Ruteng, Vox NTT – Warga mencium aroma korupsi dalam pengeloaan Dana Desa Wae Renca, Kecamatan Cibal Barat, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT.
Salah satu tokoh masyarakat Kampung Kolong Dusun Lecem Salesius Bono menilai pengelolaan Dana Desa Wae Renca tidak transparan.
Salesius mencium ketidaktransparanan itu mulai dari papan informasi anggaran setiap tahun yang tidak dipasang, sampai pada musyawarah dusun yang hanya bersifat formalitas.
Ia juga mengatakan, bantuan yang diberikan oleh pemerintah desa hanya dirasakan orang-orang tertentu. Bahkan, pemerintah desa pun menjadi penerima manfaat bantuan.
“Tidak pernah ada papan informasi, kami pernah menolak musyawarah dusun karena usulan kami pada tahun 2018 tidak ada yang direspon. Sampai sekarang kami tidak pernah mendapatkan bantuan, karena di Desa Wae Renca ini justru perangkat desa yang mendapatkannya,” ungkap Salesius kepada saat ditemui VoxNtt.com di rumahnya, Senin (08/07/2019).
Selain itu, Salesius mengungkapkan banyak pembangunan yang dilakukan Pemerintah Desa Wae Renca yang terkesan mubazir.
Pasalnya, pembangunan yang dilakukan sejak tahun 2015, namun hingga kini tidak difungsikan. Tidak sedikit anggaran yang keluarkan untuk pembangunan itu.
Ia menyebut, ada berapa bak air yang dibangun Pemerintah Desa Wae Renca di Ponto dan di Ngancar. Namun sampai sekarang tidak digunakan.
Terpisah, tokoh muda asal Kampung Kolong yang tidak ingin namanya dimediakan juga turut berkomentar terkait pengelolaan Dana Desa di Wae Renca.
Ia menilai bantuan di Desa Wae Renca banyak yang tumpang tindih. Bahkan penerima manfaat sebagian besar hanya untuk keluarga perangkat desa.
Sementara kata dia, masih banyak masyarakat yang sama sekali belum pernah mendapatkan bantuan.
Pemerintah Desa Wae Renca juga, lanjut dia, sering menggunakan pihak ketiga dalam mengerjakan proyek desa.
“Sebenarnya harus menggunakan sistem sewa kelola, karena Dana desa ini untuk masyarakat desa bukan untuk orang dari luar. Tapi di sini (Wae Renca) hampir semua proyek menggunakan kontraktor dari luar desa,” tukasnya.
Menurut pemuda itu, ketika proyek desa dikerjakan oleh kontraktor dari luar desa, kuat dugaan ada unsur kesengajaan dari pemerintah desa untuk mendapat keuntungan pribadi.
“Kalau sistem sewa kelola dan melibatkan masyarakat desa, yang pasti semua anggaran bisa diserap dengan baik dan menguntungkan masyarakat. Tapi kalau sistem kontrak seperti itu, bisa saja pemerintah desa mendapatkan sogokan dari kontraktor, karena anggaran HOK-nya (Harian Orang Kerja) lebih besar kalau dibandingkan dengan upah pekerja selama ini. Banyak untungnya itu kontaktor, apalagi dia orang dari luar desa,” pungkas sumber itu.
Ia juga turut menyoroti program bantuan lampu tenaga surya (BLTS) di Desa Wae Renca.
Selain tidak tepat sasaran karena diterima oleh perangkat desa, spesifikasi dan anggaran setiap unit BLTS juga tidak sesuai dengan fisik.
“Setiap unit lampu itu anggarannya 5 juta, tapi kalau kami lihat lampu bantuan ini harganya sekita 2 juta lebih saja karena ukurannya lebih kecil dari lampu cahaya surya yang kami beli 2 juta,” ujarnya.
“Katakan, kalau setiap unit lampu itu mereka (pemerintah desa) untung 2 juta atau lebih, kita kali kan saja dengan 54 unit. Kurang lebih 100 juta itu, dikemanakan uang itu?” tanya pemuda itu.
Tokoh perempuan Dusun Ponto yang juga namanya tidak ingin dimediakan mengaku kesal dengan kebijakan Pemerintah Desa Wae Renca.
Ia menyoroti banyaknya bantuan yang terkesan tumpang tindih di dusunnya. Kata dia, penerima manfaat bantuan hanya keluarga perangkat desa.
Sementara masih banyak masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan sekalipun.
