Oleh: Ve Nahak
Rohaniawan SVD, alumnus STFK Ledalero, tinggal di Spanyol
Ada berita miris di balik kemenangan Malaka 2-0 atas PSK Kupang dalam laga pembuka El Tari Cup Jumat (5/7) lalu.
Dua pemain PS Malaka ditampar sang pelatih karena salah mengoper bola. Seolah-olah, memukul pemain adalah hak pelatih. Saya tidak yakin, pelatih diberi hak sebesar itu dalam dunia sepak bola.
Adrianus Bria Seran, pelatih PS Malaka yang juga adalah Ketua DPRD, menunjukkan aksi tidak terpuji itu di tengah pertandingan di depan ribuan penonton.
Pertanyaannya, mengapa kita seolah-olah membenarkan “flungku” si pelatih pada wajah para pemain di tengah sebuah kompetisi yang mengusung spirit anti kekerasan?
Anti-Kekerasan
Pertandingan olahraga lahir dari upaya mengalihkan naluri arkaik manusia untuk berperang. Dalam sepak bola gairah untuk saling menghabisi berevolusi menjadi hiburan. Perang yang mengandaikan senjata dan kekerasan fisik dipermak menjadi tempat untuk mengolah fisik dan mental.
Konon, pada abad ke-2 SM sepak bola sudah dimainkan di Cina dengan kepala manusia sebagai bolanya. Namun, revolusi aturan pertandingan sepak bola terus terjadi dari waktu ke waktu. Satu hal yang patut dicatat adalah konsen sepak bola pada spirit anti kekerasan.
Kita mengenang legenda-legenda modern yang diusir dari lapangan sepak bola. Pada tahun 2006 Zinedine Zidane diganjar kartu merah gara-gara “menanduk” Materazi dalam laga final Piala Dunia di Jerman.
Dalam laga perebutan tempat ketiga Copa America kemarin (6/7), mega bintang Lionel Messi diusir dari lapangan pada menit ke-37 gara-gara adu jotos dengan pemain Chile Gary Medel.
Gagasan kartu kuning dan merah muncul pada tahun 1967 lewat seorang pelatih Inggris bernama Ken Aston. Ide ini diinpirasi oleh lampu lalu lintas. Kuning sebagai tanda hati-hati dan merah untuk mencabut hak pemain untuk melanjutkan pertandingan.
Penggunaan wajib “dua bersaudara” ini diterapkan pada tahun 1982. Bahkan sejak tahun 2016 mulai diberlakukan kartu hijau untuk mengganjar para pemain yang menghargai sportivitas.
Pada tahun 2014 lalu Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) mulai menerapkan hukuman kartu kuning dan merah bagi para pelatih yang menunjukkan sikap agresif dan provokatif di tepi lapangan.
Jose Mourinho pernah diusir keluar lapangan setelah melontarkan kata-kata kasar kepada wasit Jon Moss saat jeda dalam pertandingan Chelsea Vs West Ham (24/10/2015).
Para pelatih yang dulunya adalah “super power” di pinggir lapangan yang nyaris tak tersentuh kini mesti mengatur sikapnya.
Kartu kuning atau merah untuk pelatih mulai diterapkan pula dalam kompetisi domestik di banyak negara lain. Pada 2017 lalu A-League (Liga Australia) mulai mengaplikasikan aturan tersebut.
Fakta-fakta ini menunjukkan kesungguhan sepak bola untuk mempromosikan sikap anti kekerasan. Artinya, para pemain dan pelatih mesti menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun dalam pertandingan. Jadi, selain olah fisik, dituntut pula olah mental dan tentu olah akal sehat.
Pada 20 Feruari 2019 lalu Diego Simione dikritik keras media-media Eropa karena melakukan selebrasi dengan gestikulasi yang dinilai menghina pendukung Juventus dalam laga perdelapan final Liga Champion.
Sesudah José María Gimenes mencetak gol kedua bagi Atletico Madrid pada menit ke-78, pelatih asal Argentina itu berbalik menghadap tribun penonton dan membuat bentuk O dengan kedua tangannya di antara selangkangan.
Dalam budaya orang Spanyol, gestikulasi itu berkonotasi amat negatif. Simione yang sadar akan perbuatannya akhirnya meminta maaf kepada publik.
Jadi, bukan hanya kekerasan fisik yang menjadi konsen budaya sepak bola modern. Orang mulai mengalihkan perhatian pada kekerasan verbal dan kekerasan simbolik. Dengan demikian, membangun budaya sepak bola adalah membangun peradaban manusia.
Dalam dunia dengan konektivitas global dewasa ini kita juga sedang belajar untuk “ikut arus” baik yang sedang ditunjukkan di belahan belahan dunia yang lain.
Membangun budaya dan peradaban, hemat saya, bukan perkara kulit luar seperti pertunjukkan tarian likurai massal, penjemputan para tamu di rumah adat dengan tradisi lokmalu, undangan dengan prtokoler ala hamata.
Semua itu hanya mempunyai nilai kalau kita tidak mengabaikan hal yang paling esensial dalam budaya yaitu penghormatan terhadap manusia.
Dengan merayakan sepak bola kita sedang terlibat dalam sebuah kultur sepak bola dunia yang mengutamakan anti kekerasan baik di dalam, di pinggir maupun di luar lapangan.
Publik NTT jelas menanti sikap dari pelatih Malaka sendiri dan ketegasan para wasit di El Tari Cup. Apakah akan ada kata maaf dari pelatih PS Malaka atas tindakannya?
Akar Busuk Orde Baru
Menurut penilaian saya, berbagai tindak kekerasan yang melibatkan mentor dan anak didik yang masih sering terulang dalam dunia pendidikan ataupun dalam ruang publik kita adalah akar busuk yang ditinggalkan rezim Orde Baru. Sialnya, tradisi otoriter ini disokong oleh budaya patriarkat yang kental dalam masyarakat kita.
Logika kepemimpinan yang diterapkan dalam Orde Baru adalah “bapakisme” kepemimpinan. Artinya, relasi pemimpin dan bawahan adalah relasi antara bapak dan anak-anak.
Risikonya, sebuah lembaga pemerintah direduksi menjadi perusahaan keluarga. Selain memimpin, bapak adalah pemilik otoritas penuh yang nyaris tidak bisa digugat oleh bawahan.
Semua yang dikatakan pasti benar dan sulit diprotes karena relasi “Bapak-anak” adalah relasi terberi yang anti modifikasi. Hubungan semiotiknya menegaskan superiorioritas Bapak, sedangkan anak adalah subordinat abadi.
Dari relasi subordinatif ini lahir kata “durhaka” dalam khazanah kosa kata Bahasa Indonesia. Kata durhaka diproduksi oleh budaya patriarkat, dimana yang mendefinisikan kebenaran adalah otoritas yang berkuasa. Hanya anaklah yang berpotensi menyandang cap itu, sedangkan orangtua tidak. (Ungkapan “Bapak-ibu durhaka” lahir belakangan sebagai negosiasi dengan konteks egalitarian yang sedang melingkupi kita).
Kita mendeteksi jejak-jejak otoritarianisme dalam aksi brutal pelatih PS Malaka baru-baru ini. Pertanyaannya, siapa yang memberi legitimasi sedemikain besar bagi seorang pelatih untuk memukul pemainnya?
Jawabannya tentu hanya satu: Kita semua! Budayalah yang mengizinkan itu terjadi. Dalam budaya kita, naik tangan pada anak-anak masih dianggap wajar. Di kepala kita masih bergema perbahasa: “Di ujung rotan ada emas”.
Kondisi sosiologis macam itulah yang kemudian membuat si pemain yang ditampar tidak banyak protes, atau malah bangga karena dibogem oleh orang yang punya kedudukan penting di daerah.
Surplus Kekuasaan
Pada tahun 2014 viral di media sosial uskup Agung Kupang naik tangan kepada seorang imam diosesan yang menolak mencium tangan sang uskup.
Sesudah kejadian itu, muncul reaksi lewat surat terbuka yang mengritisi aksi sang uskup. Namun, sebagian pihak melihat hal itu sebagai peristiwa yang normal saja.
Budaya kekerasan yang terjadai dalam masyarakat boleh jadi adalah cerminan dari sikap otoriter yang juga diam-diam turut diwariskan gereja.
Orang merasa bahwa kalau pastor sebagai pemimpin bersikap sewenang-wenang atau bahkan kasar kepada umat adalah hal yang biasa dan normal-normal saja.
Sebaliknya, kalau umat protes karena ketidakadilan itu dianggap melecehkan wibawa Gereja. Lalu umat mulai digertak dengan kutuk. Jadi, diam-diam masyarakat (umat) dididik untuk tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan.
Selain budaya yang permisif terhadap kekerasan, akar persoalan lain yang menjadi biang kerok kekerasan adalah situasi surplus kekuasaan. Kelebihan kuasa itulah yang sering kali menjadi sumber tindakan kekerasan yang sewenang-wenang.
Semua penguasa otoriter di dunia mempunyainya di tangan mereka. Lalu, kita ingat kata Lord Acton, “Kekuasaan yang absolut cenderung korup juga secara absolut.”
Dua dekade pasca Reformasi kita masih terus melihat adegan-adegan kekerasan itu dipertunjukkan di depan umum, malah oleh orang yang berpendidikan.
Kita sudah mengoreksi bahwa brutalitas ini tidak saja berakar dalam rezim Soeharto, tetapi terutama dalam budaya kita sendiri. Dalam budaya yang lazim mengamini kekerasan.
Upaya jangka panjang untuk mengikis hal ini tidak lain adalah lewat pendidikan.
Pengaruh globalisasi sendiri secara tidak sadar membawa kultur egaliter dan demokrasi ke dalam ruang publik kita secara lebih cepat. Lewat media sosial misalnya, orang terlatih untuk saling menanggap dan menyanggah. Yang diandaikan dalam keterlibatan virtual itu adalah tukar tambah pikiran.
Orang dilatih untuk berargumen lewat jejaring sosial, bukannya adu jotos. Jadi sebetulnya sedang masuk dan berkecambah sebuah budaya baru untuk mengutamakan pikiran dalam percakapan publik.
Budaya baru ini pada akhirnya mesti didukung oleh lembaga-lembaga pendidikan kita dewasa ini.
Beberapa tahun ke depan guru-guru dari angkatan 70-80-an akan segera pensiun dan banyak generasi milenial yang lebih muda dan segar mengisi ruang-ruang kelas.
Kita menanti dengan harap-harap cemas, semoga dari generasi ini lahir guru-guru yang sanggup menularkan tradisi egaliter dan dialog itu di kelas daripada menjadi tukang pukul.
Ke depan, kita tentu bermimpi ada wasit ETMC yang bisa langsung mencabut kartu merah atau setidaknya kartu kuning bagi pelatih yang menampar pemain di depan umum. Atau, semoga ada pemain muda yang langsung keluar lapangan sebagai aksi protes ketika ditampar di depan umum.
Karena puisi Wiji Tukhul telah ditembak mati oleh rezim otoriter Orde Baru. Kita, anak-anak milenial, tidak boleh membunuh Wiji Tukhul sekali lagi. Hanya ada satu kata: Lawan!