Ruteng, Vox NTT – Para pengusaha hasil bumi di Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT mengaku resah karena dituntut oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng untuk membayar PPN sebesar 10 %. Nominasi pajak itu yakni dari hasil bumi yang dibeli dan dijual sejak tahun 2016 lalu.
Salah satu pengusaha hasil bumi di Ruteng yang tidak ingin namanya dimediakan mengaku, keberatan dengan kebijakan tersebut.
Dia beralasan karena selama ini keuntungan yang diperoleh pengusaha hasil bumi tersebut per kg umumnya paling besar sekitar 5%.
Sehingga, bila PPN sebanyak 10 %, maka sangat tidak adil bahkan diyakini akan menghancurkan semua pengusaha hasil bumi di Manggarai.
Sebab, bukan hanya seluruh hasil jerih payah yang mereka peroleh selama bertahun tahun akan musnah, tapi bahkan modal mereka juga akan habis untuk memenuhi PPN 10 % tersebut.
“Padahal selama ini para pengusaha hasil bumi ini tidak bisa memungut PPN 10 % hasil bumi tersebut dari petani. Selama ini keuntungan yang diperoleh pengusaha hasil bumi tersebut per kg umumnya paling besar sekitar 5%,” ungkap sumber itu kepada VoxNtt.com melalui pesan WhatsApp, Rabu (17/07/2019).
Kata dia, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng meminta langsung dari bank bukti rekening koran atas uang hasil penjualan tersebut. Dari situ, dituntut setoran pajak 10%.
Sehingga, kata dia, praktis PPN yang dipungut dari nilai omset (uang masuk via bank) bukan dari hasil keuntungan.
“Diceritakan bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng berdasarkan triger uang masuk di bank tersebut dengan tangan besi mengenakan pungutan PPN tersebut sebesar 10 %,” ujar sumber itu.
“Lebih jauh lagi hal ini bakal merugikan semua petani kopi, cengkih, kemiri, dan lain-lain ke depan, karena pungutan PPN sebesar 10 % bakal dibebankan kepada mereka oleh para pengusaha hasil bumi tersebut. Jadi hal ini pasti akan berdampak bahwa harga jual hasil bumi petani akan menurun drastis,” tambahnya lagi.
Tidak terima dengan kebijakan itu, pihaknya telah mengirimkan petisi menuntut pergantian pimpinan Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng kepada Direktorat Kepatuhan Internal dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) di Jakarta.
Dalam petisi itu dituliskan bahwa semua pengusaha hasil bumi khususnya komoditas cokelat, cengkeh, vanilla, kopi, beras, kemiri dan cengkih di Ruteng menyatakan, ketidakpercayaan terhadap tindakan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng.
Sebab, dinilai telah bertindak tidak adil dalam menghukum sesuai kemampuan para pelaku usaha yang notabene tidak mengerti ketentuan umum kebijakan perpajakan seperti di kota besar Indonesia lainya.
Bahwa tindakan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng ini sudah pasti akan berdampak luas terhadap dunia usaha hasil bumi di Ruteng.
Sehingga berdasarkan tindakan itu, semua pengusaha hasil bumi sudah membulatkan tekad untuk tidak membeli hasil bumi lagi dari para petani langsung.
Selain itu, alasan untuk meminta pergantian Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng, dalam surat itu dituliskan karena selalu mengambil alih pembahasan akhir hasil pemeriksaan. Sehingga fungsional pajak tidak bisa bersikap secara independen dan netral tanpa ada tekanan Kepala Kantor.
Alasan lain di balik petisi itu yakni komunikasi dengan wajib pajak diambil alih langsung oleh kepala kantor dengan semua tekanan dan melakukan tindakan penekanan terhadap semua pimpinan Bank di Ruteng.
Selain itu, hak membela diri oleh wajib pajak cendrung diancam dengan semua pasal pidana pajak dan upaya represif yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pejaka Pratama Ruteng cendrung hanya berdasarkan kecurigaan semata.
“Bahwa Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng mengancam bahwa tindakan represif yang dilakukan akan diterapkan di seluruh Indonesia dengan mengambil contoh apa yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Ruteng,” Demikian dituliskan dalam surat petisi itu yang salinannya diterima VoxNtt.com, Rabu (17/07/2019).
Penulis: Pepy Kurniawan
Editor: Ardy Abba