“Kalau saya lihat di sini (Dusun Ponto) bantuan hanya didapatkan oleh keluarga tertentu, sudah dapat bantuan rumah, lampu, dan bantuan lainnya. Masih banyak yang tidak dapat sama sekali,” aku sumber itu.
Ia juga menilai kartu beras sejahtera (rastra) yang didapatkan tidak ada gunannya bagi masyarakat. Sebab, sejak lama ia tidak pernah mendapatkan bantuan rastra.
“Kami punya kartu rastra, tapi sampai sekarang tidak pernah dapat beras. Kami punya jatah itu di mana?” tanyanya.
Ketua Badan Pengawasan Desa (BPD) Wae Renca Sebastianus Djelalu membenarkan pengelolaan Dana Desa Wae Renca yang tidak transparan.
Jangankan masyarakat umum, BPD saja kata dia, tidak mengetahui APBDes maupun Rencana Anggaran Biaya (RAB) Desa Wae Renca.
Sebab sejak masa kepemimpinan Kades Yohanes Sudin, pihaknya tidak pernah mendapatkan salinan APBDes dan RAB Desa.
Sebab itu, BPD Wae Renca tidak bisa melakukan pengawasan secara maksimal terhadap pembangunan di desanya.
“Sejak dia (Kades Wae Renca) menjabat kami tidak pernah mengetahui APBDes dan RAB, bagaimana kami bisa lakulan pengawasan? Selama ini ketika ada proyek di desa kami hanya pergi melihatnya saja. Tapi soal apakah pekerjaannya sudah sesuai atau tidak, kami tidak mengetahuinya,” ungkapnya kepada VoxNtt.com saat ditemui di rumahnya, Sabtu (13/07/2019).
Dokumen desa, lanjut dia, tidak diketahui oleh BPD. Semua dokumen itu baru diserahkan setelah pelaksanaan Laporan Penyelenggaraan Pemerintah Desa (LPPD).
Sehingga saat pelaksanaan LPPD, BPD tidak memiliki acuan untuk mengevalusi penyelenggaran pembangunan desa.
“Dokumen itu diberikan kepada kami setelah laporan akhir masa jabatan kepala desa, kebetulan saya yang pimpin rapatnya. Tapi sebelumnya dokumen itu tidak pernah diberikan kepada kami,” ujar Sebastianus.
Ia juga turut menyoroti bantuan di Desa Wae Renca yang tidak merata. Kata dia, selain banyak perangkat desa yang menjadi penerima manfaat, jumlah bantuan setiap dusun juga dinilai tidak seimbang. Aada dusun tertentu yang jumlah penerima manfaatnya banyak, ada yang sedikit.
“Sebanarnya bantuan itu harus seimbang, misalnya bantuan PLTS saja kemarin, kok di Dusun Cimpar jumlahnya 23 unit, sementara kami punya di Dusun Ponto hanya 9 unit, begitupun dengan bantuan lainnya,” ungkap Sebastianus.
Berapa Kali Dilaporkan
Persoalan pelaksanaan pemerintahan Desa Wae Renca bukan hanya kali ini saja. Pada tahun 2016 BPD dan tokoh masyarakat sudah melaporkan kejanggalan itu ke Inspektorat dan Polres Manggarai.
Namun, BPD dan warga menilai laporan mereka tidak ditindaklanjuti oleh tim pemeriksa.
Tim pemeriksa sudah melakukan pengecekan langsung kejanggalan pengelolaan Dana Desa dan proyek yang mubazir di Wae Renca.
Namun, setelah melakukan pemeriksaan, kasus itu seakan tenggelam karena hingga kini belum ada titik terang.
“Dulu waktu datang periksa di sini, mereka (tim pemeriksa) mengatakan banyak pembangunan fisik yang tidak sesuai dengan anggarannya. Kami juga tidak tau kenapa kasusnya tidak lanjutkan, ada apa?” tanya Salesius Bono, tokoh masyarakat Kampung Kolong Dusun Lecem.
Ketua BPD Wae Renca Sebastianus Djelalu juga turut mempertanyakan perkembangan kasus yang pernah dilaporkan tersebut.
Sebab pihaknya dan tokoh masyarakat sudah layangkan laporan sejak 2016 lalu.
Namun hingga kini, kasus itu hanya sebatas pemeriksaan lapangan. Setelah balik dari Desa Wae Renca untuk melakukan pemeriksaan, kasus yang dilaporkan seakan tenggelam.
Kala itu, kata Sebastianus, BPD dan tokoh masyarakat melaporkan Dana Gotong Royong sebesar Rp 17.361.817 yang tidak jelas penggunaannya dan Dana Kesehatan tahun 2015 sebesar Rp 10.000.000.
Selain itu, uang Perjalanan Dinas tahun 2015 sebanyak Rp 22.500.000, Operasional musyawarah desa makan-minum tahun 2015 sebesar Rp 19.250.000.
Kemudian, Dana tak terduga pada tahun 2015 sebesar Rp 15.000.000, Pungutan uang untuk desa siaga pada tahun 2014 oleh kepala desa sebesar Rp 6.000.000.
Bahkan dalam laporan itu juga dituliskan, pengelolaan ADD tahun 2015 tidak bisa dipertanggungjawabkan kepala desa.
Menurut Sebastianus, Kepala Desa Wae Renca juga tidak membuat laporan pertanggungjawaban. Bahkan, LKPJ tahun 2015 dan 2016 tidak dibuatkan oleh kepala desa.
Atas hal demikian, Ketua BPD Wae Renca Sebastianus Djelalu mengaku tidak mau lagi untuk menyampaikan laporan kepada Inspektorat Kabupaten Manggarai.
Sebab, ia mengaku tidak puas ketika laporan mereka tidak di tindaklanjuti dan hasil temuannya juga tidak disampaikan kepada masyarakat.
“Untuk apa lagi kami buat laporan, sebenarnya banyak kejanggalan di sini. Kalau kami lapor nanti pasti hasilnya begitu lagi. Katanya tunggu habis masa jabatan kades, sekarangkan dia (Kades) sudah LPPD, lalu sampai kapan lagi?” tanyanya dengan nada kesal.
Saat dikonfirmasi VoxNtt.com, Kepala Desa Wae Renca Yohanes Sudin mengakui soal tidak transparannya pengelolaan Dana Desa, lantaran tak ada papan informasi pembangunan.
Kades Yohanes sendiri tidak menjelaskan alasan tidak adanya papan informasi alokasi anggaran setiap tahun.
Namun, ia membantah terkait APBDes dan RAB yang tidak diberikan kepada BPD.
“Tidak mungkin kami tidak kasih, kalau diminta maka dikasih. Apalagi saat penetapan APBDes juga bersama BPD,” ujarnya, Sabtu (13/07/2019).
Menurut Kades Yohanes, total luas wilayah desa yang dipimpinnya saat ini kurang lebih 240 m² dan dihuni oleh kurang lebih 500 Kepala Keluarga (KK).
Kades Yohanes mempunyai visi misi mensejahterakan masyarakat didukung dengan potensi pertanian yang cukup besar. Baik itu berupa sawah, kemiri maupun hortikultura.
Bahkan, ia mengklaim tidak sedikit warga Desa Wae Renca yang bekerja menenun.
Namun ia mengakui hingga saat ini belum secara langsung mengalokasikan dana untuk mendukung terpenuhinya visi dan misi tersebut.
Itu terutama pada pada sektor pertanian. Selama ini untuk pemberdayaan, pemerintah desa hanya memberikan bantuan bagi masyarakat yang bekerja menenun.
Terkait Sumber Daya Manusia (SDM) perangakat desa, kades Yohanes mengaku masih banyak kekurangan.
Sebab, ada sebagian perangkat desa yang tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Terlebih khusus untuk teknologi.
“Karena untuk kepala seksi kan harus bisa mengoperasi komputer atau laptop, tapi selama ini kadang saat diberikan pekerjaan mereka mengaku tidak bisa mengoperasikannya. Itu makanya saya dilema juga,” ungkapnya.
Program prioritas, Kades Yohanes selama ini lebih fokus pada pembangunan rumah layak huni.
Sebab tidak sedikit rumah warga Desa Wae Renca yang harus diperbaiki karena tidak layak lagi untuk dihuni.
Hingga kini, jumlah rumah yang telah dibangun menggunakan dana desa sebanya 100 unit lebih. Jumlah itu, kata dia, belum termasuk rumah yang dibangun menggunakan dana APBD reguler.
Untuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), kader Yohanes mengaku telah mengeluarkan anggaran sebanyak Rp 100.000.000 selama 2 tahun anggaran.
Tahun 2017 Pemdes Wae Renca menganggarkan Rp 50.000.000, begitupun pada tahun 2018.
Namun hingga kini, Kades Yohanes mengakui pengelolaan BUMDes Wae Renca belum berjalan efektif.
Sejak awal, BUMDes Wae Renca bergerak pada sektor dagang. Anggaran BUMDes akan digunakan untuk membeli beras dan benang untuk tenun.
Kemudian, beras dan benang itu akan dijual kepada masyarakat desa.
Menurut Kades Yohanes, salah satu penyebab BUMDes tidak berjalan efektif di Wae Renca karena masih banyak kasbon masyarakat yang hingga kini belum dibayar.
Apalagi, kata dia, banyak anggota yang tidak aktif. Hingga kini ia mengakui belum pernah melakukan evaluasi terkait pengelolaan BUMDes.
“Selama ini yang aktif hanya ketuanya, itu makanya beras itu simpan di rumahnya. Tahun 2017 keuntungannya 2.5 juta, begitu juga 2018. Tapi sampai sekarang uang itu masih ada di Ketua BUMDes,” terang dia.
Menurut Kades Yohanes, keberadaan BUMDes yang menjual beras dan benang sangat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Hal itu, kata dia, lebih kepada penghematan biaya transportasi. sebab letak Desa Wae Renca sangat jauh darj pusat kota.
Banyak Perangkat Desa yang Nakal
Terkait bantuan yang justru didapatkan oleh perangakat desa dan keluarganya, Kades Yohanes tidak membantah.
Ia mengaku sering kali menyarankan perangkat desa untuk tidak menjadi penerima manfaat bantuan desa.
Namun, saran dari Kades Yohanes tidak dihiraukan oleh perangkat desa.
“Saya sering sampaikan ke mereka saat penetapan penerima bantuan, supaya berikan bantuan itu kepada orang yang betul-betul membutuhkannya. Tapi justru nama mereka sendiri yang dimasukkan,” ujarnya.
Hingga kini perangkat desa yang mendapatkan bantuan rumah sebanyak 7 orang termasuk beberapa anggota BPD.
“Kalau saya perhatikan selama ini, mereka masukan nama sendiri dan keluarganya untuk menjadi penerima bantuan. Saya juga tidak enak dengan mereka untuk menolak,” ujarnya.
Pemerintah Kecamatan Cibal Barat, kata Kades Yohanes, sudah mengetahui hal tersebut.
Bahkan, Camat Cibal Barat sudah menyarankan supaya pemerintah desa tidak boleh menjadi penerima manfaat.
Namun hal tersebut tidak diindahkan oleh perangkat desa Wae Renca.
“Pa Camat tahu, karena perangkat desa yang mau menerima bantuan pernah minta ke kantor camat, tapi pa camat saat itu sarankan mereka untuk jangan menjadi penerima bantuan. Tapi mereka bilang ke Pa Camat kalau mereka sendiri yang tanggung risikonya kalau ada masyarakat yang persoalkan itu,” pungkas Kades Yohanes.
Terkait pengerjaan proyek desa yang dikerjakan oleh kontraktor dari luar desa, ia menjelaskan hal itu untuk memudahkan perangkat desa.
Sebab, ketika ada kekurangan volume pekerjaan saat pemeriksaan, bukan lagi menjadi tanggung jawab pemerintah desa. Tetapi, kata dia, kontraktor itu sendiri yang memperbaiki atau melanjutkan pekerjaan.
“Itukan supaya kami tidak pusing lagi, tinggal cairkan anggarannya kalau sudah dicek oleh perangkat desa. Kalau ada pemeriksaan dari kabupaten nanti kami tinggal suruh kontraktor itu,” cetusnya.
Kata kades Yohanes, tak jarang perangkat desa mendapatkan uang dari kontraktor setelah pengerjaan proyek desa telah selesai.
Namun Kades Yohanes tidak menjelaskan secara detail jumlah uang dari kontraktor yang diberikan kepada perangkat desa.
“Biasa kalau proyek sudah selesai, kontraktor ada kasih uang rokok untuk perangkat desa, tapi itu mereka bagi rata semua. Kadang juga mereka bilang, jangan kasih Pa Kades karena tidak bekerja,” katanya sambil tersenyum.
Untuk diketahui, jumlah anggaran di Desa Wae Renca terbilang cukup banyak, jika dibandingkan dengan desa-desa lain di Kecamatan Cibal Barat.
“Tahun 2019, dari APBD Reguler 1,9 M, dari Dana Desa 1,78 M. Tahun 2018 DD 1.3 M, APBD sekitar 1 M. Tahun 2017 DD sebanyak 1.07 M, APBD regulernya 1 M. Tahun 2016 DD sekitar 600 Juta,” tutup Kades Yohanes.
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba
Baca Juga: