Oleh: Yoss Gerard Lema
Wartawan, Penulis, Novelis tinggal di Kota Kupang
BACA Ulasan Sebelumnya: HUT Pancasila 1 Juni, Tolong Sejajarkan Ende dengan Jakarta (Part 1)
Jejak Bung Karno
Kota Ende sebagai kota kelahiran Pancasila harus dibangun secantik-cantiknya. Hamparan pesisir pantai dari ujung ke ujung mesti dibenah secara total. Ribuan hektar tanah di bibir pantai, mulai dari kaki gunung Iya sampai di daerah sekitar Ndao menjadi Taman Permenungan.
Di tengah-tengah taman itu, sejajar dengan Dermaga Bung Karno, bangunlah monumen Bung Karno terbesar dan terhebat. Tingginya 70 meter. Sesuai usia Bung Karno saat wafat. Monumen ini dikelilingi sebuah area melingkar yang besar agar wisatawan dalam dan luar negri dapat menari Gawi saat sunset menuruni dinding langit di ufuk barat.
Itulah icon Kota Ende. Dari arah laut wisatawan sudah dibuat terkagum-kagum. Monumen Bung Karno muncul diatas ribuan hektar rumput-rumput hijau dengan aneka bunga warna-warni. Dermaga mesti diperpanjang dan diperlebar. Dipercantik, secantik-cantiknya. Itulah dermaga wisata agar wisatawan dapat menikmati senja tenggelam.
Infrastruktur jalan didalam Kota Ende mesti nyaman bagi wisatawan. Semuanya serba tol. Serba dua jalur. Trotoarnya lebar. Di mana-mana bunga warna-warni. Bougenfil, olyander, ros, jadi pilihan. Bunga-bunga ini cocok dengan iklim NTT yang kering. Sedangkan untuk keteduhan, biarkan kota Ende dihijaukan oleh sukun. Wisatawan silahkan bernostalgia, duduk menerung di bawah pohon sukun seperti yang dilakukan Bung Karno puluhan tahun silam.
Pohon satunya lagi adalah flamboyan. Orang Ende menyebutnya sebagai pohon natal. Flamboyan mulai berbunga sekitar Oktober. Puncaknya antara Desember sampai Januari. Bagi orang Ende atau orang Flores atau orang NTT yang mayoritas beragama katolik/kristen, bunga flamboyan adalah tanda dari alam bahwa natal sudah dekat. Persiapkan hati menyambut bayi kudus Yesus.
Sebaiknya flamboyan di tanam di jalan-jalan, tanam kota, hutan kota, rumah-rumah penduduk, kantor-kantor, sekolah-sekolah, pertokoan, mall, hotel, bahkan sampai ke gunung Meja, Iya dan Wongge. Iya, Meja dan Wongge adalah tiga gunung penjaga Kota Ende.
Bayangkan, antara Oktober sampai Januari, Kota Ende berubah menjadi merah menyala. Wisatawan yang datang dari laut hanya geleng-geleng kepala. Mereka membidik kameranya ke kota merah dengan rasa kagum.
Wisatawan yang datang dari udara akan berebut jendela pesawat agar bisa abadikan panorama serba merah dibawahnya. Seorang pujangga pun akan kehabisan kata-kata saat melihat kota Ende dari udara. Merayakan natal dan tahun baru di Ende akan sangat berkesan bagi wisatawan.
Hujan bulan Desember menambah gregetnya ketika bunga flamboyan mulai berguguran. Itulah rintik-rintik ‘merah’ di musim dingin. Itulah saatnya ber-selvy-ria dibawah flamboyan yang berguguran. Sangat indah bila ada kandang natal mungil dengan lampu kelap kelip diwaktu malam. Ooouuh…!!!
Oleh karena itu, landasan pacu Bandara Haji Hassan Aroeboesman sudah waktunya diperpanjang. Sudah saatnya didarati pesawat berbadan lebar untuk membawa wisatawan dalam dan luar negeri. Lalu dari atas puncak gunung Meja bangunlah monumen Bung Karno yang sedang melambaikan tangan pada seluruh wisatawan. Tinggi monumen itu harus signifikan dengan gunung Meja. Yakinlah, wisatawan yang datang dan pergi akan membalas lambaian itu. Sambil ber-selvy-ria dengan latar gunung Meja dan Bung Karno.
