Ruteng, Vox NTT – Gerakan Sadar Rakyat (Gesar) Jakarta kembali melakukan demonstrasi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Jakarta, Kamis (13/06/2019).
Aksi tersebut seputar pemberian hibah tanah seluas 24.640 meter persegi di Kelurahan Wangkung, Kecamatan Reok kepada PT Pertamina (Persero).
Koordinator Gesar Saverius Jena dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Kamis sore, membeberkan alasan penolakan di balik kebijakan hibah tersebut kepada PT Pertamina (Persero).
Baca Juga: Gesar Kembali Unjuk Rasa Tolak Hibah Tanah Reo ke Pertamina
Jena menjelaskan, tanah di Kelurahan Wangkung tersebut memang diserahkan ke Pemkab Manggarai oleh masyarakat demi kepentingan umum.
Hal itu diketahui dari dokumen berupa Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 44/SPUMH/1982, Nomor: 45/SPUMH/1982, Nomor: 46/SPUMH/1982 dan Nomor: 50/SPUMH/1982.
Berpijak pada surat pelepasan hak atas tanah demi kepentingan umum tersebut, lanjut Jena, diterbitkanlah Sertifikat Hak Pakai atas nama Pemerintah Daerah Tingkat II Manggarai Nomor: 3 Tahun 1987.
“Tanah BMD tersebut telah digunakan selama puluhan tahun oleh Pertamina sebagai lokasi Depot, dalam keadaan tidak jelas apakah dipakai gratis dan disewa dari Pemda Manggarai selaku pemegang hak pakai,” jelasnya.
Sumber Masalah
Jena menjelaskan, masalah tanah di Reo tersebut mulai muncul ketika; pertama, Kepala Daerah Manggarai telah mengambil kebijakan untuk melepaskan Hak Pakai Nomor: 3 Tahun 1987 atas tanah tersebut dengan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 196A/300.6/III/2018, tanggal 26 Maret 2018;
Kedua, ungkap dia, setelah melepaskan hak atas tanah tersebut pada 22 Maret 2018. Deno Kamelus yang bertindak untuk dan atas nama Pemerintah Kabupaten Manggarai telah mengajukan permohonan hak pengelolaan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai.
Ketiga, untuk menindaklanjuti surat tersebut, pada 17 April 2018, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai kemudian mengajukan surat kepada Kepala kantor Wilayah BPN Provinsi NTT.
Kemudian, pada 09 Mei 2018, Kakanwil BPN NTT mengajukan “Permohonan Hak Pengelolaan atas tanah seluas 24.640 M2, terletak di Desa Wangkung, Kecamatan Reok atas nama Pemerintah Kabupaten Manggarai” dengan surat nomor: 316/14.53/V/2018.
Keempat, sementara itu, pada 08 Oktober 2018, Direktorat Manajemen Aset (SVP Asset Operation Management) Pertamina mengirim Surat Permohonan Hibah Atas Tanah TBBM Reo kepada Bupati Manggarai dengan surat No. 068/120000/2018-SO dengan melampirkan pendapat Hukum dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara;
Kelima, menindaklanjuti surat Pertamina itu, pada 22 Oktober 2018, Bupati Manggarai telah mengajukan permohonan “Hibah Aset Tanah Pertamina Reo” dengan surat Nomor: Pem.130/192/X/2018 kepada Ketua DPRD Manggarai.
Menurut Jena, perihal surat permohonan sangatlah aneh karena kesannya tanah obyek hibah itu adalah kepunyaan Pertamina.
“Kalau tanah itu sudah dipunyai Pertamina, apakah relevansinya perbuatan hukum “hibah” itu?” tanya Jena.
“Dari uraian fakta-fakta hukum tersebut, diketahui bahwa dalam periode waktu antara bulan Mei sampai dengan Oktober 2018, ada 2 (dua) peristiwa hukum yang terjadi, yaitu pelepasan hak pakai atas tanah BMD dan permohonan hak pengelolaan atas obyek tanah yang sama. Ini sebuah kejadian hukum yang amat luar biasa. Apakah Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mengetahui peristiwa pelepasan hak tanah pakai BMD ini?” tanya dia kembali.
Analisis Yuridis
Dalam rilisnya pula, Jena membeberkan analisis yuridis di balik polemik hibah tanah di Reo kepada PT Pertamina.
Pertama, norma dasar atas usaha pengelolaan dan pemanfaatan BMD adalah kesejahteraan dan kemakmuran untuk rakyat.
Norma dasar ini sekaligus menjadi tujuan bernegara sebagaimana diletakkan dalam pembukaan UUD ’45 alinea ke-empat.
Pengelolaan tanah BMD sebagai cabang produksi yang penting bagi Negara, pertama-tama harus didasarkan pada ketentuan Pasal 33 UUD ’45.
Kedua, Pasal 33 ayat (2) UUD ’45 dan (3) dan peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2014 serta Permendagri Nomor 19 Tahun 2016 merupakan aturan hukum yang harus ditaati dalam urusan pengelolaan dan pemanfaatan tanah BMD.
Ditentukan bahwa kriteria dan syarat obyektif BMD yang dihibahkan adalah: (1) bukan merupakan barang yang menguasai hajat hidup orang banyak; (2) tidak digunakan lagi dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah; (3) peruntukkannya secara spesifik telah ditetapkan; (4) memberikan nilai manfaat bagi Pemda dalam mendukung terselenggaranya fungsi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan (5) memenuhi syarat penerima hibah.
Ketiga, PT Pertamina (Persero) tidak memenuhi syarat sebagai penerima hibah. Walaupun menurut UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 22 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah, BUMN termasuk salah satu Lembaga yang berhak menerima “hibah BMD”, namun khusus mengenai BUMN Persero termasuk Pertamina harus dikecualikan dari ketentuan tersebut.
Keempat, sejak lahirnya UU BUMN No. 19 Tahun 2003 dan PP No. 31 tahun 2003, yang membolehkan Pertamina melakukan penjualan saham (privatisasi), maka Pertamina harus dianggap telah melepaskan haknya untuk memperoleh hibah tanah BMD, kecuali sedang menjalankan “penugasan khusus untuk menyelenggarakan fungus kemanfaatan umum” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 PP No. 45 tahun 2005.
Kelima, merujuk pada ketentuan Pasal 65 PP No. 45 Tahun 2005 dikaitkan dengan ketentuan Pasal 396 ayat (1) Permendagri No. 19 Tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa Pertamina tidak berhak menerima hibah tanah BMD tersebut karena Pertamina bukan merupakan “lembaga sosial, budaya, keagamaan atau lembaga Pendidikan yang bersifat non komersial”.
Artinya, definisi “kepentingan umum” menjadi alasan hukum sebuah institusi berhak menerima hibah tanah BMD adalah kepentingan umum yang bersifat “sosial, agama, kebudayaan dan pendidikan non komersial”.
Lagi pula, tidak saat BUMN berhak menerima hibah BMD, melainkan pada saat yang ditentukan oleh pemberi tugas. Mereka ialah Pemerintah melalui Menteri teknis terkait bekerja sama dengan Kementerian yang berhubungan dengan tugas pokok penugasan.
Keenam, berdasarkan analisis yuridis poin 1 sampai dengan 5 itu, Gesar berkesimpulan bahwa pemberian hibah tanah BMD dimaksud jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD ’45, PP No. 27 Tahun 2014; UU No. 19 tahun 2003; PP No. 27 Tahun 2014 dan Permendagri No. 19 tahun 2016.
Karena itulah Gesar menolak dengan tegas serentak menuntut pembatalan hibah tanah BMD Manggarai kepada PT Pertamina.
Ketujuh, dari segi hukum pertanahan, hibah tanah BMD ini sarat dengan pelanggaran hukum.
Masalahnya terletak pada fakta bahwa ketika Bupati Manggarai mengalihkan tanah BMD dimaksud dengan cara hibah kepada Pertamina.
Hak pakai atas Pemerintah Tingkat II Manggarai justru telah dilepaskan oleh Bupati Manggarai sendiri dengan Surat Pelepasan Hak Atas Tanah Nomor: 196A/300.6/III/2018, tanggal 26 Maret 2018.
Kedelapan, konsekuensi yuridisnya adalah Bupati Manggarai telah tidak mempunyai hak apa pun atas tanah obyek hibah itu.
Sebab, sejak terbitnya surat pelepasan tersebut maka status tanah menjadi tanah Negara bebas. Hak Pakai No. 3 Tahun 1987 telah tidak berlaku.
Penulis: Ardy Abba