutnya, masyarakat yang diakui secara konstitusional, harus memiliki keturunan/ turun temurun, teritori yang mendiami wilayah, memiliki kelembagaan, mempunyai syarat (kepercayaan) dan mempunyai norma yakni larangan dan sanksi.
“Kalau ini terpenuhi baru bisa diakui. Dan harus diakui oleh bupati,” ujar pria yang kerap disapa Onsa Joman itu.
Apabila sudah ada pengakuan, kata dia, maka masyarakat dan wilayah adat akan terlindungi dan diperdayakan oleh pemerintah.
Dikatakannya, tanpa Perdapun bupati bisa membuat panitia sesuai Permedagri 52 tahun 2014. Onsa menilai pemerintah Matim belum siap untuk mengeluarkan Perbup tentang pengesahan masyarakat adat dan wilayah adat.
Dia berharap, pada Juni mendatang harus sudah ada pengakuan terhadap peraturan masyarakat hukum adat di Matim.
Sementara itu, anggota DPRD Matim Frumensius Frederik Aman mengaku, dia bersama Onsa Joman sudah melakukan fungsi DPR sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang.
“Kami sudah menjalankan fungsi DPRD buat Perda, mengawasi dan anggaran,” ujar pria yang akrab dipanggil Mensi Anam itu.
Terkait ketidakhadiran Bupati Matim Agas Andreas, Mensi Anam mengatakan diskusi publik tentang percepatan peraturan bupati itu tidak akan mendapatan hasil.
Diakui, satu bulan lalu pihaknya sudah menyampaikan kepada Bupati Agas untuk membuat panitia terkait peraturan bupati itu. Namun, hingga kini pemerintah belum juga membentuknya.
Kendati demikian, Mensi Anam berharap, sebelum ada pengakuan sangat diperlukan konsolidasi jumlah dan kualitas organisasi.
“Harus ada perwakilan di setiap kecamatan dan desa,” ujarnya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba