Maumere, Vox NTT-Gubuk itu berukuran 5 kali 5 meter. Dindingnya dari anyaman bambu, berlantai tanah, dan beratap seng yang kian lapuk.
Kondisinya sudah reyot. Dindingnya sudah berlubang sana-sini. Atapnya juga sudah bolong.
Perlengkapan di dalamnya sangat minim. Tempat masak gabung dengan kamar tidur. Tidak ada kasur atau spon. Pakaian juga berserakan di tanah karena tidak ada lemari.
Itulah kondisi rumah yang kini ditempati pasangan suami-istri (pasutri), Guido Fan Areso (39) dan Yoventa Timbu (35).
Di bawah gubuk sederhana itu, suka duka kehidupan dilalui pasutri ini. Perjalanan cinta mereka harus kembali ke titik terendah.
Keduanya mengalami kecelakaan lalu lintas di Ende, Kabupaten Ende, Flores, NTT, pada 23 Januari 2019 lalu.
Akibat kecelakaan itu sungguh tak terlintas di benak mereka. Orang tua dari tiga anak ini, mengalami kaki patah. Hingga saat ini mereka tidak bisa beraktivitas apa pun untuk mencari nafkah.
Sejak Januari hingga Juli 2019, mereka menetap di gubuk yang terletak di Dusun Ahu Wair, Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, Flores. Gubuk itu adalah peninggalan orang tua sang suami.
Sampai saat ini, keduanya tidak bisa berobat ke rumah sakit karena tidak ada biaya. Sialnya, mereka belum sempat mengurus BPJS Kesehatan sebelum kecelakaan tragis itu menimpa mereka.
Kaki pasutri ini nyaris lumpuh total. Untuk berdiri saja, keduanya harus menggunakan bantuan tongkat.
“Waktu itu kami berobat di RSUD Ende tetapi tidak lama. Saat saya sadar, kami langsung keluar dari rumah sakit dan langsung pulang ke sini Maumere,” ungkap Guido kepada media ini, Sabtu (6/7/2019).
Guido berkisah, keduanya tidak bisa bekerja apa-apa demi menyambung hidup. Beruntung banyak tetangga yang peduli dengan kondisi mereka.
“Ada yang datang bawa beras, minyak goreng, ikan, dan sayur ke sini. Ada yang ikhlas sambung listrik ke sini gratis. Air juga kami dapat dari tetangga. Mereka tahu kami tidak bisa buat apa-apa. Kalau tidak ada tetangga, kami sekeluarga bisa mati kelaparan di sini,” sambung Guido.
Waktu tidur, Guido menceritakan, mereka terpaksa tidur di lantai yang beralaskan anyaman bambu.
“Itu langsung pak, tanpa ada kain,” tuturnya.
Istri Hamil 8 Bulan
Sebagai kepala keluarga, perasaan Guido terus berkecamuk. Bebannya bertambah melihat kondisi sang istri yang kini hamil delapan bulan.
Ia bahkan terus menyesali dirinya lantaran peristiwa itu. Air matanya kadang mengalir tanpa ia sadari ketika menyaksikan derita sang istri yang harus menanggung beban di saat sedang mengandung anak mereka yang ketiga.
“Sekarang, kami hanya pasrah kepada Tuhan. Semoga istri baik-baik saja sampai melahirkan nanti,” ungkap Guido sembari air matanya menetes berlahan.
Sementara anak pertama mereka yang laki-laki terpaksa putus sekolah. Begitu pula anak yang kedua tidak bisa lanjut ke sekolah dasar.
“Kami mau sekolahkan mereka, uang dari mana. Untuk makan saja kami ini tunggu sumbang dari tetangga,” tambah Guido.
“Bantu kami pak keluar dari penderitaan ini. Kami tidak tahu harus buat apa sekarang,” sambungnya dengan nada sedih.
Kepedulian Tetangga
Keluarga Guido beruntung karena hidup di tengah tetangga yang punya kepedulian.
Kumis Tattois, salah seorang tetangga mereka mengakui, kondisi keluarga mereka memang memprihatinkan.
“Prihatin sekali mereka ini. Warga di sini juga sangat tergerak hati dengan kondisi mereka. Makanya kami kalau ada acara di sini, selalu siapkan nasi dan sayur untuk mereka. Kadang kami juga sumbang beras. Pakaian juga dari Kodim kemarin ada bawa kasih mereka ini. Dari desa juga ada sumbang beras 1 karung,” ungkap Kumis.
Kumis pun berharap, kondisi kehidupan keluarga Guido bisa diangkat di media massa agar banyak pihak yang melihat seperti apa penderitaan yang mereka alami.
“Saya yakin kalau diangkat di media massa, pasti banyak yang membaca dan peduli dengan mereka. Itu harapan besar kami di sini. Bantu mereka keluar dari penderitaan ini,” ungkap Kumis. (VoN)