Gunung Meja yang cantik, didadanya ada tertulis. ‘SELAMAT DATANG DI ENDE PANCASILA CITY’. Setiap hari ribuan wisatawan dalam dan luar negeri akan mendaki ke puncak gunung Meja untuk ber-selvy-ria. Menikmati panorama menakyubkan Kota Ende. Menikmati sunrise luar biasa yang muncul di ufuk timur. Sorenya menikmati sunset keemasan yang tak terlukiskan kata. Inilah sunset yang menggetarkan bathin anak bangsa.
Karena itu, wilayah Kota Ende mesti diperluas. Ndona, Roworeke, Nangaba dan Pulau Ende harus masuk dalam peta: ‘Ende Pancasila City’. Penataan Kota Ende harus menjangkau seluruh wilayah tersebut. Sebab warga dari pesisir pantai yang telah merelakan tanahnya untuk menjadi Taman Permenungan harus dipindah ke daerah ini. Tentu dengan konsep ganti untung. Sekali lagi, ganti untung, bahkan untungnya, untung sekali.
Sedangkan untuk menghubungkan Kota Ende dan Pulau Ende, bangunlah jembatan seperti ‘Suramadu’ yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Jembatan itu menyambung dari sebelah barat. Jembatan itu akan menarik ribuan wisatawan berbondong-bondong menyaksikan sunset terindah yang jatuh di belakang pulau Ende. Sedangkan keliling Pulau Ende bangunlah jalan tol menyusur bibir pantai. Di punggung-punggung bukit menghadap kota Ende bangunlah hotel mewah bagi wisatawan jetzet.
Malamnya, dari pulau Ende, wisatawan menyaksikan Kota Ende berubah menjadi kota cahaya. Cahaya terang benderang memancar dari sinar lazer yang menerangi monumen Bung Karno setinggi 70 meter. Juga kelap-kelip ribuan lampu di Taman Permenungan. Belum lagi kelap-kelip lampu dari berbagai kapal pesiar, puluhan yack, kapal barang dan kapal nelayan yang sedang mencari ikan. Dari langit bintang-bintang bertaburan. Awan putih menari-nari mengelingi rembulan keemasan. ‘Ende Pancasila City’ seolah firdaus diwaktu malam.
Situs rumah Bung Karno di jalan Perwira mesti tetap dirawat. Koleksi benda-benda sejarah haruslah awet. Namun, lingkungan di sekitar rumah mesti dibenah secara total. Bebaskan tanah di depan, belakang, kiri dan kanan (kecuali Kodim Ende sebagai tempat bersejarah). Bangunlah taman terindah dengan rumput-rumput hijau, serta aneka bunga warna-warni. Orang Ende tahu Bung Karno suka menanam bunga. Suka pelihara kucing. Munculkan patung Bung Karno sedang merawat tanaman. Atau patung yang menggambarkan kedekatannya dengan kucing peliharaannya. Hoby menanam dan memelihara hewan akan menjadi motivasi terhebat bagi seluruh anak bangsa.
Yang juga mesti ditata adalah gedung Imaculata. Inilah tempat Bung Karno mementaskan tonil-tonilnya. ‘Rahasia kelimutu’ adalah salah satu tonil terhebatnya. Wisatawan pasti ingin tahu apa sebetulnya ‘Rahasia Kelimutu itu?’.
Mereka pasti tertarik disuguhkan cerita tentang Danau Kelimutu versi anak-anak zaman now. Sangat menarik sebab tempat ini berada di ketinggian, di pertigaan antara jalan Katedral dan jalan Irian Jaya. Dari tempat ini wisatawan dapat meneropong panorama bibir pantai nan indah.
Napak tilas perjalanan Bung Karno tidak boleh lupa, bahwa ‘Sang Proklamator’ sering berendam di muara Nanganesa, 3 km arah timur kota Ende. Juga berendam di muara Nangaba, 10 km arah barat kota Ende. Dia berendam bersama muda-mudi kota Ende, termasuk para pemain tonilnya. Mudah-mudahan para arsitek hebat bisa memvisualisasinya saat Bung Karno berendam di kedua muara sungai itu. Adanya situs ini merupakan kesempatan untuk menata sungai Wolowona dan sungai Nangaba agar tidak lagi banjir. Sekaligus mendidik masyarakat Ende agar tidak menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Bung Karno juga suka ombak lautan. Dalam mengasah inspirasinya ‘Singa Podium’ itu sering duduk termangu di bibir pantai Numba, sekitar 12 km arah barat kota Ende. Saking kagumnya pada ombak pantai Numba, Bung Karno ketika mengunjungi Ende membawa serta pelukis terkenal, Basuki Abdullah. Lukisan itu diberi judul: Pantai Flores.
Konon, lukisan itu digantungkan pada salah satu dinding di Istana Bogor. Sebaiknya di bibir pantai Numba dibangun sebuah taman. Patung Bung Karno terlihat sedang menatap gulungan ombak yang menghantam dinding karang pantai Numba.
Jalan setapak di sekitar Onekore telah membuat Bung Karno terpana. Sang proklamator terpesona menyaksikan gunung Meja dari kejauhan. Gunung itu muncul di atas ribuan hektar hutan kelapa. Indah sekali. Tempat dimana Bung Karno berdiri saat itu kini menjadi SMAK Syuradikara. Satu-satunya SMA di pulau Flores. Syuradikara didirikan 1953 oleh pastor-pastor katolik.
Siswanya berasal dari semua agama. Saking terkenalnya, SMAK Syuradikara diburu semua pelajar dari seluruh Flores, Timor, Sumba, Alor, Sabu, Rote, bahkan pemuda Bali dan Jawa juga belajar di tempat ini.
Namun kisah terhebat ketika Bung Karno mengunjungi Danau Kelimutu, sekitar 50 km arah timur kota Ende. Para mosalaki Moni di kaki gunung Kelimutu menerima kedatangan Bung Karno sebagai tamu penting. Mereka menyambut secara adat. Semalam Bung Karno tidur di Moni.
Pagi-pagi sekali pemuda-pemuda Moni menandu Bung Karno melalui jalan setapak sampai di kawah Danau Kelimutu. Ternyata, di sana para mosalaki dari daerah sekitar Moni telah menunggunya. Mereka sangat menghormati Bung Karno. Selama beberapa hari Bung Karno bersemedi di Danau Kelimutu. Dari sinilah lahir naskah tonil berjudul: ‘Rahasia Kelimutu’ yang terkenal itu.
Semua kisah ini barulah secuil. Kisah selengkapnya tanyakan kepada anak-cucu teman-teman Bung Karno semasa di Ende. Tanyakan pula anak cucu mosalaki Ende-Lio. Tanyakan pula pada sejarawan Ende yang sudah meneliti tentang ini.
Yang terakhir, tanyakan pula pada rohaniwan islam dan katolik, mungkin mereka masih memiliki catatan-catatan tentang Bung Karno. BUNG KARNO-PANCASILA-ENDE tidak bisa dipisahkan. Ketiganya dihubungkan oleh benang merah sejarah. Benang kasih Allah untuk bangsa dan negara Indonesia.
Mosalaki dan Bung Karno
‘Ende Pancasila City’ ditopang oleh dua simpul sebagai fondasinya. Pertama, simpul budaya Ende-Lio. Semegah apapun Kota Ende dibangun, kunci suksesnya ada pada para mosalaki.
Mosalaki bersama segenap perangkat adatnya adalah jiwa Kota Ende yang baru. Ende harus tumbuh di atas fondasi akar budaya. Para mosalaki harus bisa perlihatkan manusia Ende-Lio seperti yang dilihat Bung Karno waktu dulu.
Jadi tugas utama para mosalaki adalah memberi nyawa pada kehidupan ‘Ende Pancasila City’ sebagai daerah tujuan ‘Wisata Batin Bangsa’.
Simpul satunya lagi adalah Bung Karno. Sosok Bung Karno di Taman Permenungan, sosoknya di monumen setinggi 70 m, sosoknya di atas puncak gunung Meja, sosoknya di rumah di jalan Perwira, sosoknya di muara Nanganesa dan Nangaba, sosoknya di taman pantai Numba, mungkin pula sosoknya di Pulau Ende, Moni, di danau Kelimutu, dll. Masukan dari berbagai sumber tentang Bung Karno akan menambah daya pesona ‘Ende Pancasila City’ sebagai daerah tujuan wisata.
Oleh karena itu, biarkan ‘Ende Pancasila City’ dikepung rumah-rumah adat dari seluruh suku-suku di Kabupaten Ende. Biarkan keseharian masyarakat Ende-Lio kembali kepada akar budayanya. Ragi mite, lesu, luka, sau, lawo, lambu, rici, wea, gebe, dll. Betapa indahnya busana adat laki perempuan Ende-Lio.
Lebih menarik lagi ketika digelar upacara adat. Wisatawan diberikan penghormatan untuk terlibat didalamnya. Dari seluruh peristiwa adat itu wisatawan akhirnya tahu segala sesuatu yang berhubungan dengan Pancasila. Ketuhanan Yang Maha Esa. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Persatuan Indonesia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Mosalaki dan perangkat adatnya mesti menjelaskan kepada wistawan (dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris atau bahasa-bahasa lainnya) tentang pentingnya hidup bertoleransi. Hidup dalam persatuan, musyawarah, mufakat dan gotong royong. Semua itu terpatri secara jelas dalam budaya Ende-Lio. Dan itulah nilai-nilai luhur yang diwarisan sejak zaman nenek moyang.
Apa lagi saat ini anak cucu Ende-Lio semakin terbuka wawasannya. Ilmu pengetahuan yang menolong mereka. Pergaulan dengan berbagai suku di Indonesia dan mancanegara memberi sumbangan yang besar bagi kepribadian anak cucu. Bahkan banyak anak cucu Ende-Lio berjodoh dengan suku lain. Dari mereka lahirlah generasi hibryda. Generasi yang melihat toleransi sebagai sesuatu yang indah dalam pergaulan antar manusia. Dalam pergaulan antar suku, bahkan antar bangsa.
Maka menarilah Gawi di lapangan depan rumah adat. Seorang mosalaki berseragam lengkap. Di kepalnya ada lesu (topi adat), luka (selendang tenunan), ragi mite (kain tenun untuk pria berwarna hitam).
Dengan lantang dia bicara dalam bahasa adat. Laki perempuan berpegangan tangan. Bergandengan dalam lingkaran persaudaraan yang utuh. Moke bikin persaudaraan kian mengental. Semuanya menyatu. Wisatawan laki perempuan menghentakan kaki ke bumi. Keringat mereka mengucur saat berpegangan tangan. Saling tersenyum, lalu tertawa lepas. Gawi bikin persaudaraan penuh dengan rasa toleransi. Gawi melukis hati yang tertawa dari jiwa. Jiwa toleransi adalah warisan terindah nenek moyang.
Bagi pemangku adat yang datang dari seluruh nusantara hendaknya menjadikan ini sebagai inspirasi. Memang Bung Karno mendapatkan ilham di Ende. Namun sesungguhnya suku-suku dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai pulau Rote juga memiliki kearifan yang sama tentang Pancasila. Kaji baik-baik itu. Biarlah Pancasila itu juga hidup dalam keseharian budaya mereka. Sehingga semua wisatawan mancanegara dapat melihat Pancasila yang hidup di seluruh wilayah nsantara.
Biarkan Pancasila membuat siapa saja terpana. Semua orang ingin tahu keindahan Pancasila. Ingin melihat rahasia apa yang ada didalamnya. Sebab saat ini dunia sedang kacau-balau. Dimana-mana perang. Jutaan orang telah mati sia-sia. Jutaan lainnya terpaksa meninggalkan tanah airnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik di negara lain. Tidak peduli negara yang mereka datangi berbeda agamanya, bahasanya, adat istiadatnya, budayanya, kebiasaannya, dll.
Di persimpangan jalan seperti ini dunia butuh nafas toleransi. Butuh nafas saling pengertian. Sebab paham radikalisme telah membunuh jutaan orang tak berdosa. Takut, cemas, curiga, kini menghantui umat manusia. Di titik inilah suka atau tidak suka orang akan ingat pada Indonesia. Ingat pada sosok manusia brilliant bernama Bung Karno. Ingat pada Pancasila. Ingat pada Bhineka Tunggal Ika dan Gotong Royong.
Sebab dunia telah mencatat bahwa Indonesia itu unik dan terumit di dunia. Negara yang terdiri dari ribuan pulau, ribuan suku, ribuan budaya, ribuan bahasa daerah, dll. Agamanya macam-macam, termasuk agama lokal. Namun, Indonesia tetap utuh, bersatu dan solid. Semua itu karena Pancasila. Karena toleransi terindah tumbuh dari akar budaya nusantara. Pada tanggal 17 Agustus 2019 Indonesia akan berulang tahun ke-74. Suatu usia yang matang.
Selain simpul budaya menjadi fondasi, maka ‘Ende Pancasila City’ wajib diperkaya oleh sosok Bung Karno. Gaya Bung Karno yang trendy, cerdas, mendunia, mesti menjadi sesuatu yang khas untuk menghidupkan ‘Ende Pancasila City’ sebagai daerah tujuan ‘Wisata Bathin Bangsa’.
Bupati dan Wakil Bupati Ende harus menjadi model bagi seluruh rakyat Ende, terutama segenap pegawai negeri sipil (PNS). Stelan busana gaya Bung Karno, rapih, necis, bersaku banyak, dengan tongkat komando ditangan akan mengejutkan dunia. Cara berbusana ala Bung Karno akan jadi viral di seantero jagad. Apa lagi bahannya dari tenunan asli perempuan-perempuan Ende-Lio. Indaaah.
Bukan hanya seragam PNS, tetapi juga seragam pelajar SD, SMP dan SMA di Ende semuanya bergaya Bung Karno. Dunia mode Indonesia mesti menyumbangkan sesuatu yang terindah bagi para pelajar, generasi penerus bangsa. Sehingga ketika turun dari pesawat atau menginjakan kaki di dermaga, wisatawan dari seluruh dunia langsung menyadari bahwa mereka sedang berada di bumi ‘Ende Pancasila City’.
Kota yang menepatkan sosok Bung Karno, Putra Sang Fajar, Singa Podium, Proklamator, Presiden Pertama Indonesia sebagai Pahlawan Utama Bumi Ende bersama Marilonga dan Baranuri.
Lalu sorenya, saat mentari menuruni dinding langit di ufuk barat, ribuan wisatawan menyerbu ke Taman Permenungan di bibir pantai. Mereka duduk di bawah rindangnya pohon sukun sambil menikmati coffe sore. Menikmati sukun goreng, ubi nuabosi goreng, serta pisang beranga dengan aroma nan wangi yang jadi kesukaan Bung Karno selama di Ende.
Mereka dilayani oleh gadis cantik dan pemuda tampan dalam berbusana ala Bung Karno. Sementara kepala pelayan sambil pegang tongkat menyapa wisatawan dalam bahasa Inggris dan berbagai bahasa lainnya.
Ende ‘Kota Pancasila’ sekaligus ‘Kota Bung Karno’. Mudah-mudahan Badan Pengamalan Pancasila (BPP) nasional menurunkan orang-orang terbaiknya. Bukan untuk mendirikan kantor cabang, tetapi untuk menyatu dengan wisatawan. Agar wisatawan benar-benar merasa bermakna berwisata ke ‘Ende Pancasila City’.
Akhirnya, terima kasih tulus ihklas untuk Presiden Jokowi, ‘Titisan Bung Karno’. Mohon selesaikan tugas tersisa dari Bung Karno. ‘Sejajarkan Ende Dengan Jakarta’. Implementasikan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Semoga tidak ada lagi anak bangsa yang berkhianat pada Pancasila. Salam dan doa….Amiiin.